Maaf ya pramuda karena saya cuma bisa lanjut cerita ini dulu, yang lain masih terbengkalai, udah kaya istri jarang dibelai, eaaa..
Yang my aphrodite aku agak bingung lanjutannya gimana, hehe .. Belom nemu scene yg pas..
Yg lain apalagi udah lupa (I forgot / 👀🐐🐐🐐🐐)
So, mari kita beresin cerita ini dulu karena otak saya udah nyuruh bikin cerita baru tentang kerajaan, wkwkwk.
Enjoy!
.
.
.
Irene menghela lalu membuang nafasnya dengan teratur. Dia menundukan kepala untuk menyembunyikan bibirnya yang bergetar. Rasanya dia ingin menutup telinga dan lari dari tempat ini, tapi tidak bisa. Irene masih lapar, lagipula makanannya baru tertelan sedikit. Mubazir kan kalau dibuang?"Biar aku labrak orang-orang itu!" Seru Jennie emosi. Dia hendak berdiri tapi Irene keburu menahan lengannya dengan kuat.
"Udah biarin aja, mulut-mulut mereka kok. Mereka bebas mau ngomong apa aja." Kata Irene sambil memainkan nasi di nampannya.
Rose, Joy dan Jennie memandang gadis itu sedih. Sejak mereka mendudukan diri di kantin, orang-orang tidak berhenti membicarakan tentang kejadian kemarin. Anehnya, mereka semua malah menuduh Irene yang menjadi penyebab bos mereka terluka, padahal jelas-jelas itu semua merupakan kecelakaan.
"Yang kuat ya Rene, abaikan aja gak usah didengerin. Ntar juga mereka cape sendiri."
Andai semudah itu..
Irene hanya mengangguk lalu tersenyum, mencoba membuang kekhawatiran teman-temannya.
Tapi memang tidak mudah. Sudah sejak pagi dia menerima tatapan benci dan dendam dari para karyawan di tempat ini--kebanyakan wanita. Mungkin mereka fans Wendy yang tidak terima lelaki itu terluka.
Tapi memangnya mereka kira, Irene tidak sedih dan menyesal? Mereka pikir Irene senang karena bos mereka mau menolongnya? Mereka sangka, Irene melakukan semua itu dengan sengaja?
Merek tidak tahu betapa Irene ingin mengulang waktu kalau bisa--supaya dia saja yang jadi korban.
Demi Tuhan, Irene ingin menjelaskan semuanya kalau diberi kesempatan. Tapi percuma, mereka pasti tidak mau dengar. Jadi lebih baik diamkan saja, nanti juga cape sendiri--seperti kata Rose.
"Aku udah beres nih, mau balik ke ruangan dulu ya." Irene berdiri, memberikan senyum terakhir sebelum berjalan menjauh dari cafetaria.
Dia masuk kedalam lift dengan langkah cepat, menyenderkan badannya ke dinding yang dingin.
"Ada aja cobaan ya Tuhan.." Gumamnya lelah.
Irene tidak mengerti bagaimana mereka bisa sampai pada kesimpulan bahwa Irene adalah pelaku yang menyebabkan Wendy terluka.
Sudahlah, dia harus belajar mengabaikan cibiran orang lebih sering mulai sekarang.
Irene menyanggul rambutnya yang tiba-tiba terasa tidak nyaman. Hari ini dia memakai kaca mata bulat dengan frame tipis--menjadikan penampilannya terkesan santai tapi tetap memukau.
Saat sampai di lantai 20, Irene disambut beberapa polisi yang hendak masuk kedalam lift. Gadis itu sontak terkejut.
Dia keluar dari sana dengan ekspresi bingung. Ada apa sih?
Irene berjalan menghampiri Wendy yang sedang mengobrol dengan seseorang.
"Saya mau dia segera diatasi."
"Baik pak. Bapak tenang saja. Kalau gitu saya pamit dulu."
"Hemm."
Irene bisa mendengar sedikit percakapan mereka, membuatnya semakin dilanda penasaran. Dia menundukan badannya memberi salam pada orang berjas rapi teman ngobrol bosnya itu saat mereka berpapasan.
"Ada apa sih pak?" Tanyanya ketika dia sudah berdiri disamping Wendy.
Lelaki itu menoleh, memperhatikan Irene dari atas sampai bawah.
"Ngapain kamu ngiket rambut kaya gitu?" Dia malah bertanya dengan ketus.Irene tentu saja dibuat bingung.
"Kenapa memangnya? Tadi agak gerah jadi saya sanggul.""Bangunan ini dipenuhi pendingin Irene, jangan membohongi saya."
Gadis itu memutar mata jengkel.
"Kenapa sih pak? Kan gak ada aturannya juga rambut harus diapain."Wendy bersedekap, pandangannya berlama-lama di leher jenjang Irene yang terekspos sempurna.
"Aturan saya gak boleh ngiket rambut diatas gitu." Leher kamu kebuka itu loh, gak takut digigit vampir apa!"Sejak kapan?" Tanya Irene dengan mulut terbuka.
Kadang-kadang kalau bosnya sudah bersikap tidak jelas gini, Irene suka dibuat jengkel sendiri.
"Sejak sekarang. Buruan buka iketan rambut kamu, mau saya bukain?"
Wendy hendak meraih kepala sekretarisnya tapi Irene dengan gesit berjalan mundur sambil memeluk gelungnya dengan kedua tangan.
"Bapak boong, mana ada aturan gitu. Nyeleneh banget." Irene cemberut. Ya masa rambut saja sampai diatur segitunya.
Wendy yang gemas, berjalan mendekati Irene dengan cepat.
"Siapa yang punya perusahaan ini? Saya, jadi kamu harus ikut aturan saya atau silakan angkat kaki dari sini."Irene menganga, dan dengan terpaksa menurunkan rambutnya sampai menutupi leher dan bahu.
"Udah, puas sekarang?"Wendy tersenyum miring sebelum meninggalkan gadis itu yang melotot kesal. Kalau pandangan bisa membuat lubang, bisa dipastikan Wendy sudah berubah jadi sindel bolong sekarang. Saking tajamnya mata Irene menembus tubuh belakang lelaki itu.
"Kamu dari tadi gak nemu kata-kata yang pas, kamu bodoh atau apa?" Semprot Wendy kesal.
Irene memutar mata bosan.
"Saya gak kuliah jurusan komunikasi pak, mana bisa saya bikin pidato seminar. Saya ini ngambil matematika kalau bapak pengen tau.""Gak, saya gak mau tau."
Kalau bukan bos, sudah Irene kebiri ini orang. Nyebelin banget sumpah, kenapa aku bisa suka sama orang kaya dia?
"Buruan beresin sekarang, besok loh ini dipakenya. Saya kan harus nyiapin diri nanti malem biar besok lancar."
Irene dengan malas segera kembali berkutat dengan selembar kertas yang diberi Wendy tadi.
"Iya iya.."Sementara lelaki itu juga sibuk melihat-lihat layar ponselnya. Entah apa yang dia lakukan, tapi Irene bisa melihat sudut bibirnya terangkat kecil dengan ujung pensil yang dia gigit-gigit sebagai hiburan.
"Ini udah saya perbaiki pak, kalau bapak belum puas, saya bisa minta tolong Rose. Dia mantan ketua panitia di beberapa acara pas di kampusnya dulu." Kata Irene menyerahkan selembar kertas yang sudah berisi pidato pembukaan untuk acara besok.
Jadi, salah satu Universitas mengundang Wendy untuk jadi pembicara karena selain dikenal sebagai pengusaha muda yang sukses, lelaki itu juga lulusan sekolah di luar negeri. Namanya patut diperhitungkan di dunia bisnis, terutama karena dia juga anak Mr. Son Siwon--pengusaha senior yang sudah melebarkan sayapnya di dunia bisnis sejak dia masih muda dulu.
Dan Wendy meminta sekretarisnya membuatkan pembukaan dan poin-poin isinya sekalian--tentu saja yang baik dan menarik. Padahal yang lulusan manajemen bisnis disini kan Wendy, kenapa harus Irene yang buat? Kesannya jadi lintas jurusan kan?
"Padahal bapak lebih pinter di bidang ini, kenapa mesti saya coba?" Tanya Irene heran.
Wendy hanya mengangkat sebelah alisnya,
"Daripada kamu gak ada kerjaan." Balas pria itu tanpa dosa.Gak pas sakit, gak pas sembuh, gak pagi gak siang tetep nyebelin ya?
"Jadi sekarang apa yang harus saya lakukan?" Irene mencoba tidak terdengar jengkel, tapi setiap perbuatan Wendy itu entah kenapa selalu menyulut api amarah di dadanya.
"Tolong belikan saya tteokboki, saya berasa lapar lagi." Perintahnya tanpa memandang Irene.
Gadis itu membungkuk,
"Baik pak." Sebelum kemudian keluar dari sana dengan langkah panjang.Harus banyak sabar, daripada dompet terlantar..
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Arrogant
RomanceGanteng sih, tapi kelakuannya suka bikin orang naik darah.. Cerita Irene yang punya CEO arogan, labil, pemarah, nyebelin, suka ngatur tapi gantengnya bikin orang lupa diri.