Yudha Ahmad Abdillah, seorang Aparatur Sipil Negara muda berprestasi, memiliki dendam masa lalu terhadap ayah yang menghilang tanpa kabar.
Sejak usia 10 tahun, Yudha sudah menjadi tulang punggung keluarga, di mana ia harus bekerja keras untuk menghidupi ibu dan keempat adik perempuannya.
Penderitaan dan berbagai tekanan hidup membentuk Yudha menjadi seorang pejuang tangguh yang sukses bangkit. Dalam usia muda, ia menjadi PNS berprestasi.
Yudha berkenalan dan ditaksir oleh dua putri pejabat Kabupaten tempatnya berkarier. Kedewasaannya diuji, nama baiknya dipertaruhkan, ketika sang ayah yang penuh masalah, kembali ke dalam kehidupan Yudha.
.
Seperti biasa, pagi ini aku bersiap-siap ke kantor. Kukenakan pakaian dinas harian Pegawai Negeri Sipil berwarna khaki. Seragam dengan model slim fit ini membungkus sempurna tubuhku yang tinggi dengan perut rata. Lambang-lambang kedinasan tersulam pada bahu dan saku depan. Sambil berdiri di depan cermin, kupasang arloji di tangan kanan.
Sebelum keluar, kuraih tas laptop berbahan dasar kulit sintesis yang terletak di meja komputer. Pada sisi dinding di samping pintu, tertanam tiga paku berjejer, tempat kunci-kunci digantungkan. Aku mengambil salah satu kunci dan memasukkan ke saku celana.
Di ruang tengah, semilir angin membawa aroma kopi yang amat dikenal. Di depan pintu yang menghubungkan dapur dengan ruang makan, aku dan Ibu berpapasan.
"Sarapan dulu, Ahmad." Ibu meletakkan nampan berisi segelas kopi di atas meja, lalu menghidangkan untukku.
Dengan ringan, kutarik dua buah kursi. Aku dan Ibu duduk bersisian pada meja makan bermodel persegi yang tertutup taplak meja berbahan plastik.
Setiap pagi selama tahun-tahun terakhir, sarapan bersama Ibu merupakan kebiasaan. Hanya menu yang selalu sama. Nasi putih dengan lauk telur dadar, teri kacang, kerik tempe, atau ikan asin balado. Acap kali ketika menikmati sarapan, pikiranku melayang pada sepasang tangan yang terberkahi, hingga mampu menyajikan hidangan sederhana namun nikmat luar biasa.
Pagi ini, kulihat hidangannya sedikit berbeda. Telah tersedia nasi goreng bawang dan telur dadar di atas meja. Ibu menyendokkan sepiring nasi dan sepotong telur untukku, lalu mengambil seporsi untuknya sendiri.
"Dari kecil menu telur tak pernah bosan." Kuterima piring yang disodorkan Ibu, lalu meletakkan tepat di depanku. "Waktu kuliah dulu, aku selalu bikin dadar telur, tapi rasanya beda."
"Cabe rawitnya Ibu giling dulu bersama bumbu yang lain, sebelum dimasukkan ke kocokan telur. Ibu goreng menggunakan minyak panas yang banyak, hingga telurnya mekar sempurna. Crispi, kan?"
Aku mengangguk. Kami mulai bersantap.
"Mau tambah telurnya?"
"Tidak, Bu, sudah cukup." Aku menyelesaikan suapan terakhir yang kututup dengan beberapa teguk air putih. "Bu, hari ini aku tidak pulang makan siang. Ada janji dengan teman."
"Kalau begitu, Ibu masaknya sore saja. Kalau untuk makan siang sendiri, telur dadar sisa sarapan ini sudah cukup buat Ibu."
Aku mengernyit. Ibu malah tersenyum melihat ekspresiku. Ia melirik ke arah piring. "Dari pada telurnya mubazir, Nak."
Sesungguhnya, aku tidak suka Ibu terlalu berhemat untuk dirinya sendiri, sedangkan untuk anak-anaknya, ia sangat memanjakan. Apa pun yang kami sukai, selalu terhidang di atas meja, bahkan ketika kami belum mengatakannya.
"Hanya ini yang Ibu miliki. Doa-doa ini, juga sedikit kemampuan memasak." Begitu kata Ibu selalu. "Ketika anak-anak Ibu jauh dari rumah, salah satu yang Ibu rindukan adalah ketika Ibu memasak untuk kalian."
Begitulah Ibu. Kadang aku tidak tahu harus menanggapi bagaimana. Uang belanja dapur kuberikan dalam jumlah yang menurutku cukup untuk setiap bulannya. Namun selalu saja Ibu melakukan pengiritan besar-besaran, jika itu menyangkut dirinya sendiri. Aku sudah menyinggung soal itu beberapa kali, tetapi Ibu selalu punya jawaban sendiri.
Jawaban yang membuatku terdiam, hanya bisa diam.
Aku menarik selembar tisu dan mengeringkan bibir. Pikiran mulai melanglang pada sederet agenda kerja hari ini. Kulirik jam di pergelangan tangan. Masih cukup waktu, aku tidak perlu terburu-buru.
"Oh iya, Ila menelepon Ibu tadi malam. Dia menanyakanmu." Ibu mulai bicara lagi, setelah beberapa saat hening di antara kami.
"Nanti aku akan meneleponnya. Ibu jangan risau, Ila baik-baik saja."
Terdengar hela napas dari sosok berdaster sederhana itu. "Ibu bukan memikirkan Ila, Ibu memikirkanmu. Kapan kamu akan memikirkan dirimu, Nak? Kamu terus saja mengurus ibu dan adik-adikmu."
Pura-pura tidak menyadari bahwa sepasang mata Ibu sedang memerhati, aku menikmati kopi panas dari cangkir porselen. Seolah keluhan Ibu tidak ada pengaruhnya.
Sementara di dalam hati, rasa itu hadir kembali. Rasa tidak nyaman. Keresahan. Rasa tidak cukup berbakti. Sesungguhnya aku amat menyadari, bahwa sebagai anak aku belum memberi apa-apa. Sama sekali belum apa-apa.
Apakah seorang ibu itu memang seperti ini? Selalu merasa menjadi beban bagi anak-anaknya. Padahal aku tidak pernah merasa demikian. Gaji dan tunjanganku cukup, ditambah bisnis sampingan yang dirintis bersama seorang teman. Selain itu, aku tidak punya pacar, tidak merokok, bermakna tidak ada pengeluaran, dan aku jarang keluar kecuali ke gym.
Bahkan seandainya Ibu meminta seluruh penghasilanku, semua itu tetaplah belum impas. Itu hanya remahan saja.
Ketika ibu merasa menjadi beban bagi anaknya, sejatinya, saat itulah seorang anak seharusnya merasa terbebani.
..
Pelataran parkir salah satu institusi Pemerintah itu masih sepi. Hanya ada beberapa sepeda motor yang di parkir sejajar, serta satu unit sedan hitam yang tidak asing. Sambil memarkirkan NMax merah, pandangku tak lepas dari mobil berplat tiga angka itu.
Ketika pintunya terbuka, sesosok wanita berhijab berseragam ASN muncul dari dalamnya. Ia melangkah anggun menghampiriku dan kami saling bertukar senyum.
"Pagi, Yudha." Gadis berkulit kuning langsat itu menyapa.
"Hai, Nina. Kamu di sini?" Aku menyambutnya dalam sikap santai.
Gadis itu mengangguk.
"Aku ada perlu denganmu."
"Perlu denganku?" Alisku naik sebelah. Tidak biasanya Nina menyambangi ke kantor tanpa pemberitahuan lebih dulu.
Dia mengangkat bahu. "Anggap saja aku hanya mencari alasan untuk bertemu Pak Yudha Ahmad yang Tersohor."
Jawabannya membuatku tergelak kecil. "Kalau begitu, sebenarnya kamu hanya kangen denganku."
"Memangnya kamu tidak? Seminggu aku dinas luar, yakin kamu gak ngerasain apa pun?" Dia mengerling.
Namun rasa senang ini perlahan menghilang, ketika kemudian kulihat ekspresi penuh keraguan melintas pada wajah Nina.
"Kalau begitu kita ke dalam saja. Lebih nyaman ngobrol di dalam."
Nama gadis itu Nirina. Aku memanggilnya Nina. Tidak banyak yang memanggilnya dengan nama itu, tetapi aku sudah memanggilnya demikian sejak awal-awal kami bertemu.
Kami beriringan memasuki bangunan bertingkat dua yang sudah menjadi tempatku berkantor selama satu tahun terakhir. Beberapa pegawai pria mengucapkan selamat pagi kala kami berpapasan, sedangkan para wanita hanya melempar senyum tertahan, sebagian mengikuti dengan pandangan.
Pandangan yang selalu sama, kapanpun Yudha Ahmad bersama Nirina, putri orang nomor satu Kabupaten Bunga Raya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENIKAHI PUTRI PEJABAT
RomanceKisah cinta antara seorang ASN muda bernama Yudha Ahmad dengan Nirina Shafia, putri seorang Bupati yang menjadi atasan Yudha