Fourteen

722 89 38
                                    

Kapan ya terakhir kali Irene merasa sekhawatir ini pada seseorang? Gadis itu sudah lupa, yang pasti sudah lama sekali. Mungkin semenjak Irene memutuskan untuk meninggalkan panti demi meneruskan pendidikannya.

Dan tadi Irene merasa hampir mati berdiri ketika melihat Wendy jatuh pingsan.

Wendy mengorbankan diri untuk melindunginya..

Irene hampir tidak mempercayai penglihatannya sendiri, tapi ketika merasakan tubuh lelaki itu bersandar pada badannya, sukses menghilangkan seluruh keraguan itu dalam sekejap.

Bosnya yang arogan rela menjadi tameng agar Irene tidak terluka..

Bosnya yang suka marah-marah, untuk pertama kalinya berteriak panik ke arahnya..

Lantas dia harus merasa bagaimana? Wendy pikir dengan begitu, dia membuat Irene lebih baik? Nyatanya tidak.

"Sialan!" Maki Irene pelan. Melihat lelaki yang biasanya melempar seringai sombong padanya, kini terbaring lemah diatas kasur putih, membuat Irene merasa sangat bersalah. Ini semua gara-gara aku..

Irene tidak tahu sejak kapan dia tidak lagi sebal ketika melihat Wendy. Tentu saja lelaki itu masih sering berbiacara sarkas dan lempeng, tapi entah bagaimana Irene tidak terlalu sakit hati lagi mendengarnya. Mungkin sudah biasa.

Wendy sebenarnya baik. Irene sudah membuktikan perkataan Seulgi waktu itu.

Benar, Wendy itu baik. Kalau tidak mana mungkin dia mau meminjamkan uang padanya, meminjamkan headphone hanya agar gadis itu tidak merasa takut naik pesawat, menyuruh Yeri meriasnya sebaik mungkin, mengizinkannya makan gratis dan bahkan mengantarnya pulang, melindunginya dari tumpahan kopi yang di lempar mantannya dan sekarang.. Mengorbankan punggungnya untuk melindungi gadis itu.

Dia pikir apa yang terjadi pada Irene setelah dia melakukan semua perhatian kecil namun manis tersebut? Wendy kira Irene mati rasa?--Meski bagian hari ini tidak bisa dikatakan kecil.

Wendy salah saat dia mengatakan bahwa Irene tidak akan jatuh cinta padanya. Karena sekarang perasaan itu mulai tumbuh di hatinya. Semua hal yang dilakukan Wendy bagai air yang membuat rasa itu berkembang kian lebat.

"Saya lebih baik ngeliat bapak marah-marah, daripada diem sakit kayak gini." Bisik Irene pada kesunyian, karena tidak mungkin lelaki yang masih belum sadar itu mendengarnya.

Tiba-tiba pintu terbuka, dan disana berdiri Seulgi bersama seorang pria paruh baya yang memiliki wajah khas bule.

Irene berdiri, membungkuk sebentar kepada si lelaki tua. Namun lelaki itu bahkan tidak melihatnya sama sekali.

Tepat saat itu, Wendy mengerjapkan matanya terbuka.

"Apa yang terjadi Seulgi?" Tanyanya memperhatikan sang putra disamping kasur rawatnya.

"Wendy tadi kejatuhan batu bata yang dipakai pekerja merenovasi aula om." Seulgi menceritakan seluruh kejadian hari ini dengan suara kaku.

Irene memperhatikan dalam diam di sudut ruangan. Ini pasti ayah Wendy, struktur wajahnya sangat mirip dengan milik Wendy. Mereka juga sama-sama jarang berekspresi--hanya saja ayah Wendy terlihat lebih menyeramkan. Mungkin itulah sebabnya sifat Wendy seperti sekarang.

"Bagaimana bisa kamu sebodoh itu, bertindak gegabah dan malah memeriksa sendiri pekerjaan keras yang harusnya bisa ditangani oleh bawahanmu. Kamu pikir kamu sudah menjadi pahlawan sekarang? Nyatanya tidak, kamu hanya memperumit masalah. Karena dengan begitu, kamu malah semakin menunda pekerjaan kamu. Kamu pikir bagaimana kamu akan menemukan pelaku rugi perusahaan hah?!"

Irene menganga, dia tidak menyangka ayah Wendy setega ini. Anaknya baru saja mengalami kecelakaan dan yang dia lakukan pertama kali adalah membentak dan memarahinya. Tidakkah dia merasa cemas sama sekali?

"Seulgi, ikut saya!" Lelaki tua itu lalu meninggalkan ruangan, diikuti Seulgi di belakangnya.

"Tolong jaga Wendy." Seulgi berbisik pelan padanya sebelum pintu benar-benar tertutup.

Irene mengangguk, kemudian mengalihkan pandangannya pada Wendy yang menatap kosong langit-langit ruangan.

Irene meringis dalam hati, ini pertama kalinya dia menyaksikan bosnya sekacau ini.

"Pak?" Panggil Irene pelan, berhasil menyadarkan Wendy untuk kembali ke dunia nyata.

Lelaki itu menatap Irene, matanya merah dan wajahnya juga sedikit pucat.
"Ngapain kamu disini?" Tanyanya datar.

Irene menahan diri dari memutar mata.
"Saya lagi dagang, ya jenguk bapak lah apalagi."

Wendy bangkit, "Saya sudah gak apa-apa. Kamu bisa pulang."

Setelah itu Wendy berdiri, namun karena dia baru saja sadar dan juga kepalanya yang terasa pusing, lelaki itu kembali duduk diatas kasur.

Irene meraih lengan bosnya khawatir, agar dia tidak jatuh.
"Bapak mau kemana sih? Udah istirahat aja kenapa."

Wendy menepis tangan gadis itu, sebelum kembali berdiri dan berjalan meninggalkan Irene dengan langkah tertatih.

Irene menggerutu,
"Kenapa sih gak bisa nurut sekali aja, udah mending aku khawatir."

Dia membuang nafas, kemudian menyusul bosnya yang sudah keluar duluan.

"Pak, bapak mau kemana? Saya anterin deh.. Kalo mau ke kamar mandi kan didalem kamar ada."

Tapi perkataannya sama sekali tidak digubris. Wendy terus berjalan, memasuki lift dan berbelok kesana kemari sampai Irene pusing sendiri melihatnya.

Sampai akhirnya mereka berdua tiba di depan kamar bernomor 258.

Wendy dengan pelan memasuki ruangan itu, dan Irene kembali mengikuti dalam diam--terutama karena melihat wajah Wendy yang tiba-tiba murung.

Didalam, dia disambut pemandangan yang hampir membuat air matanya pecah.

Wendy duduk disamping kasur dengan seorang wanita paruh baya yang sedang tertidur damai diatasnya--selang infus dan banyak kabel yang tidak Irene mengerti terhubung dengan tubuhnya.

Irene menutup mulut.

"Bun, ini Wan. Gimana kabar bunda? Wan minta maaf karena Wan jarang jenguk bunda akhir-akhir ini." Wendy mengusap rambut ibunya lembut.

Irene diam-diam menangis, mendengar suara Wendy yang pecah dan serak. Lelaki itu pasti mati-matian menahan diri untuk tidak terisak.

"Wan, hari ini ngelakuin kesalahan lagi. Ayah marah lagi. Wan cape bun, Wan pengen ikut sama bunda." Wendy terus berbicara sendiri, melupakan kehadiran sekretarisnya yang hanya bisa memperhatikan di dekat pintu.

Irene belum pernah melihat sisi ini dari Wendy. Sisi lemah, rapuh dan kesepian.

Bosnya selalu terlihat kejam, sombong dan galak. Tapi mungkin semua itu hanya topeng untuk menutupi luka dihatinya.

Mungkin ini yang dimaksud Seulgi dan Wonwoo waktu itu.

"Bun, Wan minta maaf karena Wan belum berani sendiri. Wan belum rela ngelepas bunda pergi, Wan cuman punya bunda aja di dunia ini." Pada titik ini, lelaki itu sudah menangis. Suaranya yang pilu mengisi ruangan.

Tangis Irene semakin deras, tapi dia berhasil menahan suaranya.

Bagaimana mungkin dia merasa menjadi orang paling malang, padahal hidup Wendy mungkin tidak lebih baik darinya?

Hari ini Irene belajar satu hal tentang Wendy. Dia adalah orang paling mengerikan yang pernah Irene temui. Dia adalah artis hebat yang pandai menyembunyikan semua emosinya.

Irene tidak bisa menghentikan perasaan yang pernah dititipkan Seulgi dan Wonwoo padanya.

Perasaan untuk menjaga Wendy..
Dari apapun yang bisa menyakitinya.

Tbc

Ah, jadi keinget bunda yang udah ga ada..
Jangan sia-siain orttu kalian yg masih ada guys. Nyeselnya gak main-main, kalo mereka udah ga ada.

Kangen ga bisa diluapin..
Mending denger bunda marah-marah daripada sepi sendiri gini ..

Mr. ArrogantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang