Malam ini adalah malam natal sekaligus malam terakhir Ceunah di Jepang. Besok pagi, dia akan terbang kembali ke Rusia dan menghadapi tanggung jawab yang sudah lama dia abaikan.
Meski begitu, Ceunah masih belum berpamitan pada Koko. Hati perempuan itu masih belum mampu mengucapkan kalimat perpisahan.
Walaupun begitu, pada akhirnya Ceunah harus melakukannya juga. Nanti. Ketika pesta malam natal di lingkungan apartemen mereka sudah selesai.
"Ceunah-san, bisa kau bawakan minuman ini ke depan?" Bu Hisakawa bertanya dengan senyum terulas tipis. Ceunah mengiyakan. Perempuan itu membawa satu nampan berisi botol sake dan gelas mungil ke ruang tengah keluarga Hisakawa dimana semua orang berkumpul.
Koko dan beberapa penghuni laki-laki sedang mengobrol sambil tertawa. Yang Ceunah tangkap, pak Hisakawa sedang menceritakan masa mudanya kepada mereka. Sementara para perempuan menyiapkan hidangan yang akan mereka santap.
"Ceunah-chan, Koko-kun, jadi kapan kalian akan menikah?" tanya pak Hisakawa, membuat semua orang mendongak. Koko dan Ceunah saling melirik kaget sebelum perempuan itu tertawa canggung.
"Apa yang anda tanyakan Ojiisan? Pernikahan apa?" sahutnya.
"Bukankah kalian berpacaran? Jangan lama-lama Koko-kun. Atau nanti Ceunah diambil lelaki lain," ucap pak Hisakawa memberi nasehat.
"Ojiisan, kami hanya berteman." Ceunah berusaha memberi pengertian.
"Benarkah? Kupikir tidak begitu," tukas pak Hisakawa tak percaya.
"Itu benar, Ojiisan. Kami hanya berteman dan Ceunah akan menikah dengan lelaki lain dalam waktu dekat," sahut Koko. Mendengar ucapan lelaki itu, Ceunah menoleh kaget. Dia tidak tau darimana Koko mengetahui kabar itu. Ceunah menundukkan kepalanya resah.
"Apa? Apa itu benar? Siapa lelaki itu? Kau mengenalnya Koko-kun?" kata bu Hisakawa kaget.
"Aku tidak kenal, Obaasan. Tapi kalau tidak salah, itu adalah lelaki yang di jodohkan dengan Ceunah sejak kecil. Kupikir, dia dari Rusia?" sahut Koko dengan nada ringan yang sama.
"Dijodohkan? Astaga! Ini terdengar tidak adil! Lalu bagaimana dengan hubungan kalian? Koko-kun! Cepat nikahi Ceunah-chan, lalu kalian berdua pergilah sejauh mungkin! Astaga, ini ironis sekali!" oceh bu Hisakawa. Koko tertawa mendengarnya.
"Obaasan, jangan mengajari kami hal yang tidak baik di malam natal!" balas Koko dengan nada bercanda.
"Aku hanya sedih. Tidak seharusnya seperti ini. Koko-kun, aku baru saja melihatmu bahagia belakangan ini. Itu karena ada Ceunah-chan disisimu, kan? Ya Tuhan, aku ingin menangis!" bu Hisakawa menutup mulutnya dengan mata yang berkaca-kaca. Wanita itu tidak main-main dengan kalimatnya.
"Koko-kun akan mendapatkan perempuan yang lebih baik dariku, Obaasan. Karena dia adalah laki-laki yang baik." Ceunah menyahut sebelum Koko membuka suara lagi. Perempuan itu mengulum senyum pada bu Hisakawa yang selama ini berperan sebagai ibu untuk seluruh penghuni apartemen. "Dan karena kalian sudah tau, aku akan pamit sekarang saja," ucap Ceunah, melanjutkan.
Perempuan itu menatap satu persatu wajah yang ada di ruangan itu. Bibirnya gementar menyadari betapa banyak hal yang sudah dia lalui bersama mereka selama kurang lebih empat bulan ini. Terlebih pada Koko yang malam itu duduk disampingnya.
Ceunah meraih tangan lelaki itu yang ada di bawah meja kemudian meremasnya lembut. "Saya akan kembali ke Rusia besok pagi. Dan saya ingin mengucapkan banyak terimakasih pada kalian semua yang sudah menjadi keluarga selama saya tinggal disini. Saya harap kalian akan selalu sehat, bahagia dan sukses. Apapun yang kalian kerjakan. Saya juga ingin meminta maaf kalau saya punya banyak kesalahan. Semoga kita bisa bertemu lagi di lain kesempatan," ucapnya, tersenyum tipis ke arah Koko.
###
Ketika mereka sudah bersiap untuk tidur, Ceunah mulai merasa resah. Sebabnya adalah kediaman Koko setelah dia berpamitan dengan semua orang. Entah kenapa, Ceunah merasa bersalah.
Melihat jamnya sebentar, Ceunah kemudian memutuskan untuk turun dari ranjang. Dia ingin berbicara pada Koko untuk yang terakhir kali. Ceunah melihat pintu kamar Koko tidak sepenuhnya ditutup. Setelah mengetuk pintu dua kali, Ceunah pun masuk.
"Koko-kun, apa aku mengganggumu?" tanya perempuan itu pada Koko yang berdiri memunggunginya. Lelaki itu sedang menatap pemandangan di luar jendela.
"Tidak. Ada apa? Bukan kah seharusnya kau tidur lebih awal supaya tidak ketinggalan pesawat?" sahut Koko, menolehkan kepalanya tanpa benar-benar menatap Ceunah.
"Ya. Tapi... Aku pikir aku harus mengatakan sesuatu padamu lebih dulu," ucap Ceunah, berdiri kikuk ditempatnya. Koko akhirnya balik badan untuk benar-benar mencurahkan perhatiannya pada perempuan itu.
"Aku mendengarkan," gumamnya pendek.
Ceunah bergerak gelisah. Dia bingung tentang apa yang harus dikatakannya. Yang Ceunah tau, dia merasa resah dengan sikap dingin Koko selama beberapa jam ini. Tapi, bukankah hal tersebut adalah salahnya? Kalau Ceunah memberitau pada Koko tentang jadwal keberangkatannya lebih dulu, mungkin lelaki itu tidak akan sekecewa ini.
"Maafkan aku," gumam Ceunah pelan. Perempuan itu menunduk menatap jempol kakinya yang mengetuk lantai dengan gelisah. "Seharusnya aku memberi taumu sejak beberapa hari yang lalu."
"Tentang apa? Kepergianmu ke Rusia?" sahut Koko. "Bukan hal yang besar. Tidak ada kewajiban bagimu untuk mengabariku lebih dulu. Atau lain sebagainya."
Ceunah mendongak mendengar nada sarkas dalam kalimat Koko. "Aku bukan siapa-siapamu, kan?" tambahnya, mengangkat bahu seolah tidak peduli.
Memang, batin Ceunah. Ceunah tidak punya kewajiban untuk memberitau apapun pada Koko. Lelaki itu tidak memiliki hak. Lalu kenapa hati Ceunah terasa sakit mendengarnya? Kenapa perempuan itu justru menangis?
Ceunah mendengar langah kaki Koko mendekat. Sebelah tangan lelaki itu menggapai dagunya agar mendongak. Saat mereka bertatapan sekali lagi, Koko melepaskan topengnya dan tampak begitu rapuh.
"Tolong katakan padaku kalau calon suamimu lebih baik dalam segala bidang daripada aku. Yakinkan aku kalau kau akan baik-baik saja bersamanya," gumam Koko sendu.
Ceunah tidak bisa menjawab. Tangis haru dan sedih sudah mengambil kendali dirinya. Ceunah tau dia tidak salah pilih. Dia akan tetap memilih nyawa Xavier--adiknya. Tapi perempuan itu merasa tubuh dan hatinya sudah terobek menjadi dua.
Andai saja dia bisa mendapatkan Koko dan Xavier sekaligus. Atau andai dia bisa membelah diri untuk tinggal bersama mereka dalam dua tubuh. Ceunah meraih kaos yang di pakai Koko dengan kedua tangan. Perempuan itu meremasnya kuat sambil menangis keras. Dia merasa tercabik-cabik hingga rasanya susah untuk bernapas.
"Jangan menangis, Ceunah. Kau akan membuatku kesulitan melepaskanmu." Kata-kata Koko bahkan terdengar pahit ditelinganya, membuat perasaan Ceunah semakin tidak karuan.
"Aku mencintaimu, Koko-kun. Aku mencintaimu!" ucap Ceunah disela tangisnya. Perempuan itu meletakkan keningnya di dada Koko, menyembunyikan wajah karena tidak sanggup lagi dengan kepedihan yang dia rasakan.
Koko memeluk tubuh Ceunah erat tanpa berkata-kata. Lelaki itu sadar, hanya malam itu waktunya memeluk perempuan yang dia cintai. Entah apakah takdir akan mempertemukan mereka lagi atau tidak. Koko hanya ingin menikmati malam terakhirnya bersama Ceunah.
###
Tamat. Bye. 👋
KAMU SEDANG MEMBACA
Unmei No Akai Ito (Rate M) {Fin}
ChickLitMature content!!! Apa kamu percaya mitos?