Bab 32

11K 1.9K 28
                                    

"Apa yang terjadi?" Tanya Hanin setelah Narendra menutup teleponnya.

"Perwira Raksa kolaps, dia di bawa ke rumah sakit sekarang." Jawab pria itu lesu.

"Kita harus segera ke rumah ibuku sekarang juga." Ucap Narendra bangkit dari posisi duduknya setelah lama termenung.

"Hah? Tidak menjenguk dulu Perwira Raksa?" Tanya Hanin.

"Dia akan baik-baik saja di rumah sakit, cepat lambat kita yang mungkin akan terkena masalah, mengingat pria itu tidak lagi bisa menutupi keberadaan kita." Jawab Narendra.

"Persiapkan semuanya, karena perjalanan kita akan memakan waktu cukup panjang." Ucap Narendra lagi

"Perjalanan memakan waktu panjang? Kau yakin anak-anak bisa melaluinya?" Tanya Hanin sanksi. Mereka tidak pernah melakukan perjalanan panjang bersama anak-anak. Perjalan terakhir adalah kepulangan dari Singapura, itupun Mentari di beri obat tidur agar anak itu tertidur sepanjang perjalanan.

"Kita memakai mobil pribadi, mungkin butuh waktu sekitar 6-8 jam untuk sampai ke rumah peninggalan ibuku. Aku rasa mereka akan baik-baik saja." Jawab Narendra.

"Hah?" Tanya Hanin.

"Rumah itu, berada di daerah pedalaman. Kau pikir tempat paling mungkin untuk menyembunyikan istri yang tengah hamil, tanpa diketahui siapapun, seperti apa?" Tanya Narendra sedikit menerawang. Tempat itulah yang menjadi tempat tinggalnya sejak lahir hingga lulus sekolah menengah. Tempat sunyi yang hanya dia tinggali bersama ibunya dan beberapa pengurus rumah. Dulu, dia tidak pernah memikirkan dunia lain selain dunianya bersama sang ibu. Beberapa kali memang pria yang berstatus 'ayah'nya datang, tapi tidak sekalipun mereka pernah benar-benar berkomunikasi. Waktu dia masih anak-anak, beberapa kali kakaknya datang berkunjung dan bermain dengannya. Tapi, setelah kakaknya menikah, kakaknya tidak pernah datang lagi berkunjung.

Narendra menggelengkan kepalanya, mengenyahkan pikiran masa lalunya. Sekarang bukan saatnya nostalgia, mereka harus segera ke rumah ibunya, sebelum semua menjadi tak terkendali.

"Boleh aku mengajak orang lain untuk perjalanan ini?" Tanya Hanin setelah beberapa saat mondar-mandir.

"Apakah kita punya waktu untuk itu?" Tanya Narendra terdengar sarkas.

"Kau bilang perjalanan kita membutuhkan waktu 6-8 jam dan menuju pedalaman. Kita membawa anak-anak, tidak mungkin kita pergi tanpa persiapan apapun. Anak-anak perlu makan dan minum juga snack untuk membuat mereka diam di perjalanan. Belum lagi mereka juga perlu ke kamar mandi dan di temani. Dan dengan kondisi anak-anak yang sulit untuk bertemu orang asing, tidak memungkinkan untuk kita mampir dahulu untuk sekedar makan di tempat umum." Ucap Hanin menjelaskan.

"Lalu?" Tanya Narendra tidak berniat membantah.

"Aku akan menghubungi Jo, dan memintanya untuk menyiapkan untuk bekal perjalanan kita." Jawab Hanin langsung meraih ponselnya. Hanin hapal betul bagaimana telatennya Jo menyiapkan bekal perjalanan. Terlebih Jo adalah tipe setengah matang, Hanin yakin Mentaripun tidak akan takut pada Jo.

"Apakah harus Jo?" Tanya Narendra bergedik ngeri mengingat pria setengah matang itu.

"Jo bisa membantu menyiapkan persiapan untuk perbekalan kita. Dia juga bisa membantuku menjaga anak. Dan dia juga bisa bergantian menyetir denganmu." Jawab Hanin.

"Tapi...."

"Kita tidak punya waktu untuk berdebat bukan?" Tanya Hanin menghentikan perdebatannya dengan Narendra.

Belum sempat Narendra bicara lagi, suara tangis Bintang mengalihkan mereka. Hanin segera menuju ke kamar untuk melihat Bintang. Ketika tidak mendapati siapapun berada di sampingnya saat bangun tidur, Bintang akan menangis. Entah itu normal terjadi pada anak seusianya atau tidak.

"Sudah bangun?" Tanya Hanin mengelus kepala Bintang dan membantu anak itu untuk berdiri.

"Ah pintarnya, Bintang bobonya udah gak ngompol lagi." Puji Hanin setelah memeriksa pampers Bintang masih kering.

"Ayo kita ke kamar mandi, ayo kita mandi, sebelum pergi jalan-jalan." Ucap Hanin membawa Bintang ke gendongannya.

"Mentari..." panggil Hanin pada Mentari yang masih duduk termenung di atas tempat tidurnya.

