23

911 125 3
                                    

Seokjin menghela nafas dan bersandar di kursi kerjanya. Ia mengurut kepalanya yang pusing akibat memikirkan persoalan perjodohan itu.

Sepertinya ibunya mengadukan tingkahnya tadi pada ayahnya, sehingga ayahnya membuat keputusan untuk mempercepat tanggal pernikahan, yaitu 6 bulan lagi, yang awalnya diberi waktu setahun lagi.

Seokjin menghela nafas lagi dan mengingat perkataan Jisoo tentang rahasia yang ia sebutkan tadi sore.

"Eomma dan appa dulu juga korban perjodohan. Itulah mengapa mereka menjodohkan kita."

Seokjin kadang bingung. Kadang orang suka sekali meluapkan emosi dan perasaan kepada orang lain.

"Lalu soal ayah dengan ayahnya Jinyoung. Mereka dulu adalah rekan sekerja. Lalu keluar dari perusahaan untuk membuka usaha sendiri. Lama kelamaan mereka jadi musuh dalam bisnis, relasi baikpun jadi buruk. Mereka berusaha menjatuhkan. Ada lagi hal yang membuatku lebih kaget."

"Apa itu?" tanya Seokjin.

"Ternyata ibu dulu adalah kekasih dari ayahnya Jinyoung! Lalu terjadilah perjodohan yang membuat ayah dan ibu menikah. Astaga, kalau senadainya ini terjadi... Apakah aku akan menjadi sama seperti ibu nanti?!"

Seokjin memandang foto yang terpajang di atas meja kerjanya. Foto dirinya beserta keluarga.

Setelah dipikir-pikir, memang ibu dan ayahnya sering bertengkar. Seokjin tidak tahu alasan sebenarnya. Ia kira karena ayahnya itu kesal saat bekerja. Tetapi, sepertinya memang karena mereka tak cocok satu sama lain. Mereka hanya terpaksa dan menjalaninya sampai Seokjin dan Jisoo menikah dan menjalani kehidupan pernikahan mereka.

Tok tok.

Suara ketukan pintu membuat Seokjin tersadar. Ia kemudian mempersilahkan orang yang mengetuk untuk masuk.

"Oppa, kau masih punya kanvas sisa?" tanya Jisoo.

"Hah? Buat apa?"

"Aku mau mencoba menggambar Jinyoung."

Seokjin menghela nafas. "Kalau ketahuan, habis riwayatmu."

Jisoo berdecih. "Ya! Lau bagaimana denganmu, kau kan menyimpan gambar yang dibuat Sowon?"

"Itukan gambar wajahku sendiri, bukan wajahnya Sowon!"

Jisoo memutar bola matanya. "Aku tidak peduli! Sekarang aku mau tanya, ada kanvas tidak?'

"Tidak. Aku sudah memberikan sisanya pada Sowon."

"Eh? Kenapa itu?" Jisoo menaikkan kedua alisnya sebanyak dua kali. Ia tersenyum usil pada kakaknya. "Oh, jadi Seokjin itu sangat baik ya. Memberikan barang favorit 'gebetannya'."

"Ck, aish! Pergi!"

Jisoo terkekeh dan menutup pintu Seokjin.

Seokjin melipat tangannya di depan dada dan menggelengkan kepalanya. Lalu pandagannya jatuh pada gambar dirinya. Ia tersenyum miring.

Seokjin kemudian menarik laci meja kerjanya dan mengambil sebuah kuas yang bertuliskan Sowon di sana. Seokjin tersenyum sambil memandang kuas tersebut.

Sebenarnya, Seokjin sudah memperhatikan Sowon sejak dia mulai berhenti di depan rumahnya dan duduk di sana tanpa kursi. Ia dnegan santainya duduk di jalan depan gerbang rumah dan mulai melukiskan rumah Seokjin itu.

Entah bagaimana, Jjanggu yang tadinya tidur jadi terbangun. Jjanggupun akhirnya menggonggong ke arah Sowon.

Karena refleks takut, sepertinya Sowon langsung berlari, dan itu memancing Jjanggu ikut berlari mengejar Sowon.

sculpture | sowjin ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang