[ HARAPAN UNTUK BAHAGIA]

35K 952 9
                                    

Jangan lupa Vote+Coment kalian jya blurb blurb...!

Warning, Typo!

Happy Reading!!!!!

( ╹▽╹ )

Setiap manusia itu punya ujiannya masing-masing. Kalau waktunya selesai, maka ujian itu akan pergi dengan sendirinya. Begitupun dengan Stella. Dia tersenyum lega, merasa semuanya akan baik-baik saja mulai hari ini. Meskipun kedepannya akan ada masalah yang akan datang kembali, setidaknya ia tidak akan sendiri.

Dress berwarna putih itu melekat indah di tubuhnya. Ia memperhatikan pantulan tubuhnya di cermin sambil tersenyum lebar. Namun, ia tak bisa berbohong kalau ia sedang gugup kini, mengingat pernikahan nya sudah tidak lama lagi. Hari ini ia akan mengadakan acara bridal shower.

Jantungnya berdegup lebih kencang. Tiba-tiba bayangan masa lalu terlintas di benaknya. Entah kenapa, semua kejadian buruk tiba-tiba teringat kembali, yang membuatnya jatuh terduduk secara tak sadar.

Stella menarik nafas dalam-dalam, dadanya terasa sesak. Sungguh, itu menyakitkan untuknya. Tanpa sadar pipinya sudah basah, karena air matanya keluar cukup banyak.

Stella meraba barang terdekat disekitarnya. Ia memegang pinggiran kursi kayu sebagai penumpu nya untuk berdiri.

Namun, lagi-lagi ia terduduk sambil menepuk-nepuk dadanya pelan.

"Sakit..." Stella berbisik. Ia menoleh pada pintu, berharap ada orang masuk ke kamarnya.

Beruntung, harapan nya terkabul setelah 5 menit Stella mencoba menenangkan emosinya. Adisa menutup mulutnya kaget, dia berlari mendekati Stella.

"Kamu kenapa, nak?." Adisa berkata dengan khawatir.

Namun, secara tak sadar tubuh Stella mundur menjauhi Adisa. Ia memeluk tubuhnya sendiri, sambil menatap Adisa takut.

"PAH, PAPAH!." Adisa berteriak, berharap Dimas mendengar teriakannya. Seingat Adisa, Dimas sedang mengobrol dengan David yang jaraknya tak jauh dari kamar Stella.

"ABANG, SHEREN!." Adisa kembali berteriak, berharap anak-anaknya mendengar teriakannya.

Tak lama, Dimas, David dan Claudia masuk setelah sadar bahwa Adisa terus menerus memanggil mereka.

Raut wajah Claudia menjadi panik, melihat tubuh Stella yang bergetar. Ia memeluk Stella erat, kemudian berbisik.

"Ada apa, nak?."

"I'm scared.." jawab Stella. Suaranya sangat kecil, nyaris tak terdengar.

"Everything will be fine.." Claudia berbicara dengan pelan, kemudian mengecup pipi Stella.

"Aku rasa Stella butuh waktu sendiri." Claudia menatap semua orang, berharap mereka semua pergi keluar untuk memberikan ruang pada Stella.

"I need medicine..." Tangan Stella terulur pada laci meja, namun Claudia menahannya.

"Kamu gak butuh itu lagi, sayang." Claudia menggeleng, menatap mata Stella dengan tatapan memohon. "Kamu udah bersusah payah untuk lepas dari obat-obatan. Sekarang kamu mau konsumsi itu lagi?."

Stella bergumam pelan. Ntah apa yang sedang gadis itu pikiran, Claudia tidak tahu. Ia menyodorkan air, menyuruh Stella untuk minum. Setelah itu, Claudia membantu Stella bangun dari duduknya, kemudian memapah Stella mendekati kasur.

Claudia membaringkan Stella dengan lembut, kemudian ia mengatur suhu AC agar Stella merasa nyaman.

"Kamu tidur dulu. Rileks. Soal acara, tenang aja, okei? Mama nanti bilang sama teman-teman kamu." Claudia mengusap kening Stella, lalu mencium nya dalam beberapa detik.

"Mama tinggal dulu ya, nak."

(⁠ ⁠╹⁠▽⁠╹⁠ ⁠)

"Stella kenapa?." Samuel bertanya dengan penampilannya yang kusut. Saat mendengar bahwa terjadi sesuatu pada Stella, dia tidak peduli lagi dengan penampilannya. Dengan tergesa-gesa, dia datang ke rumah Stella untuk mengecek keadaan gadis itu.

"Dia lagi tidur sekarang." Jawab Geraldo. Kemudian laki-laki itu menatap Nicky. "Dia pernah begini sebelumnya?."

Nicky terdiam sebentar. Dia merasa tidak enak jika harus menjawab pertanyaan Geraldo.

"Gitu deh." Hanya itu yang bisa Nicky jawab. Dia bersandar pada sofa, melepaskan rasa lelahnya disana.

"Gitu gimana?." Geraldo menyerit, bingung. "Jawab aja, Stella adek gua kalau lo lupa, Nick. Gue berhak tau keadaan dia."

"Stella biasanya gak begitu, Rald. Gak selalu. Pertama kali Stella alami hal tersebut waktu udah 1 bulan tinggal dirumah gue. Habis itu 5  bulan setelahnya dia alami hal yang sama. Papa sama mama bawa dia ke psikolog, ada yang bermasalah sama kondisinya." Nicky menjelaskan hal tersebut setelah mempertimbangkan bagaimana respon Geraldo setelahnya.

Geraldo menghela nafasnya kasar. Wajahnya tertutup oleh telapak tangannya. Ia menunduk, menatap karpet merah dengan tatapan sendu.

"Bang Ge." Sherene menyentuh bahu Geraldo. "Jangan sedih. Ini bukan salah lo, bang."

Geraldo melirik Sherene dengan tatapan sinis, "bukan salah gue gimana? Gue gak becus jadi abang, Ren."

Samuel menggerakkan tangannya, mencoba menengahi perdebatan kecil Geraldo dengan Sherene. Tangannya melambai, kemudian membentuk tanda silang.

"Stop woi, stop!." Seru Samuel. Namun, hal tersebut tidak membuat perdebatan Geraldo dan Sherene terhenti.

"Stella?." Ucapan Nicky membuat perhatian semuanya tertuju disatu titik. Stella berdiri di dekat tangga, menatap semuanya dengan heran. Penampilan gadis itu sudah rapi, terlihat Stella memoles ulang make up di wajahnya.

"Lo semua kenapa?." Tanya Stella.

"Kamu... Ga ingat?." Samuel bertanya sambil berjalan mendekati Stella, tangannya terulur. "sayang, sudah mendingan?."

Stella menyerit heran. Dia meraih tangan Samuel, menggenggam nya erat sambil melangkahi anak tangga satu persatu.

"Ini kalian semua kenapa, si?." Stella bertanya lagi, "Kok nama gue dibawa-bawa?."

Geraldo melirik Nicky, mulutnya bergerak tanpa suara, seolah-olah dia sedang berkata, 'kok Stella ga inget?.'

Nicky mengangkat bahunya, ia sendiri tidak tahu mengapa Stella tidak mengingat kejadian tadi. Padahal gadis itu sedang tidak baik-baik saja.

"Ck, udah deh kalau gamau jawab. Ayo, pergi." Stella berjalan duluan bersama Samuel, meninggalkan semuanya yang masih berdiri kebingungan.

Sebenarnya Stella mengingat semuanya. Rasa sakit akan masa lalu yang tiba-tiba teringat, sulitnya ia bernafas, dada nya yang nyeri seolah-olah ada sesuatu yang menarik saraf-saraf nya disana. Stella tidak ingin membahasnya lebih lanjut, ia takut keluarganya khawatir.

Biarlah mereka menganggap dirinya mengigau atau kerasukan. Yang penting, mereka semua tidak khawatir.

Namun yang Stella tidak ketahui ialah, justru semua orang semakin khawatir padanya. Mereka terus memperhatikan langkah Stella dengan fokus, barangkali gadis itu tiba-tiba akan merasakan sakit kembali.

Mereka semua memasuki mobil masing-masing dengan membawa harapan semuanya akan baik-baik saja mulai hari ini.

Harapan semoga Stella akan bahagia mulai hari ini.

Harapan mengenai hubungan keluarga, teman, dan masa depan.

Semuanya sudah lelah, terutama Stella. Mereka berharap mulai saat ini, yang datang kepada mereka hanyalah kebahagiaan.

Semoga.

THE SECRET OF SHARINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang