Brian duduk termangu menatap kosong ke layar TV yang sedang memutar acara reality show. Ia tidak fokus menonton. Tubuhnya ada disana, duduk manis, namun pikirannya berada di tempat lain. Sudah satu minggu berlalu sejak kejadian di dalam mobil, ia belum bertemu atau bahkan menghubungi Lila. Berbagai pertanyaan tanpa jawaban yang pasti berkecamuk dalam pikirannya.
‘Mimpi buruk apa yang membuat Lila sampai berteriak?’
‘Mengapa setelah menciumnya hatiku jadi kacau?’
‘Mengapa aku tidak bisa berhenti memikirkannya?’
'mengapa aku menciumnya?'
‘Apa aku sudah gila?’
Brian mengerutkan kening dan mulai kembali memijit pelipisnya. Rasa-rasanya kepalanya akan pecah. Selama seminggu Brian tidak dapat tidur dengan nyenyak, selama seminggu ia tidak berhenti memikirikan Lila. Berulang kali ia mengambil ponselnya, berniat menghubungi Lila, namun niatnya selalu diurungkan.
“Hey bro, apa yang sedang kau pikirkan? Mukamu pucat sekali, apa kau baik-baik saja?” Pertanyaan Steve membuyarkan lamunanya. Lelaki itu berjalan mendekat kearah Brian sambil membawa botol wine dan dua gelas kosong. Ia memilih duduk berhadapan dengan Brian.
“Ada masalah apa? Coba ceritakan padaku, kau tiba-tiba menelepon dan menyuruhku datang ketempatmu tengah malam, pasti ada hal penting yang ingin kau sampaikan.” Steve kembali bertanya sambil menuangkan wine ke gelas kosong.
Brian menggeleng, sejujurnya ia sendiri tidak tahu mengapa ia malah menghubungi Steve tengah malam. Ingin bercerita, namun tidak tahu harus mulai darimana, ia sangat bingung dan tidak tahu apa yang sudah terjadi dengan dirinya. Akhirnya yang bisa ia lakukan hanya memaksakan senyum lebar hingga menampakan deretan gigi berharap ia terlihat baik-baik saja, yang tanpa ia sadari malah memberikan efek lebih mengerikan. Tersenyum dengan wajah kurang tidur selama beberapa hari, matanya merah dengan kantung mata dibawahnya, rambut yang tidak rapi, dan jenggot tipis yang tidak dicukur selama beberapa hari sukses membuat Brian terlihat seperti Joker.
Steve yang melihat hal tersebut sontak melebarkan kedua matanya “Wow hey Bro, jangan tersenyum seperti itu, kau membuatku takut.”
Mendengar hal itu, Wajah Brian berangsur-angsur berubah. Wajahnya menjadi cemberut. Suasana hatinya kacau, dan perkataan sahabatnya barusan sama sekali tidak membantunya.
"Nah, itu lebih cocok untuk wajahmu," ujar Steve sambil menunjuk ke arah Brian.
Brian mengambil gelas winenya dan meneguknya, kemudian kembali memandangi sahabatnya. “Apa kau ingat dengan seorang wanita yang bersama denganku minggu lalu?”
Steve menghentikan semua kegiatannya dan menoleh menatap sahabatnya. “Wanita cantik yang bernama Lila itu?”
“Yup, wanita cantik yang itu.” Brian bergumam tidak jelas.
Steve menyeringai menatap sahabatnya “Dan ada apa dengan wanita cantik yang itu?”
“Tidak ada apa-apa.” Brian kembali membuang muka.
Steve terkekeh “Bro, you are falling in love with her.”
Brian membelalakan matanya “Nope.”
“Yup, you are.” Steve mengulang kembali kalimatnya.
Brian menghembuskan napas kesal, namun ia tidak menampik kembali tuduhan yang di lontarkan sahabatnya.
“So what’s the problem? Kenapa kau terlihat begitu kacau? Apa dia menolakmu?” Steve bertanya sambil menghirup aroma wine sebelum kemudian meneguknya.
“Tidak, hubungan kami hanya sebatas teman. Hanya saja aku merasa sudah melakukan hal yang tidak tepat.” Jawab Brian dengan nada yang terdengar ragu sambil memandang kearah lain.
“Memangnya apa yang sudah kau lakukan? Apa kau sudah tidur dengannya? Jangan katakan bahwa kau tidak menggunakan pengaman saat melakukannya,” cecar Steve
“Tentu saja tidak.” Brian mengerutkan kening, ingatannya berputar pada kejadian malam itu di mobil, kejadian dimana ia tiba-tiba saja mencium Lila. Saat itu ia hanya ingin membuat Lila berhenti menangis. Tanpa pikir panjang ia mencium gadis itu. Ia beruntung karena gadis itu tidak menolaknya, meski tidak langsung membalas coumannya. Brian seperti kehilangan kewarasannya. Ia hampir tidak dapat mengontrol dirinya untuk berbuat lebih dari sekedar ciuman. Membayangkannya saja sudah sukses membuat tubuh bagian bawahnya menegang. Dia pasti benar-benar sudah sinting.
Brian bukan tipe pria polos dan suci yang tabu menyentuh wanita sebelum menikah. Kalau dipikir-pikir tidak ada pria seperti itu di dunia ini. Alasan sebenarnya adalah bahwa ia merasa tidak pantas, ia bukan pria baik-baik. Ia pernah melakukan kesalahan fatal di masa lalu yang kerusakaannya masih dapat dirasakan sampai sekarang. Ia bukan pria yang tepat, Lila layak mendapatkan yang lebih baik darinya. Hal itu juga yang membuat dia mengurungkan niat untuk bertemu dan menghubungi Lila.
Steve diam dan menunggu penjelasan dari Brian.
“Kau tahu aku bukan seseorang yang tepat, seseorang yang mampu kembali ke masa lalu untuk memperbaiki kesalahan yang telah kubuat.” Brian akhirnya menjelaskan secara singkat.
Steve mengerti kemana arah pembicaraan sahabatnya itu, ingatanya kembali ke kejadian beberapa tahun yang lalu. Perlahan ia bangkit berdiri dan melangkah menuju ke sebuah piano yang terletak tidak jauh dari posisi mereka duduk. Semua posisi perabotan Brian masih sama seperti terakhir kali ia melihatnnya. Tidak ada yang berubah sama sekali.
Sambil membawa gelas winenya, ujung jarinya yang lain mulai menekan-nekan tuts piano. Pandangannya lalu beralih ke sebuah bingkai foto yang diletakkan dibagian atas piano tersebut. Foto yang memperlihatkan dirinya, Brian dan seorang wanita tersenyum bahagia dengan latar belakang pantai.
Steve mengernyit menahan sesak yang muncul didadanya. Kenangan akan masa lalu kembali menamparnya. Ia bersumpah rela menukar nyawanya hanya untuk dapat kembali ke masa-masa itu. Steve menghela napas dalam kemudian berbalik menatap dingin ke arah Brian dan berkata dengan suara berat “Setiap manusia dimuka bumi pernah melakukan kesalahan dimasa lalu, jadi tidak perlu khawatir karena hidup sebenarnya adalah boomerang, apa yang kau lempar akan berbalik kembali, dosa yang kau lakukan di masa lalu akan kau bayar dimasa depan, tidak perlu merasa terlalu berdosa jalani dan nikmati saja sisa waktumu.”
Brian tertegun mendengar perkataan sahabatnya, memandangang Steve dengan wajah kebingungan.
Senyum menghiasi wajah Steve “Setidaknya kau bisa menyatakan perasaanmu, jika dia mencintaimu maka dia pasti akan menerimamu apa adanya beserta seluruh masa lalu kelammu.”Brian kembali mengerutkan keningnya, memandangi sahabatnya yang sok tau “Hey bro, kalimatmu barusan membuatku mual, sepertinya kau salah sangka, aku tidak bilang aku mencintainya.”
Steve terkekeh pelan menatap Brian “Syukurlah karena itu berarti aku masih memiliki kesempatan untuk mendekatinya.” Brian kembali meneguk minumannya
Mata Brian langsung melotot “TENTU SAJA TIDAAAK!” suara Brian terdengar membahana di seluruh ruangan membuat steve terkesiap hingga tidak sengaja menumpahkan beberapa tetes minumannya ke kemeja putihnya.
Steve berdecak kesal “Lihat apa yang sudah kau lakukan, kau membuatku terlihat seperti pembunuh bayaran.” sambil meletakkan kembali gelasnya ke meja dan mencoba membersihkan bajunya dari noda merah wine.
Brian terkekeh pelan “kau bisa meminjam milikku.” Brian mencoba menawarkan.
“Tidak usah bro, lagipula aku akan segera pulang, ini sudah sangat larut dan aku masih punya jadwal meeting besok pagi.” Jawab Steve
Brian merasa sedikit tidak enak karena sudah mengganggu waktu istirahat sahabatnya “Kau bisa menginap ditempatku malam ini.” Brian kembali menawarkan.
Steve tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya menggeleng “Mungkin lain kali, dokumen yang harus dibawa untuk meeting ada di rumahku.”
Steve berhenti sejenak sebelum menambahkan “Lagian aku tidak akan bisa tidur nyenyak jika harus menemani seorang lelaki kesepian yang sedang kelebihan hormon, itu akan sangat membahayakan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
La Douler Exquise (Completed)
Storie d'amoreMenyakitkan kehilangan orang yang kita cintai. Dan lebih menyakitkan mengetahui penyebabnya...