(22)

3.1K 309 11
                                    

"Kali ini Dewi bukan salah paham." Tatapan Juna sekarang terlihat pasrah dan nggak bisa berbuat banyak, keadaannya berubah tapi gue juga nggak mau ikut campur sama hubungan mereka berdua, nggak akan lagi.

"Aku udah hafal sama kelakuannya Dewi setiap kali tahu kalau kamu lagi sama aku, mana mungkin dia nggak akan salah paham." Nggak ada saat dimana Dewi nggak salah paham sama gue, dari awal gue sama Dewi memang nggak bisa berhubungan baik, gue terlanjur nggak suka sama dia karena ingat gimana jahatnya dia waktu ninggalin Juna dulu, Dewi Juga nggak suka sama gue, itu pasti.

"Dia mungkin akan terus ngeliat kita berdua tapi sayangnya dia nggak akan salah paham, kali ini apa yang ada dalam pikiran Dewi itu nyata." Dan hening.

Nyata yang dimaksud Juna sekarang kita berdua jelas tahu maksudnya apa tapi tetap aja, gue akan membebaskan Juna, gue nggak akan membebani Juna karena gue tahu, dihati Juna sekarang cuma ada Dewi, dia udah berbuat sejauh ini jadi bohong kalau Juna bilang dia nggak merasakan apapun.

"Kalau memang kamu nggak mau Dewi tahu, aku bisa menghindar, aku nggak akan ikut campur, itu hak kamu dan aku sadar sama posisi aku juga, jangan khawatir." Gue belajar menempatkan diri, jangan biarin Juna berkorban terlalu banyak, dia juga berhak bahagia dengan pilihannya.

"Hak? Sadar posisi?" Juna tertawa sinis.

"Kalau kamu sadar posisi kamu itu apa, kamu nggak akan ngomong kaya barusan, kamu nggak usah bersikap seolah berhati luas dengan membiarkan aku terus bersama Dewi karena aku juga tahu, yang ada dihati kamu sekarang cuma Mas Zian, kita berdua nggak ada bedanya." Sambung Juna menekankan kalimat terakhirnya.

Mendengarkan ucapan Juna, gue mengangguk pelan dan ikut tertawa miris, kalau memang itu yang Juna pikirin, ngapain dia buang-buang waktu untuk ada disisi gue sampai sekarang? Apa cuma karena rasa kasihan? Gue nggak butuh itu.

"Harusnya kamu ngomong kaya gini dari awal jadi kita nggak akan sejauh ini, tapi nggak papa, ada bagusnya kamu jujur sekarang, walaupun terlambat tapi semuanya masih bisa kita ubah." Gue memaksakan senyuman dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

"Ran! Aku sama sekali nggak bermaksud, aku cuma_"

"Nggak papa, kamu nggak salah, apa yang kamu omongin memang bener, aku masih mikirin Mas Zian dan itu nyata." Juna nggak perlu ngerasa bersalah sama gue, omongannya bener.

"Ahhhhh, aku ngantuk, aku tidur ya." Langsung memejamkan, gue mengabaikan Juna dan nggak merespon apapun lagi, gue harus diam kalau nggak mau air mata gue balik tumpah di depan Juna, gue nggak mau dikasihani lagi.

.

Gue membuka mata perlahan dan terdiam memandangi langit tepat dimana gue berbaring sekarang, kenapa gue udah dikamar? Bukannya tadi gue tidur di mobil Juna? Kenapa udah di rumah?

Bangkit perlahan, gue mencepol rambut gue tinggi dan mulai memperhatikan sekitar, ada baskom dan handuk kecil yang terletak di atas nakas selebihnya cuma laki-laki yang berbaring di atas sofa yang mengambil alih perhatian gue sekarang, Juna kenapa masih disini?

"Jun! Bangun, kamu nggak mau balik ke rumah orang tua kamu." Gue nepuk lengan Juna pelan tapi belum ada respon apapun, gue melirik jam sekilas dan sekarang udah malam banget, besok ada acara besar dirumahnya kalau Juna tidur disini, keluarganya pasti nyariin.

"Juna! Arjuna!" Ulang gue nepuk lengan Juna sekali lagi tapi karena masih belum ada pergerakan, tangan gue spontan nepuk pipinya Juna dan itu lumayan keras, orangnya bangun.

"Kamu mau ngebangunin atau memang punya dendam sam aku?" Tanya Juna mengusap pipinya yang sedikit memerah, perasaan gue nggak nampar sekeras itu.

"Sorry, nggak sengaja namparnya." Sesal gue tapi nggak terlalu.

"Hah bagus, sadar juga kalau yang barusan itu tamparan, nggak usah sok-sokan ngomong sorry kalau rasa bersalah aja kagak ada, mata kamu nggak bisa nipu." Gue menunduk pasrah nggak ada bantahan lagi, gue kalah telak.

"Yaudah bangun sana, orang rumah pasti nyariin." Ini udah telat banget soalnya.

"Aku udah ngabarin jadi kamu nggak perlu repot-repot ngusir aku, kamu sendiri gimana? Masih demam?" Juna langsung meletakkan telapak tangannya di kening gue dan menghembuskan nafas lega begitu tahu kalau demam aku udah turun, gue sendiri padahal nggak ingat kalau gue sempat demam tadi.

"Syukur kalau demam kamu udah turun, kamu mau beberes dulu atau mau langsung makan? Udah aku siapin." Tawar Juna yang membuat gue memutar bola mata malas, gue nggak laper dan gue juga lagi malas beberes, intinya gue malas-ngapa-ngapain.

"Kamu makan duluan aja, aku mau baring sebentar lagi." Berbalik arah, gue melangkah menuju ranjang sebelum di tarik paksa sama Juna keluar kamar dan turun ke bawah.

"Siapa yang udah janji kalau bakalan nurut sama aku? Lupa atau gimana? Nggak usah banyak bantahan, nggak mau beberes itu terserah tapi makan itu harus, kamu turun makan sekarang."  Ngeselin banget memang kalau sikap Juna lagi begini.

Sampai dibawah, gue ngambil makan secukupnya dan mulai menyuap makanan gue perlahan, Juna sendiri duduk dihadapan gue dengan secangkir kopi ditangannya, gue tanya kenapa nggak makan katanya udah tadi, yaudah selebihnya hening, nggak ada orbolan apapaun lagi.

"Malas beberes masih bisa aku toleransi tapi kalau malas makan itu namanya cari penyakit." Ucap Juna yang seakan kembali membuka obrolan, gue menatap Juna sekilas dan memejamkan mata sembari bersabar.

"Kalau memang kamu sepeduli itu, kenapa nggak ngebangunin aku dari tadi? Shalat aku udah ketinggalan berapa waktu?" Bukannya ini jauh lebih penting.

"Kalau kamu cuma tidur masih bisa dibangunin tapi kalau kamu nggak sadarkan diri, apa bisa dibangunin paksa?" Juna bicara santai tapi beneran reaksi gue nggak santai sama sekali sekarang, gue beneran pingsan?

"Hah? Nggak sadarkan diri? Kapan?" Gue sama sekali nggak bisa nutupin keterkejutan gue sekarang?

"Tadi begitu sampai di rumah awalnya aku pikir kamu cuma tidur tapi udah aku coba bangunin tetap aja nggak bangun, aku langsung ngehubungin Kevin dan ya begitu." Jelas Juna yang semakin membuat gue menganga nggak percaya, seriusan gue nggak sadarkan diri.

"Jadi udah tahukan keadaan tubuh sendiri gimana? Kalau udah tahu mending makan yang banyak, jangan banyak tingkah, banyak tingkah nggak bikin kesehatan kamu membaik soalnya." Melayangkan tatapan menusuk setelah ucapan Juna barusan, gue tetap menyuap makanannya walaupun kekesalan gue juga bertambah, semoga tekanan darah gue nggak naik.

"Tapi bentar deh, kalau memang aku pingsan, terus yang bawa aku masuk ke kamar siapa? Kamu nyuruh Kevin?" Minum Juna langsung muncrat kemana-mana, jorok banget.

"Heh perempuan, kalau nanya bisa nggak otaknya dipake?" Nanya itu pakai mulut bukan pakai otak, otak mana bisa ngomong, gila dipelihara.

"Lah kan aku nanya, nggak salah dong." Gue nanya dengan penuh kesadaran sekarang.

"Heum nggak salah cuma nggak bener aja, mana mungkin aku nyuruh Kevin yang gendong kamu ke kamar, efek gila yang kelamaan dipelihara memang begini." Juna menggelengkan kepalanya nggak percaya dengan apa yang di dengarnya barusan.

"Terus siapa? Kamu?"Juna mengedipkan matanya pelan dan sudah ada jawabannya.

My Little Husband (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang