"Lo yakin mau sekolah?" tanya Lidya sembari memperhatikan Aluna dari atas ke bawah dengan seragam abu-abunya.
"Yakin dong kak," tukas Aluna sambil menyisir rambutnya ke belakang lalu duduk di samping Lidya.
"Kecelakaan hari itu seperti nikmat yang tidak terkira," timpal Aluna. Lidya melebarkan matanya mendengar pernyataan Aluna.
"Nikmat? Sampe lo ga masuk sekolah selama tiga hari? Gue jadi keinget Sadam. Udah tiga hari juga gue ga kuliah karena ngerawat lo apalagi harus kerja," gumam Lidya sambil merebut sisir itu dan menyisir rambutnya sendiri yang kian memanjang.
"Kerja? Gak kak! Kakak udah jadi sekretaris Oxy dan itu dibayar. Itu kerja yang bagus, dalam ruangan, santai dan full Ac. Ya mau gimanapun, sehabis kejadian itu aku mendapatkan kasih sayang berlebih dari kalian," riang Aluna lalu mengambil tasnya.
"Kerja bagus apanya? Bisa gak gantiin bos gue jadi Erick? Bisa-bisa naik tekanan darah gue ngehadepin kakak lo," guman Lidya lalu mengambil ikat rambutnya namun dengan cepat direbut Aluna.
"Tidak kak, uraikan saja seperti itu. Akan aku katakan pada semua orang jika wanita yang ada di hadapanku adalah kakakku. Kau dan Oxy itu serasi, api dan es. Selama kau berada dalam dirimu sendiri dan merepotkannya kau akan menang." Aluna mengambil tas kuliah Lidya dan memberikannya.
"Ada juga adik kek lo yang mau kakak biologis lo kalah," kekeh Lidya lalu membiarkan rambutnya terurai dan menyematkan jepit rambut kecil di sisi kanan kepalanya.
"Aku hanya ingin hatinya sedikit melunak dan lebih lembut saja. Dan kakak harus bisa menjauhkan dia dari Bianca, jalang itu adalah penggangu keharmonisan keluargaku," pinta Aluna setengah berbisik.
"Lo siapa nyuruh-nyuruh gue?" goda Lidya dengan menatap asing Aluna.
"Aku adikmu," bujuk Aluna dengan Puppy Eyesnya.
"Iyakah? Apa lo pantas gue anggep sebagai adik? Lo itu udah mirip majikan gue, lo kemana-mana gue ikutin mulu," gumam Lidya sambil membuka Gordyn jendelanya.
"Aku itu adikmu dan adiknya Oxy," jawab Aluna lagi.
"Terlalu berharap untuk menjadi adikku? Sungguh kasihan," ujar Lidya dengan bahasa yang lebih formal dan Aluna yang mendengarnya hanya terkekeh geli.
"Hey kalian berdua?! Ayo berangkat!" teriak Oxy dari luar kamar. Lalu ketukan sepatu itu menjauh dari kamar.
"Ayo kita keluar, tuh bos besar udah manggil," sindir Lidya dan membuka pintu.
***.
Lidya dan Aluna berjalan membelakangi Oxy menuju mobil Lamborghini Veneno yang ia miliki.
"Kau tidak akan memberikanku kesempatan untuk membawa mobilku sendiri? Aku bukan anak kecil dan luka itu sekarang telah sembuh," rayu Aluna tak henti. Oxy tetap konsisten untuk melarangnya.
"Lihat! Kau mengajak kami berdua untuk masuk dan pergi bersamamu di mobilmu itu," guman Aluna lagi, Lidya hanya menggeleng melihat tingkah kakak dan adik ini yang belum ia lihat sebelumnya.
Oxy berbalik dan menaikkan satu alisnya seraya mengangguk pelan. "Lalu?"
"Lalu? Lihat mobil itu hanya punya dua jok dan coba kau hitung, kita bertiga! Uang dan segala aset perusahaan telah mempengaruhi fungsi kerja otakmu," cibir Aluna tidak peduli akan kemarahan Oxy.
Oxy mencekal tangan Aluna dan menariknya paksa ke suatu bagian di rumah mereka. Ia berbalik dan menunjuk Lidya. "Kau juga ikut!"
"Lihat kau! Kau memerintahkan dan melakukan apa saja yang ingin kau lakukan! Jika bisa kau pasti telah memerintahkan matahari untuk sedikit meredupkan cahayanya ketika siang agar kau tidak kepanasan," celoteh Aluna tanpa henti. Oxy langsung memegang kepalanya.
Lidya sedikit tersenyum dengan tingkah mereka, ia melihat sikap Oxy kian berubah selama beberapa hari kehadirannya di rumah Oxy. Langkah Oxy terhenti di depan cermin besar yang dipajang di ruang tamu. "Lihat!"
"Apa yang ingin aku lihat? Di cermin itu hanya ada aku dan kau?! Aku telah bosan melihat tubuhmu itu, selama aku hidup tidak ada perubahan sedikitpun ataupun melebar," celoteh Aluna lagi. Oxy meninggalkan Aluna lalu menarik Lidya mendekati Aluna.
"Apalagi ini?" heran Aluna tak henti.
"Coba kau tatap lekat tubuh kalian berdua, bentuknya seperti huruf I dan mustahil jok mobilku tidak bisa menampung kalian berdua," gumam Oxy.
"Bentar? Huruf I?" heran Aluna dengan menatap Oxy sengit.
"Kurus," jawab Oxy spontan lalu tertawa kecil.
"Kurus? Harap anda catat di pikiranmu tuan Oxyvier, kami para wanita sensitif untuk dikatakan seperti itu," protes Aluna tidak terima.
"Terserah kau saja, ayo kita pergi nanti kau terlambat begitupun aku dan Lidya," sela Oxy di tengah protes Aluna. Mereka melangkah dan Bianca menghadang langkah mereka bertiga.
"Bianca?" kaget Oxy ketika mendapati wanita itu tengah berdiri di tengah pintu.
"Jalang oh jalang," gumam Aluna tanpa mempedulikan tatapan Bianca.
Bianca menatap sengit ke arah Aluna terutama terhadap gadis yang berdiri dengan rambut lurus terurai, Lidya.
"Bisakah kita pergi bersama?" tanya Bianca mendekati Oxy.
Oxy menggeleng singkat. "Kau bawa mobil sendiri kan? Kau bisa pergi dengan mobilmu."
"Kau hanya berdua dengan Aluna di mobil, mobilmu cukup luas untuk menampungku," bujuk Bianca tak henti. Oxy tetap konsisten dengan tanggapannya.
"Kau bisa pergi sendiri, aku tengah sibuk. Urus saja urusanmu." Oxy memasuki mobil dengan menelpon seseorang.
Bianca terlihat sangat kesal. Ia mendekati Aluna perlahan. "Dasar! Kau akan menyesal karena telah mencoba untuk menang dariku! Aku akan memberikanmu pelajaran sampai kau bertekuk lutut kepadaku!" decak Bianca. Ancaman di tiap intonasi terngiang di telinga Lidya.
"Lo pikir lo siapa? Sebelum lo ngelakuin itu gue ingetin karena lo gak bakal bisa. Jangan lupa, selama masih ada gue, gue pastiin sesuatu yang ga pernah ada dalam bayangan lo. Dan, jangan pernah coba ganggu gue lagi karena lo bakal rasain akibatnya ngeganggu gue," cetus Lidya. Pintu mobil Oxy terbuka sempurna menunggu mereka memasuki.
"Ancam kami sebisa lo, karena itu bakalan tetep jadi ancaman," sambung Lidya sebelum memasuki mobil Oxy dan meninggalkan rumah serta Bianca yang menatapnya kesal.
Aluna telah berada di sekolah, ia berjalan sendirian meninggalkan mobil Oxy. Sesekali ia menoleh ke belakang mengamati mobil kakaknya dan melambaikan tangan dengan riang.
"Bisa saja ia terlihat sangatlah riang, tetapi ia tidak punya teman satupun." Lidya menatap heran gumaman Oxy yang tidak ia mengerti.
"Dia sekolah sendiri, ke mana pun sendiri. Kehidupan malam terasa menyenangkan baginya dan di siang harinya ia merasa sepi. Bodohnya aku memisahkan kalian," decak kesal Oxy.
"Semua yang terjadi gak bisa diulang lagi. Gue boleh nanya sesuatu padamu pak? Toh kalo boleh," tanya Lidya seakan tidak terlalu mementingkannya.
"Apa?"
"Gue harus manggil lo apa? Mister? Tuan? Pak? Atau apa?" tanya Lidya ketularan sikap Aluna di pagi hari.
"Panggil aku dengan namaku dan terbiasalah memakai bahasa yang lebih formal," jawab Oxy lekas lalu menghidupkan mesin mobilnya.
"Kalo ga dosa aja dah gue bakar hidup-hidup nih orang," gumam Lidya dengan suara yang teramat kecil.
"Kau ngomong apa barusan?"
"Oh tidak ada," jawab Lidya lekas. Ia melega, jika tidak dia akan mengadakan perang dengannya.
***
Mereka berdua telah sampai di kampus, mereka berjalan beriringan. Para mahasiswa pun menatap mereka tidak percaya, karena mereka melihat kedua orang itu jalan bersama terakhir kali sejak beberapa bulan yang lalu dan kejadian itu kini terulang.
"Malam nanti kita akan ada rapat penting, setelah pulang dari kampus kita langsung berangkat ke kantor," ujar Oxy. Merasa tidak ada respon apapun ia menoleh dan melihat ke arah belakangnya. Gadis yang sedari tadi ia temannya mengobrol tidak ada di sekitarnya.
"Lidya, kau dimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
I'll Do Anything For You [Lathfierg Series]✔
Novela JuvenilBook 2 of Lathfierg series Wajib baca 'Just Cause You, Just For You' terlebih dahulu! "Ini bukanlah akhir dari segalanya." Kalimat yang sering Lidya rapalkan ketika ia terpuruk jatuh, hingga ia mencoba untuk bangkit lagi dan berdiri tegap dengan men...