(24)

3.2K 290 28
                                    

"Istri kamu? Bukannya yang kemarin mau nikahnya sama Zian? Kenapa malah jadi istri kamu pula?" Tanya Ibu-Ibunya tertawa meremehkan, benerkan kata gue, kalau ngikutin omongan orang luar memang nggak ada habisnya.

Udahlah, dari awal gue memang udah nyiapin mental untuk omongan begini jadi nggak perlu diladenin, gue nggak mau nambah beban pikiran dengan membiarkan orang lain menilai hidup gue sembarangan.

"Nah nggak tahukan? Makanya kalau udah nggak tahu jangan sembarang ambil kesimpulan." Kak Vanya narik gue menjauh meninggalkan Juna sama Mama yang masih menatap kesal ke tamu yang ngomong barusan.

"Itu saudara siapa coba? Siapa yang undang hah?" Kak Vanya melepaskan lengan gue dan menendang kursi di sampingnya cukup keras, kakinya pasti sakit.

"Jangan dimasukin hati apalagi di jadiin beban pikiran ya Ran, orang tua memang begitu, kalau nggak ngomong hidup orang lain ya nggak sah." Gue tersenyum kecil mengiakan, walaupun nggak semua, ya kebanyakan memang begitu, dimana ada perkumpulan Ibu-Ibu, disitu ada pembahasan tentang hidup orang lain.

"Nggak aku pikirin kok Kak, kan aku udah bilang nggak papa, aku paham." Yang orang lain omongin terkadang memang bersadarkan apa yang mereka lihat dan kalau sekarang mereka berkomentar ya karena hidup gue yang mereka lihat memang sekacau itu.

"Heum, kamu nggak mau nemuin Zian sama Julia?" Pertanyaan Kak Vanya barusan beneran mengubah senyuman gue, ya memang gue udah ikhlas tapi gue nggak bisa bohong, nggak mudah untuk melihat Mas Zian bersanding dengan perempuan lain.

"Aku nunggu Juna dulu Kak, barengan aja nanti." Gue beneran harus nunggu Juna, gue nggak mungkin ngadepin Mas Zian sama Julia seorang diri, gue sakit tapi hubungan gue sama Mas Zian bahkan Julia nggak akan putus gitu aja, kita semua keluarga sekarang.

"Oke, nah itu orangnya juga udah dateng, Kakak tinggal ya." Mendapat anggukan gue, Kak Vanya berlalu pergi sedangkan Juna berjalan cepat menghampiri gue, kekesalan gue beneran terlihat jelas.

"Kenapa ngasih jawaban kaya gitu tadi? Aku minta tolong bukan minta kamu ngelawak di depan orang lain, mau aku gampar?" Tanya gue menatap Juna tajam, lagian gue bener, gue minta Juna bantuin supaya keadaannya jauh lebih adem bukan jauh lebih panas.

"Heh, dosa ya ngegampar suami." Malah itu yang dibahas, gue lagi serius sekarang.

"Bukan itu intinya, lagian aku serius nanya, kenapa kamu ngomong kaya tadi? Kan kita udah sepakat untuk nutupin, kenapa malah kamu bongkar sendiri?" Ini intinya.

Gue sama Juna menikah terpaksa dan kita berdua udah sepakat untuk nutupin hal ini, jangan biarin siapapun orang luar tahu tentang pernikahannya jadi tentang perceraianpun mereka nggak perlu tahu, nah kalau kaya gini mau gimana?

"Kamu yang minta nutupin, bukan aku." Juna juga membalas menatap gue tajam sekarang, ucapannya serius.

"Ya memang aku yang minta dan kamu udah setujukan? Lagian kamu harusnya tahu alasan aku minta nutupin itu kenapa? Aku udah cukup jadi bahan omongan orang lain dengan batal nikah sama Mas Zian dan kamu mau orang lain mikir apa  begitu tahu kita berdua malah cerai nanti?" Orang lain akan semakin membicarakan gue.

Karena pada kenyataannya, saat semua pernikahan itu gagal, perempuan yang akan disalahkan, perempuan yang akan di rugikan, nggak adil memang tapi pendapat dunia memang sekejam itu, nggak ada cerita janda di usia muda bisa di anggap hal yang wajar.

"Aku nggak akan cerai sama kamu, udah nggak ada masalahkan? Nggak ada yang harus kamu pikirin." Juna gampang banget ngomongnya.

"Kalau kamu nggak mau ngelepasin aku, terus Dewi gimana? Bukannya kamu cinta mati sama dia? Kamu juga nggak mungkin ngelepasin Dewi demi aku." Ini juga yang gue pikirkan, gue nggak mau di sebut sebagai perempuan perebut pacar orang lain, gue nggak rela.

Juna bahkan bisa nerima Dewi lagi setelah semua yang Dewi lakuin ke dia, Juna bahkan bisa bohong ke aku dengan kembali nerima Dewi padahal dia tahu, nggak ada satupun dalam keluarga kita yang setuju dengan keputusannya tapi apa dia peduli? Jawabannya enggak, dia tetap dengan keputusannya.

"Ran, bisa kita nggak ngebahas ini dulu? Kamu sadarkan kita dimana? Kita juga belum nemuin Mas Zian, aku nggak mau ribut-ribut disini." Kali ini gue yang mengangguki ucapan Juna sembari tersenyum miris, benerkan kata gue, kalau udah menyangkut Dewi, Juna nggak akan memperpanjang apapun, semua balik seolah nggak terjadi apa-apa.

"Ikut aku." Juna mengulurkan tangannya.

"Kemana?" Tanya gue menatap uluran tangan Juna sekarang.

"Kita temuin Mas Zian, bukannya ini tujuan kita disini sekarang? Memberikan Mas Zian selamat dengan harapan Mas Zian bisa menerima takdir dan melanjutkan hidupnya dengan jauh lebih baik." Ucap Juna bener, gue meraih tangan gue dan melangkah bersama.

"Selamat Mas, Mbak." Ucap Juna lebih dulu.

Mendengar ucapan Juna, Mas Zian yang awalnya sedang memperhatikan ke arah lain langsung beralih menatap gue sama Juna yang berdiri dihadapannya sekarang, suasana beneran canggung, gue  sama Juna yang bergandengan tangan sedang Mas Zian sama Julia yang berdiri berdampingan, siapa sangka hidup akan semeriah ini.

"Rana." Panggil Mas Zian menatap gue berkaca-kaca, Mas Zian bahkan mengabaikan Juna sekarang.

"Aku yang ngucapin selamat, kenapa istri aku yang Mas panggil?" Juna maju memeluk Mas Zian lebih dulu, Juna juga menekankan kata istri aku di depan Mas Zian, melihat Mas Zian sama Juna yang berpelukan, gue juga berinesiatif untuk maju memeluk Julia.

"Selamat ya Mbak." Ucap gue pelan dan memaksakan senyuman, Julia mengangguk pelan dan membalas senyuman gue dengan sangat sumringah, bagaimanapun ini hari bahagianya.

"Selamat untuk kalian berdua juga, harusnya kalian juga ikut duduk dipelaminan hari ini." Balas Julia mengeluarkan suara, Juna melepaskan dekapannya dan ikut menatap Julia dengan senyum yang sedikit sinis, kenapa?

"Mbak nggak perlu khawatir, aku sama Rana punya rencana sendiri, lagian nggak seru naik pelaminan rame-rame kan, takut banyak orang yang salah paham nanti, tar kalau Mbak dianggap perebut calon suami orang kan nggak lucu." Juna kenapa? Apa-apaan omongannya barusan, dia ngajak ribut Julia?

"Juna!" Gue narik lengan Juna untuk stop sekarang, jangan aneh-aneh, kan gue udah ngomong kalau gue nggak mau cari masalah.

"Apa sayang? Aku ngomong benerkan, semua orang disini harus sadar sama kesalahannya bukannya malah merasa paling benar dan menatap orang lain meremhkan bahkan tanpa rasa bersalah sedikitpun." Juna tersenyum tapi matanya mengisyarakan hal lain.

"Mas, Mbak, sekali lagi selamat, aku sama Juna turun dulu." Nggak nunggu lebih lama, gue langsung narik paksa lengan Juna untuk turun, kadang gue sendiri nggak tahu apa yang Juna pikirin.

"Kamu ini kenapa? Aku udah bilangkan kalu Julia nggak ngelakuin kesalahan apapun jadi kenapa kamu harus ngomong kaya tadi?" Apa masalah Juna sebenernya?

"Ya memang mungkin Julia nggak salah tapi kalau dia bahagia melihat kamu menderita, itu udah lain lagi ceritanya."

My Little HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang