Eighteen

816 91 39
                                    

Semenjak kejadian hari itu, perangai Wendy sedikit demi sedikit berubah. Dia mulai berhenti bersikap menyebalkan dan itu benar-benar mengganggu Irene.

Tapi, bukankah perubahan itu cenderung menjurus kearah baik? Tidak, Irene lebih suka Wendy yang menganggu dan nyeplos daripada serius seperti ini, karena dengan begitu suasana diantara mereka tidak terlalu canggung.

Entah bagaimana, gadis itu merasa kehilangam sesuatu yang bahkan bukan miliknya.

Sebenarnya apa yang membuat Wendy tiba-tiba jadi seperti ini? Apa karena Irene mencoba membantu Bogum waktu itu?

Bahkan bosnya tidak meminta ganti rugi apapun. Saat Irene bertanya dia hanya menjawab, "Gak perlu, saya sudah beli mobil baru."

Bagaimana Irene tidak dibuat mengernyit dengan kelakuan aneh atasannya.

Irene jadi ingat Wendy pernah bertanya dengan marah, 'emangnya dia pacar kamu?'

Jadi maksudnya lelaki itu cemburu? Kalau benar begitu, Irene rela terjun dari atap kantor ini sekarang juga.

"Ms. Bae?" Lelaki itu bahkan memanggil nama marganya sekarang.

Tanpa sadar Irene malah cemberut.
"Kenapa pak?"

"Kamu tidak mendengarkan saya bicara." Katanya datar.

Irene meringis pelan. Dia menegakan badannya lalu menatap sang bos bersalah.
"Maafkan saya pak, bisa bapak ulang?"

Wendy membuang nafas keras,
"Kalau kamu tidak suka kerja sama saya, kamu bis--"

"EENGGAK!" Irene refleks berteriak, membuat Wendy berjengit kecil.

Gadis itu tertawa malu,
"Maafkan saya pak, ehm.. Jadi apa yang harus saya lakukan?"

Wendy meminta Irene untuk menyiapkan ruang rapat dan tanpa membuang waktu, gadis itu langsung keluar dari ruangan atasannya.

Dia berjalan pelan mendekati lift sambil sesekali membuang nafas pelan. Hari ini benar-benar sibuk dan Irene belum sempat sarapan. Makan siang saja tidak habis setengah karena panggilan tugas. Jadi sekarang Irene merasa tidak punya energi. Kepalanya pusing.

"Pak, tolong siapkan snack sama kopi untuk pak Wendy dan tamu yang mau rapat hari ini ya." Irene memberikan senyum pada seorang OB yang kebetulan berpapasan dengannya dilantai 10.

Si OB mengangguk mengerti,
"Baik bu."

"Makasih pak."

Dia memijit pelipisnya sebentar saat lelaki itu berjalan menjauh. Irene berharap hari segera usai. Dia rindu kasurnya yang empuk dan selimutnya yang hangat.
.
.
.
"Pak, saya pulang dulu." Ini sudah jam 7 malam dan pekerjaan Irene baru saja selesai, begitupun Wendy. Dia merasa beruntung karena bisa melewati hari ini dengan lancar walaupun tubuhnya sudah berteriak minta istirahat sejak siang.

"Kamu pulang sama siapa?"

"Sendiri." Tumben bosnya bertanya dia pulang dengan siapa. Biasanya pamitannya saja tidak digubris.

"Bis?"

"Iya pak." Irene semakin heran. Apalagi setelah melihat lelaki itu berdiri, mamakai jas dan merapikan semua barangnya, kemudian mendekati Irene yang masih berdiri bingung.

"Saya anterin, diluar hujan." Katanya pendek, lalu berjalan meninggalkan gadis itu yang menatap punggungnya tak percaya.

Dia tidak mimpin kan? Wendy kesambet apa sampai mau mengantarkannya pulang dengan sengaja seperti ini?

"KAMU MAU PULANG GAK, BANYAK HANTU DISINI KALO UDAH MALEM!" Terdengar seruan Wendy dari luar, menyadarkan Irene dari lamunan dadakannya.
.
.
.
Mereka berdiri canggung didalam lift yang sepi. Atau mungkin hanya Irene, karena Wendy terlihat biasa saja. Dia bahkan akan bersenandung kecil sesekali.

Mr. ArrogantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang