Mereka tengah berada di ruangan yang sangat besar di rumah Lathfierg. Seperangkat sofa mewah dan beberapa lukisan yang bermakna dalam menghias di dinding. Mereka berada di ruang tamu.
Ruangan ini begitu megah dan luas dibandingkan ruangan lainnya, termasuk ruangan perpustakaan yang sengaja dibangun oleh Oxy sebagai penghilang rasa jenuh.
Mereka berdua duduk berhadapan di kedua sofa yang berbeda yang dipisahkan oleh sebuah meja yang terdiri dari beberapa buku di atasnya. Huruf perhuruf tengah digoreskan di atas kertas putih namun sesekali terhenti.
Pengukir itu tengah menulis dengan telaten setiap tugasnya, perasaan gelisah kembali menghantuinya dan membuatnya menatap wanita yang berada di hadapannya dengan lekat lalu kembali dengan aktivitasnya.
Ia tak henti dan juga tidak terkendali, mata dan pandangannya terasa teramat sukar dihilangkan.
"Ada apa?" tanya Lidya tiba-tiba yang sedikit merasa risih.
Aluna menghela nafas panjang dan meletakkan bolpoinnya di samping buku tebal yang kini menjadi pedomannya. "Kakak benar-benar baik?"
"Baik apanya?" Lidya terbingung dengan perkataan Aluna.
"Kondisi kakak benar-benar baik, kan?" tanya Aluna lagi. Lidya mengedikkan bahunya.
"Kek yang lo liat," jawab Lidya singkat lalu kembali memperhatikan tugas Aluna. Mata Aluna sedikit meredup, air mata sedikit menggenang namun dengan cepat dihilangkannya.
"Tidak baik." Aluna menundukkan kepalanya dan dengan berat hati mengambil bolpoinnya lagi.
Derap langkah kaki datang dari arah pintu depan menuju ke arah mereka berdua. Serentak mereka menoleh ke arah tersebut.
Oxy datang bersama Bianca yang sedang bergelayut manja di lengan Oxy. Aluna menatap geram ke arah Bianca, lalu menguatkan genggamannya ke tubuh bolpoinnya. Ia menghempaskan benda tersebut ke meja.
"Lo mau apa?" cegah Lidya dengan sikap Aluna yang seketika berubah.
"Menghilangkan virus pengganggu dan memperjelas yang belum jelas!"
"Aluna!" panggil Lidya dengan suara rendah namun tetap saja menekan di setiap intonasi. Namun panggilan itu tidak digubris sedikitpun oleh Aluna, ia tetap berjalan mendekati mereka berdua.
Lidya tidak sedikitpun bergerak, berdiri ataupun menyusul Aluna menghampiri mereka. Rasanya begitu muak untuk menatap wajah mereka satu persatu, ia memilih membereskan buku di meja dan membalas beberapa pesan yang masuk di handphonenya.
Sesekali ia tetap melirik ke arah Aluna yang belum sampai di sekitaran jarak dekat mereka. Aluna kini tiba, ia menarik lengan Bianca dan membuat gayutan manja itu terlepas lalu membantingnya ke belakang hingga Bianca terjerembab jatuh ke belakang.
"Mau lo apa coba? Lo pura-pura baik gini! Hina! Cih! Dasar!" bentak Aluna dengan lantang. Lidya menatap ke arah gadis kecil itu walaupun mereka mempunyai tinggi badan yang sama lalu menggelengkan kepalanya.
Bianca berdiri dengan dibantu oleh Oxy. Ia menatap murka ke arah Aluna.
"Gue ga tau apa maksud lo! Kenapa lo dorong-dorong gue?" sidik Bianca murka.
"Lo itu mau sok polos dengan gue? Ga mempan! Lo sengaja kan nyuruh orang buat ngedorong kak Lidya dari tangga! Lihat gara-gara lo kepalanya sampe berdarah dan sempet dirawat di rumah sakit! Apa lo? Lo mau sok-sok polos depan gue? Gue udah tau akal busuk lo!" lantang Aluna tidak gentar.
"Lo itu jangan asal tuduh ya dengan gue! Lagian lo ga ada bukti kuat buat nuduh lo! Ini cuma akal-akalan lo sama tuh orang biar nurunin harga diri gue di depan Oxy!" tukas Bianca dengan murka.
Aluna tersenyum, seketika ia raut wajah Aluna drastis berubah. "Jatuhin harga diri lo? Lo aja udah ga punya harga diri."
Lengan Aluna langsung ditarik dan menghadap ke arah Oxy. Sebuah tamparan keras menghujam pipi Aluna. Lidya melotot sekaligus ternganga dengan kedua kakak beradik itu, rasa muaknya berganti rasa iba. Ia mendekati dan menarik Aluna dalam jangkauannya. Lidya menatap sengit ke arah Oxy, Aluna menghilangkan wajahnya menatap ke arah Lidya. Matanya berkaca-kaca dengan air mata.
"Jangan lupa kalau Bianca adalah tunanganku!" bentak Oxy dengan keras.
"Dan lo jangan lupa kalo orang yang lo tampar itu adik lo sendiri!" tukas Lidya tidak terima.
Aluna kini menatap Oxy lebih dalam. "Gak apa-apa kak, orang ini telah melupakanku sebagai adiknya! Dan orang ini juga tidak pantas untuk dipanggil dengan sebutan kakak!"
"Dan kau! Mulai detik ini! Aku tidak sudi menganggapmu sebagai kakakku! Aku sangat menyayangi kau tetapi ini balasannya?! Sesayangnya aku dengan kau sampai tidak terkira dan menghiraukan apapun untukmu! Kau masih ingat ketika aku pulang dengan telapak kaki yang berdarah? Dan di hari itu banyak mobil yang terparkir di tepian jalan yang kau lintasi karena bannya pecah? Mengapa kau tidak bernasib sama dengan mereka? Kau mau tau? Karena aku yang telah memungut paku di jalan yang kau lewati! Kau sadar? Ada banyak orang yang menunggu kehancuranmu! Aku mengurungkan untuk pergi ke sekolah karena keberhasilanmu di rapat penting waktu itu! Dan ini balasanmu? Ada alasan mengapa aku membenci tunanganmu! Tetapi aku tidak peduli lagi karena kau bukan orang penting di hidupku lagi! Mau kau tungangan atau tidak itu tidak mempengaruhiku sedikitpun! Aku menyesal telah menaman rasa bangga terhadapmu!"
Aluna berlari naik dan mengambil buku-bukunya lalu menaiki tangga dan memasuki kamarnya. Lidya menatap Oxy dengan tatapan heran bercampur iba.
"Miris, lo jadi kakak ga becus banget! Gue pikir lo sayang banget sama adik lo Lo ngehancurin hubungan lo dengan adik lo semudah ini cuma karena tunangan lo yang gatau diri ini? Gue benci untuk ngakuin ini tapi adik lo yang lo tampar itu bener-bener sayang sama lo. Di tiap waktu dia selalu ngungkit kebahagiaan dan kebanggannya punya kakak kek lo, gue ga habis pikir dimana bakal gue temuin sisi bangga gue kalo gue jadi Aluna! Lo kehilangan orang yang sangat menyayangi lo karena cinta lo."
"Dan lo, lo pikir lo bakal menang dari gue setelah nyuruh orang buat ngedorong gue dari tangga? Lo pikir gue bakal geger otak dan mati dengan seketika? Lo salah besar! Setiap perbuatan lo bakal ada balasan dan gue yang akan bales dengan tangan gue sendiri!" timpal Lidya mempertegas.
"Lo jangan asal nuduh gue! Lo ga punya bukti apapun!" tukas Bianca mempertegas pernyataan yang ia lontarkan ke Aluna.
"Bukti? Lo mau bukti?" jawab seseorang dari belakang mereka dan orang itu mendorong seseorang hingga tersungkur mulus di lantai rumah Oxy.
"Kau? Mau apa kau ke sini?" selidik Oxy terhadap kehadiran Gio yang tiba-tiba.
"Mengambil Lidya dari sini dan membawa Lidya bersama gue!" tukas Gio dengan sengit.
"Lidya tidak akan meninggalkan rumah inu," cegah Oxy dengan dingin.
"Lo ga berhak buat ngelarang gue, lo udah ngelanggar kesepakatan kita," jawab Gio kukuh.
"Kesepakatan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
I'll Do Anything For You [Lathfierg Series]✔
TeenfikceBook 2 of Lathfierg series Wajib baca 'Just Cause You, Just For You' terlebih dahulu! "Ini bukanlah akhir dari segalanya." Kalimat yang sering Lidya rapalkan ketika ia terpuruk jatuh, hingga ia mencoba untuk bangkit lagi dan berdiri tegap dengan men...