"Coba sajalah, Fik. Gue juga nggak nyangka Stevano bakal setuju sama permintaan gue."
Malam itu Nada menemani Fika yang seperti biasa duduk terpaku di hadapan layar laptopnya. Setelah menginap dari rumah pacarnya, Nada mendapatkan omelan super panjang dari Fika karena dengan seenaknya menyuruh Stevano untuk menjadi inspirasinya. Lagi pula, sejak kapan insprirasi itu ditentukan oleh orang lain? Kalau Fikanya tidak menemukan jalan terang walaupun sudah menggunakan Stevano sebagai musenya, dia bisa apa?
"Gue pikir nggak terlalu buruk juga. Buktinya, lo berhasil nyelesaiin lima paragraf," lanjut Nada sembari menatap tulisan di layar laptop Fika.
Mendengar hal itu, Fika mendorong kursi belajarnya mendekat ke kasur, tepatnya ke arah Nada yang sedang enak tidur-tiduran. Terima kasih pada roda yang terdapat di kursi, Fika bisa lebih cepat untuk menyentil dahi sahabatnya. "Ini bukan karena Stevano. Gue bisa nulis lagi karena semedi."
"Nggak usah ngeles, ya. Lo semedi sudah dari kapan, baru dapat inspirasi hari ini setelah kemarin Stevano datang ke apartemen. Kebetulan? Gue rasa bukan."
"Lo serius mau gue pacaran sama dia, ya?" Fika menatap Nada yang kini mengangguk lengkap dengan cengirannya. "Buka biro jodoh sekalian!"
"Apa salahnya sih, Fik? Lagian, bukannya kalian sudah pacaran?"
"Tolong, Nad, dia yang bilang kayak gitu tanpa persetujuan gue. Jadi, tetap gue nggak punya hubungan apa-apa sama dia."
Nada memicingkan sebelah matanya. Menatap Fika dengan tatapan jahil sambil mencolek-colek dagu Fika. "Stevano 'kan cinta monyet lo. Siapa tahu rasa lo bersemi kembali."
"Enggak!"
Sejak saat ini, tawa Nada itu menjadi hal yang paling dibenci Fika. Terdengar renyah dan nyaring, sial, sahabatnya tertawa di atas penderitaannya. Fika kembali mendekat ke arah laptop, memosisikan jemarinya di atas keyboard, dan mulai menulis kalimat-kalimat yang tiba-tiba saja melintas di tengah-tengah perdebatannya dengan Nada.
Fika masih membantah kalau Stevano adalah muse barunya. Dia percaya dengan adanya kebetulan. Siapa tahu Tuhan memang menakdirkan malam ini sebagai penuntasan dari kebuntuan otaknya, tidak ada hubungannya dengan manusia pemberi masa lalu kelam bernama Stevano itu. Meskipun tangannya sibuk menari-nari di papan ketik, pikiran Fika tidak hentinya merutuki segala hal yang terjadi kemarin. Apa yang tidak disadari Fika adalah ia sudah berhasil menulis sebanyak dua halaman, seiring dengan makiannya pada Stevano—yang diucapnya dalam hati—yang menggebu-gebu.
See? Apa masih bisa dibilang hanya kebetulan?
"Gue balik ke kamar, Fik. Sukses buat novel lo," kata Nada yang diamini dengan kencang oleh Fika.
Kalau sudah asyik menulis, Fika bisa lupa dengan segala hal. Dia tidak merasa lapar meskipun belum makan malam, kantuknya hilang bahkan ia bisa tidak tidur sampai besok pagi. Intinya, Fika bisa seambisi itu untuk menuntaskan ide-ide—yang beruntungnya—malam ini berputar-putar begitu banyak di kepalanya. Gadis itu bahkan tidak sadar sudah duduk selama enam jam sejak tadi sore dan kini jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Tiba-tiba Fika merasa haus, tetapi ia merasa sangat enggan untuk beranjak dari kegiatannya. Fika takut kalau tangannya berhenti mengetik barang sedetik, inspirasi itu akan lenyap, dan ia tidak mau harus bersemedi selama berbulan-bulan.
Tidak tahan. Salivanya sendiri tidak bisa mengatasi dahaganya. Maka, dengan gerakan secepat kilat Fika menuju dapur, mengisi gelas kosong dengan air mineral, lalu meneguknya sesegera mungkin. Ia tidak peduli kalau langkah kakinya membangunkan Nada, yang jelas, saat ini kelanjutan ceritanya lebih penting dari rasa kantuk Nada!
KAMU SEDANG MEMBACA
MUSE [10/10 END]
FanfictionKetika Fika kehilangan inspirasinya, Stevano datang menawarkan kisah untuk ia ceritakan. Copyright 2019 by Aksara- [RiFy Area]