★Larasati Giska
★Karel Oliver Pramana"Ka!! Kaka, bangun, dek!!" Ia tahu betul itu suara siapa. Malah itu alasannya tidak bangkit dari tempat ternyaman sedunia, kasur. "Mih, ini Giskanya gak mau bangun!"
Sepertinya kakaknya ini sudah menyerah. Sebenarnya, gadis dengan piyama abu-abu itu telah beranjak dari alam mimpi sejak sang kakak, Lasmita Berlin menoel-noel lengannya.
Belum sempat membuka mata dan menghabisi Berlin dengan caranya, ia teringat pesan Maminya tadi pagi saat sarapan bersama.
Sabtu pagi, keluarganya pasti akan tetap bangun seperti hari biasanya, sarapan, lalu melakukan aktivitas masing-masing. Gadis bandel ini, sebut saja Giska, dia memilih untuk lari pagi bareng para squadnya di area gelanggang olahraga.
"Oh ya, dek. Nanti abis Zuhur ikut kak Elin ke butiknya Tante Diara." Ujar ibunya yang membuat ia mengernyitkan dahi.
Sementara Mamih menuangkan susu rasa coklat digelasnya. "Ngapain, Mih?" Tanya Giska dengan mulut penuh roti. Papinya sudah bosan melihat tingkah Giska yang selalu saja begitu. Hingga pria paruh baya itu hanya menggelengkan kepala seraya bernapas pasrah.
Kuasa Allah. Dia hadiah terindah, dijaga.
"Liatin koruptor, terus ngasihin pizza." Sahut papi tanpa menoleh ke putri bungsunya. "Ya beli gaunlah, dek!"
"Yaelah, Pi. Kan Kaka nanya doang." Ujarnya cuek. "Gaun?! Buat apa? Gak, gak. Kaka gak mau pakai yang begituan! Norak!" Cerocosnya setelah tersadar maksud sang ayah.
Bungsu kesayangan Notodiningrat ini mana mau pakai bawahan selain celana, termasuk ke sekolah. Untung saja, itu sekolah punya teman ayahnya. Guru disanapun sudah melepaskan saja.
"Kita mau ada tamu, nak. Masa iya, pakai jogger, Ka." Masih memberi pengertian dengan lembut. Karena anak semakin dikasari, akan semakin jauh dari kita.
"Dih! Siapa sih tamunya?!" Gerutu Giska. Roti selai itu sudah tidak bisa menarik minatnya. Jadilah tergeletak di sana. "Waktu nikah Om Bima aja aku pakai celana kain! Boleh ya, Pi."
Rengekan Giska saat ini tidak bisa mengganggu keputusan Yang Mulia Alexan Notodiningrat. Ayahnya itu menggeleng tegas. Helaan napas beratpun terdengar dari bibir kecil Giska.
Kakak dan Ibunya hanya tersenyum kecil melihat interaksi anak dan ayah ini. Selalu begitu. Kehadiran Giska, sangat melengkapi rumah, menjadikan hunian kecil itu lebih terasa hangat.
"Larasati. Bangun, nak!" Giska bergeming. Bangun, engga, bangun, engga. "Atau mau papi kempesin samsak kamu?"
"Eh, jangan, Pi!"
Apapun kecuali samsak kesayangannya.
Alexan tersenyum manis. Walau sudah berumur, pesona bule keraton ini tidak bisa memudar.
"Ayo, siap-siap! Pakai gaun yang tadi." Titah Alexan memang tidak bisa diganggu gugat. Apalagi jika wajahnya tidak dihiasi senyum.
Gaun yang tadi sama sekali bukan dia. Terlalu cewek banget, menye. "Tapi, pi.."
"No, tapi-tapian!"
Ck. Apa boleh buat. "Siap laksanakan, Ndan!" Serunya dengan malas.
Papinya yang juga anggota polisi itu keluar setelah mengecup puncak kepala anaknya. Tidak ada pilihan lain selain mandi dan memakai guntingan bahan yang terkutuk itu.
🌵🌵🌵Giska masih belum keluar. Ia menatap jijik dirinya dengan gaun berkerah sabrina bermotif brokat didepannya. Bukan hanya karena terlalu terbuka, warnanya juga tidak bisa ditolerir lagi. PINK!