| 21.09.19 |
AKU MEMBAYANGKAN sebuah kisah. Potongan kisah, tepatnya. Baiknya sih aku yang jadi pemeran utama, tapi toh kalian bebas membayangkan siapa pun. Jadi kisahnya begini:
Pada suatu pagi yang gerimis, embun yang terbentuk pada kaca bus menarik perhatianku untuk duduk dekat jendela --pada deretan sebelah kiri di bagian belakang. Sepagian hari itu kursi bus sudah mau penuh, termaklumilah hari senin. Aku memiringkan kepala, sejuk menjalari otak saat kutempel pipi kiriku pada kaca. Nyaman.
Bus mulai berjalan, lalu tiba-tiba berhenti. Asumsiku ada penumpang yang terlambat naik. Berusaha tak acuh namun gagal saat kulihat yang terlambat sama menariknya dengan embun di kaca.
Kepalaku langsung tegak seutuhnya. Dia di sana, dengan parka hijau tuanya yang berwarna semakin pekat akibat basah dan napas memburu sedang celingukan mencari celah pada tempat yang padat. Sambil menyugar dengan sebelah tangan rambut hitamnya yang dibuat berantakan oleh gerimis. Saat tatapan kami bertemu, aku melambaikan tangan, menunjuk tempat kosong di sebelahku.
Setelah mengangguk cepat padaku, dia berjalan mendekat dan berbasa-basi singkat. "Kakak terlambat ya, Hana?" tanyanya retoris. Kuanggukkan kepala dan tersenyum demi kesopanan.
Keheningan yang canggung segera mengambil alih atmosfer bus kala itu. Payah! Seharusnya aku tidak melambaikan tangan tadi, sekarang aku jadi harus mati-matian menahan serangan kupu-kupu-maut di dalam perutku. Rasanya tidak nyaman tentu saja, seolah kupu-kupu itu sedang berhamburan sambil menaburkan sesuatu yang memberi efek 'menggelitik' di perutku. Dan baik embun ataupun pemandangan gerimis di luar bukan lagi pengalih yang tepat.
Kuputuskan untuk menoleh ke kanan sedikit. "Tumben Kakak terlambat, kenapa?"
Kak Sam --si terlambat yang duduk di kananku-- ikut menoleh. "Tadi mampir dulu ke satu tempat, Eyang minta dititipkan barangnya ke rumah salah satu kerabat," terangnya padaku. "Kesempatan sih ada cucu yang datang, jadi bisa dimintai tolong."
Aku akan mengatakan telah mengenal Kak Sam tiga hari lalu. Dalam suasana khas halte di pagi hari jumat dan berlanjut dengan bercerita lumayan banyak selama kurang lebih 20 menit perjalanan. Katanya ia bernama Baska Samudera. Mahasiswa semester 3 suatu universitas di kota yang mencoba berbakti sebagai cucu dengan mengunjungi Eyangnya beberapa hari. Aku serius dia mengatakan alasan kunjungannya persis begitu. Selanjutnya, selama menit-menit bus berjalan yang diakhiri dia turun lebih dahulu, aku menyimpulkan Kak Sam orang yang menyenangkan. Tentu saja karena dia lebih dulu mengajakku bicara, membagi beberapa kisah tentangnya --saat ini selain menengok Eyangnya dia pun sedang diberi tugas mengunjungi salah satu bukti peradaban sejarah di kotaku berturut-turut sejak jumat kemarin-- juga tentang kehidupan perkuliahan yang akan kuhadapi segera. (Poin kedua sangat membantuku membuat keputusan tentang kehidupan setelah lulus SMA). Dan terakhir karena pesonanya mampu memaksaku untuk banyak merespon --hal yang sangat jarang kulakukan.
Mengobrol dengan Kak Sam yang pandai membangun suasana sangat asik, sebenarnya. Aku jadi ingin bertanya banyak. Ingin coba menawarkan diri menemani berkunjung ke tempat-tempat keren untuk ngobrol. Membicarakan lebih banyak tentang diriku. Tentang banyak hal. Atau tentang seseorang yang istimewa yang kusamarkan lewat nama Baska Samudera.
Tapi rasa-rasanya waktu yang kupunya tidak banyak.
Mataku setengah melotot. "Hush, sama Eyang sendiri kok ngomongnya gitu." Kak Sam terkekeh atas protesku. "Tenang aja, Eyang tipenya lumayan humoris kok," terangnya pede. Benarkah? Seperti dia sendiri dong. Humoris yang berujung garing.
Aku merilekskan posisi dengan menyilangkan kaki untuk belasan menit tersisa. Kak Sam sendiri sibuk mengeluarkan sesuatu dari tas punggung warna hitamnya yang ia bawa dan diletakkan di pangkuan. Sebuah buku! Tidak, dua buah buku! Tidak juga, tiga buah buku serta satu keping CD dikeluarkan dari tasnya.