Hanin menghela napas melihat anak perempuan itu, sejujurnya Mentari yang termenung, dirasa lebih baik dari pada Mentari yang tentrum tidak jelas. Meskipun sebenarnya, Hanin tidak yakin pase mana yang lebih baik untuk jiwa anak itu. Melihat anak perempuan itu terlihat tidak akan merespon, membuat Hanin melanjutkan niat awalnya untuk memandikan Bintang terlebih dahulu. Dia akan menyelesaikan mengurus Bintang dahulu, baru mengurus Mentari nanti.

Hanin selesai memandikan dan memakaikan baju pada Bintang setelah 10 menit. Selama itu pula, Mentari masih berada di posisi yang sama sejak terakhir di lihatnya.

"Bintang tunggu dulu di sini sebentar yah." Ucap Hanin mendudukan anak laki-laki itu di sebelah Narendra yang entah sedang bertelepon dengan siapa.

"Jaga Bintang sebentar, aku akan mengurus Mentari dulu. Jo dalam perjalanan dari rumahku, dia sudah membawakan sarapan untuk kita." Ucap Hanin pada Narendra sebelum berlalu.

Hanin kembali ke kamar untuk mengurus Mentari. Sejujurnya, mengurus Mentari yang diam seribu bahasa terasa lebih sulit bagi Hanin di bandingkan mengurus Bintang. Keadaan Mentari, terlihat semakin buruk setiap harinya, mungkin karena tekanan yang dialami anak itu lebih besar dari pada yang dialami Bintang. Mungkin juga ketidak berhasilan Hanin dan Narendra membuat anak itu merasa nyaman bersama mereka.

"Mentari, hari ini kita akan pergi jalan-jalan. Kau suka jalan-jalan?" Tanya Hanin mengajak Mentari bicara sambil menyisir rambut anak perempuan itu. Meskipun dia tahu hanya keajaiban yang membuat Mentari mau menjawabnya. Tapi, melihat alat bantu dengar yang masih terpasang di telinga Mentari, dia tahu anak itu bisa mendengar apa yang dia katakan.

"Kita akan melalui perjalanan darat yang panjang dengan mobil. Kita juga akan berangkat bersama om Jo. Kamu ingat om Jo, kamu pernah bertemu dengannya sekali. Om yang lebih gemulai dari kita yang perempuan asli. Ingat ketika dia membawakan beberapa roti manis? Hari ini dia juga akan membawa banyak roti manis untuk bekal perjalanan kita." Cerita Hanin, yang lagi-lagi hanya di tanggapi pandangan kosong oleh Mentari.

"Ah cantiknya... Mentari sudah siap sekarang." Ucap Hanin ceria. Melihat anak itu yang tidak merespon apapun lagi-lagi Hanin hanya bisa menghela napas.

************

"Ya ampun-ya ampun...kebiasaan banget sih cin, minta tolong dadakan." Omel Jo sembari membuka bekal sarapan yang dibawanya.

"Untung banget si bapak tukang bubur langganan kita buka, jadi nih eike bawain bubur ayam spesial buat you, anak-anak sama mamas ganteng." Ucap Jo semuringah.

Jo menyapa ceria sejak kedatangannya, dia  menyapa anak-anak dengan antusias meskipun berakhir tanpa respon dari Mentari, dan Bintang yang menyelusup ke pangkuan Narendra karena kaget dengan suara keras yang keluar dari mulut pria setengah matang itu. Seperto ekspektasi Hanin, Jo memang sangat bisa diandalkan. Pria itu menyiapkan segala perbekalan untuk perjalanan mereka. Termasuk beberapa baju untuk anak-anak termasuk baju hangat karena tempat yang akan mereka tuju termasuk daerah yang dekat dengan pegunungan.

Selesai sarapan, mereka langsung memutuskan untuk berangkat. Jo memilih duduk di kursi bagian belakang untuk menjaga dapur katanya. Pria setengah matang itu sangat antusias karena katanya sudah lama dia tidak melakukan perjalanan panjang lewat darat. Dan sepertinya pria itu tidak membaca raut tegang pada Narendra yang terus dia goda sejak tadi.

Hanin dan anak-anak duduk di bangku tengah, sementara Narendra menyetir di bagian depan sendirian. Jo dengan segala kehebohannya. Sepanjang perjalanan pria itu bercerita kesana kemari. Bintang yang berada di pangkuan Hanin terlihat anteng menonton berbagai ekspresi di wajah pria setengah matang itu.

Perjalanan baru berlangsung 20 menit, tapi mereka sudah terjebak macet. Saking paniknya dan ingin segera sampai ke rumah peninggalan ibunya, Narendra tidak mempertimbangkan jika di hari kerja jam segini adalah waktunya macet. Tapi sebenarnya bukan hanya macet itu yang membuat Narendra kesal. Tayangan di televisi besar tengah kota di salah satu gedung milik keluarga Raksalah yang membuatnya sangat kesal. Pria itu mengumpat dalam hati.

"Sebenarnya apa isi kepala pria tua itu." Ucapnya kesal.

Can You Hear Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang