16

1.2K 100 9
                                    

Gio telah siap dengan jas rapi hasil meminjam dari Exel. Ia duduk di salah satu sofa dan pengunjung yang datang pun tak luput memandangnya.

"Emang gue salah apa sampe diliatin mulu kek gitu? Salah juga jadi orang ganteng," simpul Gio sesuka hatinya.

"Serah lo dah, apa alasan lo ga masuk sampe bisa diizinin gitu?" selidik Dimas setengah berbisik.

"Mengenang kematian keluarga gue, hari ini gue masih berduka," gumam Gio lalu merenggangkan otot-ototnya. Ia menunggu Lidya turun dari atas.

"Kematian keluarga lo? Siapa? Kok lo ga bilang sama kita?" kaget Exel heran. Suaranya terdengar gugup.

"Empat puluh hari kematian kucing lo," tukas Gio santai lalu berjalan menaiki tangga.

"Mau ke mana lo?" teriak yang lainnya sambil terkekeh. Gio tidak menggubris sindiran tersebut ia masih saja berjalan tanpa menoleh sedikitpun.

Ia sampai di kamarnya sendiri. "Lid? Bisa buka pintunya sebentar?"

Gelagak Gio tampak mencurigakan. Ia mengawasi keadaan dengan cermat ketika pintu dibuka, ia langsung melompat masuk dan langsung menutup pintu.

"Kunci pintunya," imbuh Gio santai lalu merebahkan tubuhnya.

Lidya tersentak kaget lalu dengan sikap meragu ia mendekati pintu hendak berlari dari kamar Gio. "Tutup aja dan jangan ragu!"

Lidya segera menurut lalu mengunci pintu tersebut dengan rapat. Mendengar suara kuncian pintu tersebut, Gio seketika berdiri dan mendekati Lidya. Lidya sentak mengenai pintu kamar. "Lo emang beneran ga takut sama gue?"

Nyali Lidya turun, apa salahnya dia mempercayainya lalu ia dikhianati seperti ini, benar-benar keji!. "Lo mau ngapain?"

Dengan gerakan cepat Gio langsung membalikkan Lidya dan membekap mulutnya lalu membisikkan sesuatu, "ada sesuatu yang mau gue tunjukin sesuatu sama lo dan gue harap lo jangan berisik, di akhir nanti caci maki gue dengan suara yang tinggi."

"Maksud lo?" heran Lidya mencoba mengerti. Gio menunjuk ke arah kunci pintu tersebut.

"Kalo lo cabut kunci itu, lo bakal tau siapa yang lagi dengerin obrolan kita. Tapi lo bakalan tau itu siapa, jangan buat waktu gue sia-sia," bisik Gio semakin mendekat lalu melepaskan bekapannya.

Lidya menghirup nafas yang panjang, lalu Gio dengan jas rapinya membalikkan kasur tempat teratas ke bawah, kedua tempat tidur itupun seakan terbelah. Dua buah pisau lengkap dengan sarungnya terlihat menyantai sehabis tinggal di antara kedua tempat tidur itu. Gio langsung mengambil satu pisau itu lalu memberikan kepada Lidya.

"Lo pegang ini dan lo bawa kemanapun lo pergi, tapi jangan ada yang tau kalo lo bawa ini. Di pisau ini ada pendeteksi, dan tersambung dengan hp gue, ini bakalan baik buat lo," ujar Gio. Lidya semakin tenang mendengar pernyataan lelaki itu.

"Satu lagi, jangan bilang ke orang lain kalo gue ngasih pisau ini ke lo. Siapapun! Termasuk mereka," sambung Gio dengan tetap merendahkan suaranya.

"Kalo lo lagi sama gue, lo ga perlu bawa ini. Dan satu lagi, lo bisa pake pisau ini ketika gue minta," ingat Gio lagi. Lidya mengangguk mengerti.

"Bisa lo bantu gue sekali lagi?" tanya Gio memastikan lalu mengangtongi pisau kecil itu dalam sakunya. Ia langsung membereskan tempat tidur itu. Ia menghadap Lidya lagi sambil memegang lengan Lidya dan merentangkannya. "AAAA... Sakit!!!"

Pintu didobrak keras dari luar dan mereka berempat menatap mereka tidak percaya. Darah menetes dari tangan Lidya tepat di dekat nadinya.

"Gio! Sadar siapa yang lo lukain!" teriak mereka hendak menyadarkan Gio dan memukul-mukul pundaknya.

Gio lalu menggosok matanya dan memundurkan langkahnya lalu melemparkan pisau yang kini berlumuran darah. "Lo? Gue kira lo itu Ira!"

Gio terduduk sambil memegang kepalanya, terlihat teramat sakit. Ia menjauh ke sudut ruangan dan menatap mereka dengan tatapan takut.

"Udah lo harus turun dari sini dan biarin Lidya sendirian dulu," bujuk Exel sambil menopang tubuh Gio. Gio terlihat sangatlah lemas dan ketakutan.

"Dia punya kepribadian ganda, berarti dia lagi kumat," jelas Rudi prihatin.

"Ia banyak ngalamin tekanan dalam hidupnya, pas dia liat cewek manapun dia sering nganggep kalo itu Ira. Jadi lo mesti maklumim dan maafin dia," gugup Dimas. Lidya langsung mengangguk.

Gio dibawa keluar oleh mereka meninggalkan Lidya sendirian. Ia langsung berbenah dan menimang pisau tersebut masuk ke dalam kopernya.

"Apa Gio tadi nganggep gue sebagai Ira? Pisau ini gue simpen atau gue buang?" Lidya mempertimbangkan pemikirannya, dengan sangat terpaksa ia menyimpan pisau tersebut.

"Kakak! Kau di mana?" teriakan Aluna membuat Lidya tersentak kaget. Ia langsung bergegas menuruni tangga tersebut.

***

Mereka bertiga telah sampai di sekolah Aluna, bisa dilihat jika ini termasuk sekolah elite.

"Aku bilang ke guruku jika yang datang adalah kakak sepupuku dan suaminya. Jadi bertingkalah layaknya suami istri!" gumam Aluna setengah berbisik.

"Oh, gue sangat mengilhami ini," cetus Gio spontan lalu menggenggam tangan Lidya dengan erat.

"Lo gila, Aluna!" cerca Lidya tidak mengerti dengab pemikiran Aluna.

"Bertingkahlah layaknya suami istri. Mohon kak mengerti," pinta Aluna sangat berharap.

"Mendekatlah sedikit ke sini, kita lagi gak dalam masa cerai!" perintah Gio, Lidya menggelengkan kepalanya lalu dengan paksa ditarik Gio agar mendekatinya. Seketika mata mereka bertemu namun dengan cepat langsung mereka putuskan kontak mata mereka.

Mereka memasuki ruangan dan genggaman tangan tak kunjung dilepas. Seketika itu nama Aluna Fentino Lathfierg terpanggil ke depan, mereka bergandeng menaiki podium. Lidya tidak henti-hentinya mengumpat dalam hatinya.

Piala diserahkan kepada Aluna, Lidya langsung melaksanakan tugasnya. Ia berpidato layaknya orang yang kaya dan mempunyai pengetahuan yang tinggi, campuran beberapa bahasa internasional benar-benar membuat mereka teramat yakin. Pidato ungkapan kebanggaannya akhitnya selesai dan tepuk tangan menghujani ruangan tersebut. Mereka keluar dan kembali pulang.

"Menjauhlah karena kita lagi dalam masa cerai!" saran Lidya sambil terkekeh ketika turun dari motor Gio. Gio yang mendengarnya ikut terkekeh.

Mereka memasuki kafe yang sepi. Aluna masuk dengan girang dan sangat ceria dan Lidya masih saja mengutuk gadis itu dalam batinnya.

"Gimana?" goda mereka ketika melihat Lidya dan Gio berjalan serasi memasuki kafe. Baju yang mereka gunakan sepadan dengan warna yang sama. Sebuah kebetulan!

Mereka mendekati tempat duduk yang biasa mereka duduki, rasa lelah menghujami Lidya.

Belum sempat Gio duduk, sebuah benda dingin menyentuh kepala belakangnya.

"Berani kau melangkahiku sebagai wali dari adikku sendiri," gumam Oxy yang berada di belakang Gio tengah menyiapkan sebuah pistol dengan tangan kirinya dan tengah membidik kepala belakang Gio.

Gio langsung tersenyum dan berbalik arah merebut sebuah Pistol itu, ia mendapatkannya.

Kedua pistol itu saling dibidik dengan arah yang berlawanan.

"Hentikan itu Oxy! Kau tidak berhak menembak Gio! Kau pergi dari sini dan perhatikan tunanganmu saja!" bentak Aluna hendak menghentikan Oxy.

"Kalo gue jadi lo, gue bakal malu karena gak becus jadi seorang kakak," gumam Gio tidak gentar sedikitpun.

"Pergi dari sini!" usir Exel sekaligus geram.

"Aku akan menghabisimu, kau pikir kau punya kuasa untuk membunuhku? Tidak semudah itu! Aku akan membunuhmu sebelum kau membunuhku!"

Sebuah gesekan logam mengejutkan mereka. Lidya mengeluarkan sebuah samurai yang berada di bawah meja di tengah mereka dan menempelkan bidang tajamnya ke leher Oxy. Hanya dengan sebuah gerakan singkat dipastikan Oxy agar terluka parah. "Pergilah dari sini dan jangan pernah kembali lagi!"

"Berhentilah menemui adikku ataupun berkomunikasi dengannya!"

"Kita sepakat."

I'll Do Anything For You [Lathfierg Series]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang