Hujan membahasi jalanan. Udara dingin menusuk ke permukaan, membawakan nuansa kerinduan dan kesedihan secara ajaib bersamaan. Aku masih di tempat yang sama dengan botol airku yang hampir habis. Sial! Kemana bocah menyebalkan itu pergi. Ingin rasanya aku pukul kepalanya dengan batu supaya batinku berhenti merutuk dan mengutuk. Aku sudah lapar dan ini sudah lebih dua jam ia meninggalkanku sendirian di perpustakaan yang sepi senyap menyeramkan ini.
"Dik, nggak pulang?", tanya petugas penjaga Perpustakaan itu padaku dengan nada khawatir. Tidak ada raut mengusir di wajahnya yang menua hanya aku saja tertohok melihat jam sudah waktunya Perpustakaan tutup.
"Iya, maunya Bu. Umm, boleh tunggu lima menit lagi? Jemputan saya belum datang", kataku menyesal.
"Oh iya, tidak apa. Ibu tunggu. Gambar kamu bagus, nanti mau kuliah desain ya? ", katanya lagi yang aku tahu ia berusaha memulai percakapan agar aku tak kesepian.
"Iya, kalau lulus dan lolos sih Bu", jawabku.
"Semoga ya, Dik".
Waktu berhenti sejenak. Ibu itu diam, aku pun sama diam. Aku bukan orang yang pandai berdialog apalagi bercerita. Bukan anti sosial tetapi lebih nyaman bagiku menyimpan kisahku untuk diriku sendiri. Akan tetapi, aku sering membagi beberapa ceritaku dengan Adam. Ya, laki-laki yang membuatku menunggu selama ini. Ia bilang hanya akan pergi membeli sabun cuci yang tidak aku mengerti untuk apa dan kenapa.
Adam adalah sahabatku, ayahku, dan kakak bagiku. Ia selalu ada meskipun kehadirannya sering menuai konflik. Ia suka menarik rambutku, menutup mataku tiba-tiba, atau dengan usilnya menggigiti pensil gambarku. Ih, jorok. Tanpa sadar aku tersenyum mengingat kebiasaannya. Ya, aku menyukainya. Adam baik. Namun sayang, Adam sudah memiliki seorang kekasih. Kakak kelas di sekolah. Ketua Osis dan ya perwakilan unggulan sekolah untuk ajang Lomba Debat Ilmiah ataupun Karya Tulis. Sempurna! Tapi aku tidak suka kesempurnaan. Bagiku sempurna hanya milik coklat panas dan roti bakar keju susu.
Aku melirik jam di dinding dekat rak buku-buku biografi. Sudah pukul empat lewat dua puluh dan Adam belum kembali. Ia bahkan tidak mengangkat telepon dariku. Aku putus asa dan marah sekaligus merasa bersalah pada Ibu penjaga Perpustakaan.
Kubereskan semua alat gambarku dan memasukkannya ke dalam tas. Bibirku mengerucut dan wajahku masam sekali. Aku amat sebal pada Adam.
"Bu, saya pamit ya", kataku dengan setengah tundukan kepala singkat. Orang Bali memang biasa seperti ini untuk menunjukkan hormat.
"Loh, kan belum dijemput", Ibu itu menengok keluar jendela. Memang, tidak ada kendaraan berhenti disana. Hanya sesekali orang lewat dan anak-anak berlarian ke lapangam yang letaknya tak jauh dari Perpustakaan ini.
"Iya, sudah capek Bu, naik angkutan kota saja. Terima kasih ya Bu. Mari".
Aku meninggalkan Perpustakaan dan Ibu penjaganya yang penyayang dengan senyum pahit. Ini bukan satu dua kali Adam begini. Ada rasa khawatir di dadaku tapi aku sudah berusaha menghubunginya. Setidaknya, kabarin kek! Dasar jengkol pete.
Aku berjalan menyusuri trotar yang masih basah. Hujan gerimis dan aku tidak membawa payung. Aku memeluk tas ranselku dengan erat. Kukencangkan pelukanku agar setidaknya terasa lebih menghangat suhu tubuhku. Tidak ada angkutan kota yang terlihat luang atau mengarah ke tujuanku. Oh sial, aku sangat lapar.
Tiba-tiba aroma sedap mie kuah menguar di sekitarku. Mataku yang haus akan makanan menyusuri sepanjang jalan. Rupanya, ada sebuah warung kecil di seberang jalan. Kebetulan ini sungguh menyenangkan. Kulirik sisa uang di saku bajuku dan ternyata masih cukup. Segera aku berlari ke arah warung dan meneliti tempat duduk ternyaman untuk pantatku yang membeku ini.
Aku segera menempati spot yang aku rasa pas dan memesan mie kuah cabe potong plus telur dengan air mineral. Dua menit. Lima menit. Sepuluh menit dan malaikat perutku sudah datang ke pelukan. Sungguh, mie kuah dan suasana mendung harus duet sering-sering seperti Rosa dan Afgan. Kombinasi yang pas!
Aku dengan tenang menyeruput mie kuahku sampai mata ini melihat pemandangan paling menyakitkan di hari itu. Hujan, 02 September 2007 membawa kenangan yang pahit bagiku. Bahkan mie kuah yang kusebut malaikat kini terasa seperti air cucian beras. Adam, dia disini bersama pacarnya yang sempurna itu. Ia memayunginya dan membimbingnya menyebrang jalan. Aku bisa melihatnya dengan jelas dari posisi dudukku ini, ia baru saja keluar dari toko jam tangan yang berjarak lima gedung dan dua toko kecil dari Perpustakaan.
Hatiku hancur. Sedekat itu ia denganku dan tidak memberi kabar. Ia tidak menjemputku dan pergi bersama pacarnya? Ah, aku lupa! Aku ini apa? Aku hanya parasit yang menginanginya. Itu pacarnya kan, jadi wajar Adam menemani gadis cantik itu! Bodoh! Aku sangat bodoh! Tangisku dalam diam sambil tetap berusaha menghabiskan mie kuahku di sisa hari yang kelam itu.
YOU ARE READING
Kanaya (dan Pelangi Sendu)
Romance"Boleh aku meminjam bukumu?", katanya dengan wajah polos itu. Aku tidak mengerti maksudnya, aku hanya bingung. "Buku ini?", kataku seraya mengangkat sketch book di tanganku. Lelaki itu mengangguk, yakin sekali. Sebenarnya aku enggan mengijink...