Kegiatan yang dilakukan oleh Sintia tak lain adalah bekerja dan bekerja. Sejak ia ditinggalkan oleh kedua orang tuanya karena kecelakaan enam tahun lalu, ia berusaha menjadi pribadi yang mandiri dan kuat.
Ia merantau kembali ke kota dimana disana berjejer pabrik. Ia bekerja sebagai karyawan disebuah pabrik garmen yang lumayan besar di salah satu kota di Indonesia. Jumlah karyawannya pun mencapai ratusan bahkan mungkin ribuan.
Sintia kini hidup sebatang kara. Kejadian yang menimpanya 6 tahun lalu membuatnya dingin terhadap laki-laki. Hatinya beku karena rasa cintanya pada laki-laki yang pernah dan masih sangat ia cintai.
"Hey, melamun!" Dewi menyikut lengan Sintia yang sedang melamun saat jam makan siang.
Sintia tersenyum, "ada apa, Wi?"
"Kamu melamun?" Tanya Dewi penasaran sambil memajukan wajahnya meneliti.
Sintia menelan ludah, "Wi, jika kamu ada di posisiku saat ini, apa yang akan kamu lakukan. Setelah 6 tahun, kamu tidak bertemu dengan laki-laki yang masih sangat kamu cintai dan laki-laki itu pernah membuat luka yang begitu dalam?"
Dewi termenung, telunjuknya menyentuh dagu, "yah, jika memang cinta dan hati kita hanya terpaku padanya kemudian kita merasa nyaman dengan laki-laki itu. Kenapa tidak kita coba kembali padanya? Berusaha sebisa mungkin bertahan! Meskipun luka yang dia tanam begitu dalam. Siapa tahu, ada pelangi setelah badai! Intinya, kita harus bisa berdamai dengan masa lalu." Dewi menatap manik mata Sintia. "Apa kamu masih mencintai laki-laki itu?"
Sintia menangis, "jujur hatiku sakit setiap kali aku mengingat dia. Sakit mencintainya bersamaan dengan rasa sakit rasa bersalah. Ini sudah 6 tahun, tapi aku masih tidak bisa melepaskan bayangan itu sedikitpun. Setiap hari aku dihantui rasa bersalah dan penyesalan atas kata-kataku!"
Dewi menarik tubuh Sintia ke pelukannya. Diusapnya punggung Sintia, "dalam posisi ini, jelas aku tidak akan sanggup jika harus menerima kenyataan ini. Aku akan lebih memilih mati daripada diombang ambing dalam kesakitan. Kamu yang sabar yah, Sintia. Aku yakin kamu pasti bisa melewati ini semua."
....
Sintia kembali bekerja dengan giat. Ia adalah salah satu karyawan teladan diregunya. Tanpa mengenal lelah, ia terus melakukan pekerjaannya hingga kepala regu pun dan teman-temannya sangat menyayanginya.
"Sin, ayo pulang?" Ajak Dewi. Waktu pulang telah tiba, Sintia dan Dewi pulang berjalan kaki. Karena letak kost-annya dekat.
"Sin, aku dijemput Rudi. Kamu gak apa-apakan pulang sendiri?" Tunjuk Dewi saat keluar pabrik. Sintia tersenyum dan mengangguk mengiyakan. Dewi melesat dengan cepat karena rasa bahagianya bertemu Rudi, tunangannya.
Sintia melihat kanan kiri. Orang-orang sudah pulang semua. Ia berjalan kaki sendiri menuju gerbang pabrik, sambil menikmati angin malam yang sudah mulai menusuk kulitnya.
Langkah kakinya terhenti, kala ia melihat laki-laki yang sudah dituduhnya sebagai pembunuh berjalan bersama beberapa staff pabrik sambil melihat-lihat dokumen di tangannya. "Kak Irfan." Bisiknya, air matanya sudah menggenang dipelupuk mata. "Tidak, tidak mungkin. Aku pasti salah lihat. Dia tidak mungkin ada disini. Ya, dia tidak mungkin ada disini!" Ucapnya lagi menyingkirkan segala prasangka. Lalu kembali meneruskan perjalanannya.
Melihat ada karyawan yang masih berkeliaran di pabrik, salah satu dari ketiga staff itu bertanya. "Kamu, kenapa belum pulang?"
Sintia tersenyum, "maaf, bu. Ada barang yang tertinggal diloker, makanya saya kembali mengambilnya." Jawabnya sopan.
Irfan menatap Sintia dengan tatapan penuh arti.
"Kalau begitu, saya pulang dulu. Permisi." Pamit Sintia berjalan cepat seraya memikirkan bahwa apa yang ia lihat adalah nyata. Irfan ada di kota yang sama.