BAB 16 - Diamon

767 44 0
                                    

Terbayang kejadian tadi malam, bagaimana kami dimabuk cinta. Tangannya menari-nari dengan begitu lincah, menyentuh setiap inch tubuh ini. Menyalurkan sebuah cinta berjuta hasrat membara, saling memadu kasih mereguk nikmatnya madu dalam sebuah cawan.

Sebuah penyatuan dalam hasrat yang membara, aku terbuai dalam nikmat tiada tara, ia memasuki menjelajahi setiap relung itu, tak menyisakkan sedikitpun ruang kosong. Terus memacu dan mendaki puncak bersama, terus mengulangi sampai tiada sisa tenaga.

Tubuhku terkulai lemah, bagai tanpa tulang. Masih menyisakan perih dibawah sana, sebercak merah nampak mengotori bed cover.*

Saat akan beranjak bangun, sungguh badan terasa remuk dan sakit terutama di area sensitif ku.

"Kalau masih sakit jangan di paksakan bangun." Tiba-tiba Vino muncul dari balik pintu dengan membawakan segelas teh hangat. Dia hanya mengenakan handuk membalut pinggangnya dan menampakan dada bidangnya. Aku malu menatap terlalu lama dada itu, aku mengalihkan pandangan.

"Kenapa malu melihatnya. Tadi malam aja udah kamu grepe-grepe." Kini senyum menggodanya dia berikan padaku sontak membuat pipi ini bersemu merah.

"Ternyata kamu juga bisa liar, Ran. Aku sampai kewalahan."

Aku langsung melemparnya dengan bantal namun dia sigap menangkapnya. Sumpah, apa yang dikatakan Vino itu tak benar.

"Gak lucu, Vin. Gak seharusnya semua ini kita lakukan. Ini salah." Aku tertunduk menahan rasa malu, takut dan menyesal yang sedang menghiasi pikiran ini. Kini dia duduk di sampingku, meletakkan teh di nakas. Dia menarik tubuh ku kepelukannya dan mengecup keningku lekat.

"Aku tidak menganggap ini salah, Ran dan aku tidak menyesal. Bersiap-siaplah kita akan pergi." aku menatap manik matanya. Dia tersenyum dan mengecup sekilas bibir ku.

"Kita akan kemana?"

"Melewati waktu bersama di luar. Atau kau lebih suka kita menghabiskan waktu di sini?" Aku langsung mencubit pinggangnya. Dia hanya tertawa geli.

"Enak ke kamu dong, remuk ke aku." Sungutku.

"Sakit banget ya Ran. Padahal aku udah pelan-pelan banget."

"Au ah, gak jelas." Ucapku berusaha bangun untuk ke kamar mandi. Namun sungguh rasa sakit itu gak bisa ditutupi. Aku meringis.

"Maaf ya Ran. Aku gendong ya?" Vino mendekatkan badannya bersiap menggendongku.

"Gak ah Vin, malu. Aku masih bisa jalan." Vino memapahku hingga kekamar mandi. Saat akan masuk, kulihat langkahnya juga hendak turut masuk.

"Kamu mau ngapain?" Tanyaku curiga.

"Mau mandi lah. Emangnya mau ngapain lagi." Aku spontan mendorong tubuhnya hingga keluar kamar mandi.

"Tunggu aku selesai dulu. Aku malu, Vin."

"Aku udah liat semuanya, Ran. Ngapain malu."

"VI-NO." Dia tertawa dan akhirnya mengalah, membiarkan aku mandi terlebih dahulu. Dua puluh menit waktu berlalu. Kulihat Vino sedang berbaring di tempat tidur dengan bermain gadgetnya. Melihat diri inj sudah keluar dari kamar mandi, dia meletakkan gadgetnya kemudian beralih menatapku yang masih berbalut handuk. Tatapan penuh arti itu semakin tajam menatap. Walaupun aku tidak bisa membaca pikiran. Tapi sudah kupastikan kemana arah pikirannya saat ini.

"Udah jangan macem-macem. Buruan mandi. Katanya mau jalan-jalan."

"Baru aja niat, Ran."

"Gak lagi ya. Ini aja sakit." Aku jadi malu sendiri dengan omongan kami. Udah kayak suami istri aja. Tapi nyatanya? Benar-benar membuat pilu.
Vino hanya tersenyum kemudian masuk ke kamar mandi. Dalam lubuk hati merutuki kebodohan ini. Bagaimana jika hamil dan Vino meninggalkan ku.

CINTA sang MANTAN ✔ (TAMAT) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang