Irene membuka pintu ruangan bosnya hanya untuk mendapati lelaki itu sedang mencium seorang perempuan. Dan seketika mereka berdua langsung memisahkan diri saat melihat kedatangan Irene.
"Ah, maafkan saya pak.. Saya sudah mengetuk tapi tidak ada jawaban." Irene membungkukan badannya bersalah.
"Saya cuma mau ngasih laporan yang bapak minta pagi ini." Gadis itu menyerahkan selembar map yang didalamnya sudah berisi kertas-kertas laporan.
Wendy berdehem, mengambil berkas dari tangan Irene kemudian berkata dengan nadanya yang sedikit malu.
"Makasih, kamu boleh kembali ke ruangan."Irene membungkuk, lalu berjalan meninggalkan bosnya tersebut.
Dia mendudukan diri diatas kursi dengan desahan kesal.
Sudah beberapa hari berlalu sejak kejadian di Jeju waktu itu. Mereka kembali menjalani hari seperti biasa. Wendy yang masih suka memberi banyak kerjaan, meminta hal aneh-aneh, tidak sabaran dan kadang marah-marah. Tidak ada yang berubah, mungkin yang berubah hanya otak Irene yang tidak mau berhenti memikirkan kejadian ciuman itu.
Irene benci karena dia tidak bisa membenci Wendy. Atau bahkan minimal marah. Irene berhak marah kan? Tapi nyatanya perasaan itu tidak muncul dihatinya. Yang ada hanya kegelisahan.
Gadis itu tanpa sadar jadi malah sering melamun, memerah sendiri dan kadang memperhatikan wajah bosnya sedikit lebih lama.
"Aarrgh!" Dia mengacak rambutnya frustasi.
"Dia bahkan mungkin gak inget.." Gumam Irene mengubur wajahnya dalam-dalam diatas lipatan lengannya.
Tiba-tiba terdengar ketukan pintu, disusul sosok atasannya yang berdiri disana.
Irene mengangkat kepala dengan rambut sedikit acak-acakan.
"Saya mau keluar sampai jam makan siang. Kalo ada apa-apa telepon saja." Katanya lalu pergi bahkan sebelum Irene punya kesempatan untuk menjawab.
Dia mendengus, meraih ponselnya untuk mengisi waktu sebelum jam makan siang tiba--yang mana tinggal lima belas menit lagi.
"Sekali playboy tetep playboy. Berhenti mikirin dia napa otak."
Bukan salah Irene karena jadi mudah baper kaya gini. Karena Irene juga baru mengalami hal ini--iya, Wendy merebut ciuman pertamanya. Ditambah kata-kata bosnya waktu itu yang mengatakan 'kamu tidak akan jatuh cinta sama saya' malah membuat Irene jadi bertanya-tanya bagaimana Wendy bisa berkata seperti itu? Dan otomatis hal tersebut membuat Irene jadi memikirkan sosoknya lebih sering.
"Brengsek! Dasar gak punya hati, lubang pantat sialan!" Irene memukul mejanya dengan marah.
(Maksud dia adalah asshole pemirsah.. Maklum translatenya secara harfiah)
Dia mencoba bernafas dengan teratur untuk menenangkan diri.
Jari telunjuknya secara otomatis menyentuh bibirnya yang pernah ditempeli bibir Wendy. Seketika wajahnya memanas--lagi. Sialan, efeknya ternyata sehebat ini..
Memang tidak ada yang terjadi setelah itu, karena Wendy keburu pingsan--atau lebih tepatnya tidur. Mereka bahkan menghabiskan liburan besoknya dengan keluarga dan teman-teman Wendy yang lain. Lelaki itu masih bersikap biasa terhadap sekretarisnya tersebut seolah tidak ada yang terjadi.
Sepertinya Wendy memang lupa dia pernah mencuri ciuman seorang gadis yang masih sangat polos saat mabuk.
"Ottokeh..?"
.
.
.
"Kamu kenapa ngelamun terus?" Wendy menegur Irene yang langsung tersadar saat mendengar suaranya."Aah, enggak pak hehe.."
"Kalo kamu sakit berobat. Jangan nyusahin saya dengan izin."
Irene rasanya ingin menarik rambut coklat itu dengan sekuat tenaga. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu saat seseorang tengah merasa tidak sehat.
Tapi sebentar, mungkin dia bisa menggunakan alasan ini untuk menghindari Wendy--minimal selama beberapa hari.
"Kalau saya izin sakit selama dua hari gimana pak? Saya berasa gak enak badan sebenernya, dari pagi." Irene pura-pura memijit kepalanya untuk meyakinkan Wendy yang bahkan tidak memandangnya sama sekali.
"Ya, asal kamu siap gaji kamu saya potong." Katanya datar.
Irene dalam hati cemberut. Ya masa izin sakit dipotong gaji sih?
"Kok gitu sih?!" Protesnya tidak terima.
"Ya ngapain juga kamu berencana buat sakit."
Wendy berdiri mendekati sekretarisnya kemudian diluar dugaan, dia mencondongkan kepalanya--memperhatikan wajah Irene dengan serius dan intens.
Jarak mereka terlalu dekat, mungkin hanya satu jengkal saja. Membuat Irene bisa dengan leluasa mencium bau maskulin yang menguar dari tubuh Wendy.
"Kamu gak pucat, tapi pipi kamu memang merah." Ujarnya monoton, seringai seksi itu menampakan dirinya kembali.
Jantung Irene sudah tidak karuan dibuatnya.
"Bilang pak Jooho lampiran yang dia kasih ada yang kurang. Sudah saya tulis disana apa saja. Segera perbaiki, saya mau sore ini selesai."
Wendy berjalan memasuki kamar mandi, meninggalkan Irene yang sesak nafas.
"Sialan, jangan senyum gitu napa. Bahaya tau buat jantung." Gerutu Irene mencebik kesal.
.
.
.
"So, ceritain gimana liburan di Jeju berdua sama Irene?" Tanya Seulgi antusias. Dia sedang berkunjung ke ruangan lelaki itu untuk mendiskusikan sesuatu. Tapi pertanyaan lebih penting yang sudah sejak beberapa hari meminta di keluarkan tidak bisa dia pendam lebih lama lagi.Jadi masalah kerjaan entar dulu aja..
"Kondangan." Koreksi Wendy, sibuk sendiri dengan HPnya. Kebiasaan yang sudah mendarah daging, dia tidak pernah memperhatikan lawan bicaranya saat mengobrol.
"Ya ya terserah, yang penting kalian pergi berdua. Jadi gimana?" Seulgi berujar gemas.
"Ya gitu, kita kondangan. Ngasih kado terus makan."
Seulgi membuang nafas jengkel. Percuma bicara dengan sahabatnya yang kaku itu. Sepertinya dia harus menanyakan hal ini kepada Irene. Dia yakin sesuatu telah terjadi, melihat tingkah Irene yang tidak biasa akhir-akhir ini.
Sebenarnya tidak sulit untuk jatuh cinta dengan pria seperti Wendy. Dia hampir punya segalanya. Wajah tampan, harta, jabatan juga otak cerdas.
Satu yang sangat susah didapatkan dari lelaki itu, hatinya.
"Gimana kabar bunda?"
Wendy menghentikan gerakan jarinya, lalu memandang sahabatnya sebentar.
"Baik." Lalu dia kembali sibuk dengan ponsel ditangannya.Seulgi cemberut, gimana sih ceritanya dia bisa bersahabat dengan lelaki itu? Padahal sifat mereka begitu bertentangan.
"Anyway, masalah Irene.. Kayaknya aku suka deh sama dia." Seulgi mengelus-elus dagunya berpikir. Dia begitu tenggelam dalam pikirannya sampai tidak tahu bahwa Wendy mengangkat kepalanya dengan sangat cepat.
Keterkejutan melintas sebentar di matanya, sebelum digantikan dengan tatapan datarnya yg biasa.
"Terserah."
"Gapapa nih?"
"Kenapa harus izin sama saya?" Wendy memandang sahabatnya dengan bosan.
"Ya kan kamu bosnya." Seulgi tertawa canggung.
"Saya bukan orangtuanya."
Lelaki Kang itu berdiri dengan semangat. Mengepalkan tangannya antusias.
"Kalo gitu saatnya beraksi. Bye, Wen." Setelahnya dia menghilang di balik pintu yang tertutup nyaring.Wendy menghela nafas, dia memandang seorang wanita berparas cantik meski wajahnya sudah dihinggapi keriput.
"Bun, Wan kangen.. Kapan bunda ketemu Wan lagi?" Dia bergumam sedih, mengusap bibir yang sedang tersenyum itu di layar ponselnya.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Arrogant
RomanceGanteng sih, tapi kelakuannya suka bikin orang naik darah.. Cerita Irene yang punya CEO arogan, labil, pemarah, nyebelin, suka ngatur tapi gantengnya bikin orang lupa diri.