Langit. Bila dipandang setiap hari akan tetap sama. Hanya gumpalan awan yang menghiasi membuatnya terlihat berbeda. Kemudian ada matahari yang selalu setia mengitari jagat. Air sungai mengalir di tempat berliku, batuan diterjang deras hingga sampai ke bagian yang tenang.
Jika direnungkan, seluruh bagian di mayapada ini mencerminkan suatu kepasrahan. Pasrah dalam menerima nasibnya. Namun sebagai manusia, jangan hanya berpasrah dan berdiam diri, bila menemukan rintangan berusahalah menemukan jalan untuk melewatinya.
Aja nganti kabanjur
Barang polah ingkang nora jujur
Yen kebanjur sayekti kojur tan becik
Becik ngupaya iku
Pitutur kang sayektosSayup terdengar suara serak menembangkan tembang Gambuh. Suaranya mengusik tidur Pendekar Sedeng. Pemuda itu terbuai oleh alunan merdu kericik air yang begitu lembut menyapa telinga. Ketika bait-bait tembang Gambuh itu mulai masuk ke telinganya, Pendekar Sedeng membuka mata dan melompat dari batu ceper tempat tidurnya.
"Aahh! Suara siapa itu?! Mengganggu tidurku saja!" umpatnya. Pendekar Sedeng segera mencari pemilik suara dengan menyusuri lembah Wilis ini. Sudah cukup lama, namun Pendekar Sedeng tak menemukan sesuatu. Perutnya berbunyi karena lapar, ia bergegas mencari makan. Lagipula suara penembang tadi juga telah hilang.
Tiba-tiba suara yang menyanyikan tembang Gambuh itu terdengar lagi. Kali ini hingga membuat telinga Pendekar Sedeng berdengung karena suara itu diucapkan dengan tenaga dalam. Pendekar Sedeng tak tahan lagi. Terus dicarinya pemilik suara dan didapatinya seorang kakek tua berpakaian serba putih tengah memegang joran. Anehnya, ikan yang berenang di sungai malah menghampiri kakek tua itu. Sebagian ikan telah menggelepar di bebatuan pinggir sungai. Saat si kakek berhenti menyanyi, tak ada lagi ikan yang melompat dari dasar sungai.
"Jangan sampai terlanjur
Bertingkah polah yang tidak jujur
Jika terlanjur akan celaka dan tidak baik
Lebih baik berusaha
Mengikuti ajaran yang sejati."Si kakek tersenyum dan menoleh ke arah Pendekar Sedeng. Wajah pemuda itu terlihat keheranan. Entah karena apa. Kakek itu yakin jika Pendekar Sedeng menginginkan ikan-ikan segar itu.
"Ambillah kalau Kisanak seorang pengembara yang kehabisan bekal," ucap kakek tua. Pendekar Sedeng sangat senang. "Tapi aku tidak akan memberikannya pada seorang pencuri!"
Pendekar Sedeng terdiam. Tangannya yang terulur ditariknya kembali. Ia merasa tersindir. Siapa orang tua ini? Pendekar Sedeng merasa tidak mengenalnya. Persetan! Rasa laparnya lebih penting dibanding memikirkan si kakek tua. Sang pendekar tetap akan mengambil ikan itu.
"Urip sapisan rusak
Nora mulur nalare ting saluwir
Kadi ta guwa kang sirung
Sinerang ing maruta
Gumarenggeng anggereng anggung gumrunggung
Pindha padhane si mudha
Prandene paksa kumaki."Bersamaan dengan nyanyian tembang, maka ikan-ikan itu menggelepar dan kembali masuk ke dalam air. Sang pendekar dibuat melongo. Perutnya makin melilit dan Pendekar Sedeng memilih duduk dan mendengarkan dengan gusar. Lama-kelamaan ia merasa tersinggung juga. Pemuda itu melangkah mendekati sang kakek.
"Kakek... menyinggung saya?" tanya Pendekar Sedeng.
"Tidak. Aku cuma menembang. Kalau Kisanak merasa tersinggung, berarti diri Kisanak sama dengan yang sedang kunyanyikan," jawabnya.
"Kakek juga yang mengembalikan ikan-ikan itu ke sungai?" Si kakek hanya diam, tapi Pendekar Sedeng tahu, jawabannya pasti iya. "Itu namanya membuang-buang berkah! Saya tengah lapar dan perlu makan!"
"Bukan aku, Anak muda. Ikan-ikan itu yang tidak mau dimakan oleh seorang pembohong dan pencuri." Lagi-lagi jawaban sang kakek begitu tenang.
"Ahh! Kenapa pencuri rendahan seperti saya tidak boleh makan? Sementara para pejabat yang suka menimbun harta rakyat malah bisa makan enak dengan nyaman?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana Berdarah
Ficción histórica...Tak lama terdengar suara seraknya menyanyikan tembang macapat Pangkur. Mangkono ilmu kang nyata... Sanyatane mung we reseping ati... Bungah ingaran cubluk... Sukeng tyas yen den ina... Nora kaya si punggung amung gumunggung... Ugungan sadina dina...