Part 1

3.9K 193 0
                                    

Matahari bersinar cerah pagi ini. Suasana kota sudah ramai dengan kendaraan yang berlalu lalang. Aktifitas orang-orang sudah dimulai sejak tadi pagi. Stefan mengayuh sepedanya dengan cepat. Sesekali diliriknya jam yang ada dipergelangan tangannya. Pukul 6.30 tepat. Ia hampir terlambat menuju tempat tujuan. Napasnya terengah-engah, Stefan mengelap keringat yang membasahi wajahnya. Ciiiiittt.... Decitan ban sepeda Stefan tepat di depan pagar sebuah rumah mewah di kawasan elita. Pagar hitam yang menjulang tinggi. Kriiingg...Kriiing... Stefan membunyikan klakson sepedanya. Seorang satpam membuka pintu pagar. 


"Pagi, Pak Supri." sapa Stefan. 


"Pagi juga, den." ujar Pak Supri.

Stefan mengendari sepedanya masuk ke dalam halaman rumah bercat putih. Halaman yang begitu luas karena Stefan harus berkeliling dulu sebelum sampai di pintu utama. Ciitt... Stefan mengerem sepedanya dan berhenti tepat di depan pintu utama. Yuki berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya. Ia menatap Stefan tajam. Stefan tersenyum kecil. Yuki semakin menajamkan tatapannya. 


"Ayo cepat naik, kita udah telat," ujar Stefan. Yuki berjalan menuju sepeda Stefan. Kemudian ia duduk di boncengan sepeda. 


"Lo yang udah bikin kita telat." ketus Yuki. Stefan terkekeh geli. 
"Sorry, gue bangun kesiangan." ujar Stefan sambil mengendarai sepedanya. Mereka pergi sekolah bersama. Setiap pagi Stefan harus menjemput Yuki. 


"Lo kenapa sih ngga naik mobil aja. Jadi lo ngga akan telat ke sekolahnya." ujar Stefan. 


"Lo udah bosan jemput gue," ujar Yuki setengah kesal. 


"Ngga, cuma gue rada capek aja, setiap hari ngayuh sepeda selama hampir 6 tahun. Hehe," ujar Stefan sambil terkekeh geli. 


"Siapa suruh lo balikin motor sama mobil yang gue kasih." ujar Yuki.

Stefan terus mengayuh. Ia melirik pergelangan tangannya. Pukul 7 kurang 10 menit, sebentar lagi gerbang sekolah akan ditutup. 
Di depan gerbang sekolah. Gio, Max, Chika, dan Nina berdiri menunggu kedatangan kedua temannya. Sesekali mereka melihat jam dipergelangan tangan. 


"Kayaknya kita bakalan lari lagi hari ini," ujar Gio. 


"Untung gue udah sarapan dengan porsi lebih," tambah Max.

Nina dan Chika menggeleng pelan sambil tersenyum kecil. Sedetik kemudian terdengar decitan ban sepeda Stefan. Dan disaat itu juga pagar harus ditutup. 


"Yaaahh, Pak Amir. Jangan ditutup dong," pekik Yuki. Sedangkan Stefan hanya ngos-ngosan berdiri disamping Yuki. 


"Iya, Pak. Kita cuma telat beberapa detik doang," tambah Stefan sambil mengatur napasnya dengan susah payah. 


"Pak Amir yang ganteng, tolong bukain pagarnya ya," bujuk Chika. 


"Iya, Pak. Kasian tuh, mereka kan udah capek. Masa nanti dihukum lagi," tambah Nina. Pak Amir menggeleng mantap. 


"Tetap tidak bisa!" ujarnya tegas. 
"Sampai kapan kalian akan berdiri disana!"

Terdengar suara berat dari arah belakang. Semuanya memandang ke belakang. Lelaki paruh baya dengan kumis tebalnya sedang berdiri tegak disana. Dia menatap tajam ke arah enam Yuki dan yang lainnya. 


"Tamat deh kita," keluh Gio. Semuanya mengangguk pelan. 


"Selamat pagi, Pak Togar," sapa mereka serempak.

Pak Togar hanya diam, lalu berjalan mendekati sambil menatap mereka satu per satu. Beberapa waktu kemudian mereka sudah berlari mengelilingi lapangan. 


"Kali ini siapa yang salah," tanya Nina sambil berlari. Yuki memandang Stefan tajam. 


"Gue," jawab Stefan. Nina tertawa kecil sambil menggeleng. 


"Dari SMP sampe sekarang lo masih betah aja jemput Yuki," ujar Max yang berlari disebelah Stefan. Stefan hanya tersenyum. 


"Lo semua juga betah banget nemenin kita dihukum," ujar Yuki kemudian sambil melirik Max. 

"Kita kan sahabat," jelas Chika.

Semuanya tertawa. Mereka menikmati hukuman ini hampir setiap hari. Karena kalau salah satu dari mereka dihukum, maka semuanya harus dihukum. Sudah menjadi kesepakatan mereka sejak pertama kali dihukum. 

* * * * *

Saat ini mereka sedang berada di kantin. Para gadis duduk menunggu para pria mengantri makanan. Stefan, Max, dan Gio berdiri sambil menunggu pesanan. 


"Gimana, lo udah bilang ke dia?" tanya Max seraya menoleh ke arah Stefan. Stefan hanya tersenyum. Gio merangkul bahu Stefan, kemudian berbisik. 


"Lakukan, sebelum semuanya terlambat." Stefan memandang Gio dan Max bergantian. Keduanya mengangguk serempak. 


"Gue masih nunggu waktu yang tepat. Semuanya ngga semudah yang lo kira," ujar Stefan seraya memandang ke satu objek. Ia menatap lekat objek itu. 


"Sebentar lagi kita akan selesai sekolah. Waktu lo ngga banyak, Stef." ujar Max. Ketiganya maju dan mengambil pesanan makanan yang tersedia di atas meja. Kemudian mereka berjalan ke arah meja para gadis. 


"Makan siang udah datang," ujar Gio sambil meletakkan 3 mangkok bakso. Sedangkan Max meletakkan 3 piring nasi goreng, dan Stefan meletakkan 6 gelas minuman yang sama, es jeruk. Yuki memasukkan semua sayuran ke mangkuk Stefan. Gio dan lainnya menggeleng pelan. 


"Lo harusnya makan sayuran ini, supaya kulit lo tetap cantik," ujar Stefan sambil memasukkan makanannya ke dalam mulut. 


"Tanpa sayuran, kulit gue tetap cantik." jelas Yuki. Semuanya terkekeh geli mendengar jawaban Yuki. Stefan melirik Yuki yang sedang menikmati baksonya. 


"Rencananya lo mau lanjut kemana, Ki?" tanya Nina. 


"Entahlah, gue belum kepikiran." jawab Yuki. 


"Sekali-kali pikirkan masa depan lo," ujar Stefan. Yuki memandang Stefan lama lalu ia tersenyum. 


"Lo kan masa depan gue. Jadi gue ngga perlu pusing mikirin yang lainnya." ujar Yuki sambil tertawa kecil. Stefan tercekat. Ia menatap Yuki lama, lalu ikut tertawa. 


"Masa depan seperti apa yang lo harapkan?" tanya Stefan kemudian. Yuki tercengang. 

Continued...

Our DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang