[3] Sinting!

115 29 1
                                    

Fika keluar dari mini market dengan banyak makanan dan minuman bertumpuk di tangannya. Ia lupa membawa tas belanja, kalau beli harganya lumayan, jadi Fika merelakan dirinya ditatap orang-orang yang berlalu lalang di sore hari ini. Untung saja apartemen Nada tidak terlalu jauh, jadi Fika bisa menebalkan mukanya untuk beberapa menit sampai tiba di kamarnya.

Siulan dari bibir Fika berhenti ketika melihat seseorang mengenakan baju kantornya sedang berdiri di depan pintu apartemen. Ia mendekatkan diri dengan langkah pelan, mencoba menerka siapa gerangan yang sedang berdiri sembari menekan bel apartemen dengan tidak sabar. Jangan-jangan maling? Ah, Fika, dangkal sekali pikiranmu. Mana ada maling yang mengucapkan salam?!

"Sia—Ya ampun!"

Sumpah. Demi spongebob yang menyelami lautan, Fika kaget setengah mati. Barang-barangnya sampai berjatuhan di lantai, bibirnya terbuka beberapa centi setelah melihat Stevano di hadapannya. Tergesa-gesa, Fika memungut makanan dan minumannya. Sialnya, harga dirinya semakin jatuh. Stevano masih berdiri tegak tanpa ada niat membantunya.

"Lo ngapain di sini? Mau ketemu Nada? Kalian 'kan sekantor," cerocos Fika begitu semua barangnya sudah kembali dalam pelukannya.

Tipikal Stevano. Dingin dan datar. "Boleh gue masuk dulu?"

"Oo—okay."

Fika dengan susah payah menekan beberapa digit angka sandi apartemen, lalu membuka pintu dengan sikunya. Stevano melangkah masuk dan duduk di sofa, seolah-olah ia adalah tuan rumahnya. Fika tidak bisa menyembunyikan cibirannya, tidak peduli juga kalau Stevano mendengar. Alih-alih mengusir pemuda itu, Fika menawarkan minum. Ya, dia hanya mengikuti tata krama.

"Jadi, lo ngapain di sini?" tanya Fika langsung setelah memberikan segelas air mineral pada Stevano.

Bukannya menjawab, pemuda itu menatap Fika dan berkata, "Lo ada minuman dingin? Atau es batu? Gue mau dong."

Sialan. Baru beberapa detik, Stevano sudah memperbudaknya. Untungnya Fika memiliki tingkat kesabaran level dewa. Dia masih mau beranjak untuk mengambil beberapa es batu, lalu membiarkan Stevano memasukkan lima buah es ke dalam minumannya. Fika menatap Stevano lamat-lamat, menahan hasrat untuk mendorong air yang sedang diteguk pemuda itu agar cepat tandas, dan Fika bisa segera mengusirnya.

"Lo numpang di apartemen Nada?"

"Iya." Fika masih meladeninya dengan sabar.

"Awet banget, ya, persahabatan kalian. Dari sekolah dasar."

Fika tidak mengerti ke mana sebenarnya arah pembicaraan Stevano. "Jadi, kapan lo pergi?"

Stevano terkekeh. Kali ini benar-benar menatap Fika yang masih berdiri. "Lo ngusir?" tanyanya. Pemuda itu menyandarkan badannya pada sofa sembari melipat kedua tangannya.

"Secara kasarnya, iya."

"Kenapa? Gue sudah minta izin sama Nada."

Kerutan di dahi Fika semakin banyak. "Ya, terus, buat apa lo ke sini?"

Stevano terdiam sejenak sebelum merogoh saku celananya. Fika bisa melihat pemuda itu mengeluarkan dua lembar uang berwarna biru dari dompetnya. "Gue mau balikin uangnya Nada."

Tidak tahu kenapa, ucapan Stevano barusan terdengar lucu dan... tidak masuk akal. Ayolah, mereka—Nada dan Stevano—itu sekantor. Masa balikin uang saja harus ke apartemen? Fika benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikir seorang Stevano. Sepertinya, sejak dulu otak pemuda itu bekerja terlalu rumit.

"Gue nggak sempat ngasih, soalnya dia sudah keburu jalan sama pacarnya setelah pulang tadi. Sekalian gue disuruh nyampaiin, kalau kemungkinan lo bakal sendirian di apartemen malam ini."

MUSE [10/10 END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang