Di depanku, Nina masih menunggu. Ketika melihatku belum menjawab, dia berkata, "Kamu sibuk, ya? Kalau tidak bisa, tidak apa-apa, lain waktu saja."
"Bagaimana kalau nanti sore? Karena siang ini aku ada janji dengan Pak Nasruddin. Dia sedang di sini, baru datang kemarin petang."
"Pak Nasri dari Dinas Perhubungan?" Mata Nina membulat.
Aku mengangguk, dalam hati mendadak heran melihat spontanitas itu. Apa yang aneh makan siang dengan pejabat provinsi? Nina tahu benar bahwa aku mengenal banyak pejabat yang berkedudukan lebih tinggi.
"Kalau boleh tau, ada urusan apa Pak Nasri menemuimu?"
Pertanyaan Nina membuat rasa heranku semakin bertambah.
"Aku juga gak tau. Bisa jadi ngobrol biasa aja." Aku mengangkat bahu. "Memangnya kenapa?"
"Gak ada apa-apa, sih. Cuma kebetulan aja, tadi malam Pak Nasri dan istrinya juga datang ke rumah. Ya udah, nanti sore aku jemput ke rumahmu."
"Kita ketemuan di kafe biasa aja. Bagaimana?"
Nina tertegun sekejap, sebelum akhirnya mengangguk. "Baiklah. Jam lima."
Aku mengantar Nina sampai di depan pintu, melihat sampai punggungnya menghilang kala menuruni tangga.
Sedikit rasa tidak nyaman berkelebat di dalam hati.
Mungkin aku sudah menyinggung perasaan Nina. Seorang wanita yang peka dan halus budi bahasa pasti dapat menangkap penolakan tersirat itu.
Aku tidak suka perempuan datang menyambangi ke rumah, karena sudah pasti Ibu akan bertanya macam-macam. Minimal, memasang harapan. Saat kuterangkan bahwa mereka hanya teman, Ibu selalu terdiam, sekali lagi merasa menjadi beban.
..
Pukul empat lima belas, selepas salat ashar yang kembali terlambat didirikan karena kesibukan turun ke lapangan, aku bersiap-siap memenuhi janji dengan Nina. Untuk outfit, pilihanku jatuh pada sehelai kaos v neck dan celana chino.
Ibu meletakkan segelas lemon tea hangat dan botol minum di atas meja, dua minuman yang rutin beliau siapkan setiap aku akan berangkat fitnes.
"Aku tidak fitnes sore ini, Bu." Aku duduk di samping Ibu dan menikmati teh sajiannya.
"Talam duriannya sudah jadi. Mau dimakan sekarang? Biar ibu ambil."
"Nanti saja, Bu, tunggu Ardina datang. Aku sebentar, kok."
"Cuaca kurang baik, entah Ardina jadi datang atau tidak. Sudah seminggu ini, hujan turun tiap petang."
"Mereka pakai mobil, tidak bakal kena hujan. Lagi pula, mana mau dia ketinggalan makan talam durian."
Kupandang langit ketika melangkah menuju mobil di carport. Awan tebal menggantung dan udara menjadi lebih dingin. Sepertinya hujan akan sangat lebat, sebagaimana kemarin dan kemarinnya lagi.
Aku kembali ke dalam kamar dan menyarungkan sweeter berkerah tinggi sebagai pakaian luar. Jam sudah menunjukkan pukul setengah lima lewat sepuluh.
"Apa mungkin Nina tetap datang dalam cuaca seperti ini?" Aku bermonolog. Melihat langit semakin gelap, keraguan-raguan menghampiri.
Hujan mulai turun ketika aku keluar dari halaman. Dalam sekejap, hujan seakan dicurahkan dari langit, jarak pandang menjadi kabur, membuatku sempat menduga akan ada badai. Dahan batang angsana patah dan merintangi jalan, sehingga menyebabkan kemacetan kecil dan para pengemudi terpaksa berpindah jalur. Dalam laju kendaraan yang bergerak merayap menembus hujan, aku memikirkan kembali hubunganku dengan Nina.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENIKAHI PUTRI PEJABAT
RomanceKisah cinta antara seorang ASN muda bernama Yudha Ahmad dengan Nirina Shafia, putri seorang Bupati yang menjadi atasan Yudha