Hito menaiki tangga menuju lantai empat. Masih terpikirkan bagaimana cueknya prilaku Fiolyn tadi, jangankan untuk peka terhadap dirinya. Sekedar memperhatikan botol minuman pun, enggan gadis itu lakukan.
Miris dan tidak semudah itu ternyata.
Hito berhenti melangkah tepat di hadapan pintu ruangannya, sesaat ia teringat ucapan Fiolyn.
"Teh Una telepon saya, katanya dia tungguin Bapak di kantor."
Lelaki itu menempelkan daun telinga pada pintu barang sejenak, tadi saat melewati lantai dua Hito tidak melihat Una di ruang khusus tamu yang memang menggunakan sekat kaca transparan. Berarti perempuan itu pasti ada di dalam.
Dan benar. Ketika Hito membuka pintu, Una tengah duduk di kursi kebesaran.
"Kamu dari mana?"
Hito berjalan ke arah sisi meja serta kursi yang Una duduki, ia mendekat ke arah jendelan besar. Mengintip seseorang di bawah sana.
Jika biasanya Hito hanya akan diam dan tidak banyak berkomentar ketika bersama Una, mungkin saat ini tidak. Hito tidak akan terus diam dan membiarkan Una bersikap seenaknya.
"Ngapain tanya, kalau lo sendiri sudah tahu jawabannya."
Masih belum menoleh ke arah Una, Hito memperhatikan Fiolyn yang baru saja melaju keluar dari pelataran parkir dengan motor matic. Sejujurnya tadi Hito hanya iseng memberikan motor milik Fiolyn untuk dipakai oleh Pepy, tukang parkir yang sering kali mangkal di depan distro. Dengan dalih minta tolong dicucikan sampai bersih. Karena dengan cara begitu dia bisa curi-curi waktu, berduaan dengan Fiolyn pergi ke garmen.
"Maksudnya?"
"Bukannya tadi lo telepon si Neng?" Kali ini dia menoleh sembari bersandar pada jendela kaca.
"Itu karena kamu gak jawab chat dan telepon aku."
"Terus, kenapa masih tanya?"
"Cuma mastiin. Gak boleh?"
"Una, siapa pun juga pasti ruwet kalau tiap menit lo banyak tanya. Di mana? Lagi ngapain? Sama siapa?"
"Kamu makin dekat sama dia, ya?"
"Siapa?"
"Fiolyn."
Senyum geli Hito tercetak jelas dikedua sudut bibir. "Menurut lo?"
"..."
"Lo berani tanya kedekatan antara gue sama dia? Urusannya sama lo apa? Memang lo siapa? Cemburu? Lo gak berhak untuk itu."
"Hito.. Aku--"
"Apa?" Dengan nada menantang. "Aku apa?" Hito mendekat ke arah Una, memutar kursi yang Una duduki tepat menghadap ke arahnya. Memenjarakan perempuan itu dengan kedua tangan bertumpu dilengan kursi. Sembari menunduk menatap lekat mata Una, Hito kembali bersuara. "Jawab!"
"Aku khawatir sama kamu, apa itu salah?" Una balik menatap Hito, kepalanya menegadah disadaran kursi.
Jarak keduaya cukup dekat sehingga bisa merasakan hangat nafas masing-masing yang berhembus. Bedanya, yang satu mengintimidasi yang lainnya mencari pembelaan diri.
Hito tahu, dibalik sikap posesifnya yang menjengkelkan. Una sangat mudah digertak jika dia merasa tersudutkan seperti saat ini. Apa lagi jika Hito melontarkan kalimat paling fatal untuk mengintimidasi Una.
"Khawatir? Khawatir apa? Khawatir gue pergi cari cewek lain seperti yang lo lakuk--"
"Hito!!" Una menyela, suaranya memekik tertahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
HISTORIA
ChickLitAwal pertama melamar kerja Fiolyn memilih untuk berada di urutan tingkatan terendah karyawan, ya.. Bukan sebagai Office Girl juga. Intinya ia tidak ingin terlalu sering berurusan dengan atasan. Karena menurutnya, semakin tinggi jabatan sebagai kary...