Irene terbangun dengan kepala yang berat, seolah baru saja dipukul benda sangat keras. Dia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.
Kosong..
Dimana Wendy?
Gadis itu melirik jam yang menggantung di dinding. Ternyata sudah pukul 9.
HAH JAM SEMBILAN?!
Irene buru-buru duduk, tapi itu bukanlah keputusan yang benar, karena kepalanya kini semakin terasa pusing dan sakit.
Dia meraih ponselnya dengan mata berkunang-kunang. Lebih baik Irene izin saja, dia tidak mungkin masuk kerja dalam keadaan begini.
Saat membuka kunci layar ponselnya, Irene dikagetkan dengan pesan masuk dari bosnya yang mengatakan agar Irene istirahat saja.
Dia tersenyum kecil, tiba-tiba jadi teringat kejadian semalam.
Irene merasa baru saja tertidur, tapi kenapa keadaan kamarnya gelap sekali? Seingatnya dia tidak mematikan lampu tadi.
Irene mengeratkan selimut yang membungkus tubuhnya karena udara sekarang semakin dingin. Ditambah badannya yang tiba-tiba demam membuatnya tidak bisa tidur dengan nyenyak.
"Irene?" Dia sayup-sayup mendengar suara seorang laki-laki yg terdengar familiar.
Kalau tidak sedang sakit, dia pasti sudah menjerit panik sekarang. Kenapa Wendy ada disini?
"Bapak ngapain disini?" Tanyanya serak.
"Kamu lupa saya nganterin kamu pulang tadi? Saya belom bisa pulang karena hujan masih deras dan mati lampu." Wendy menjelaskan panjang lebar.
Ah benar, bosnya itu sudah menolong Irene tadi.
"Nih minum teh ini!"
Irene memandang lelaki itu di keremangan cahaya lilin.
"Minum obat juga, tapi sebelum itu makan roti dulu."
Irene tidak ingat menyimpan roti, obat dan lilin di rumahnya. Mungkinkah Wendy keluar malam-malam begini hanya untuk Irene?
"Maaf ya pak saya ngerepotin.." Bisiknya lemah. Wendy membantu gadis itu duduk, sambil membungkus tubuhnya lebih erat.
"Kamu emang ngerepotin, makanya jangan sakit." Jawab Wendy datar.
Irene tersenyum kecil. Dia tidak sadar betapa dia merindukan perhatian lelaki itu. Kalau karena sakit ini sikap Wendy jadi kembali seperti dulu, Irene rasanya tidak keberatan sakit terus-terusan.
Setelah membantu Irene makan sedikit dan meminum obatnya, Wendy mengompres dahi panas gadis itu.
Irene yang setengah sadar tidak bisa menghentikan perasaan berdebar yang memenuhi dadanya. Dan dia tidak yakin bisa meski keadaannya sadar sepenuhnya.
Wendy merawatnya, bahkan saat dia punya kesempatan untuk pergi karena hujan sudah mulai reda.
Wendy membenarkan selimutnya di malam yang masih menyisakan dingin dari hujan meski dia sendiri terlihat mati beku karena memakai baju tipis dan celana setengah basah.
"Aah, apa yang mesti aku lakuin sekarang? Kita jadi baikan nih?" Irene bergumam sambil kembali membaringkan badannya. Dia tersenyum sendiri.
Jadi enggak sabar cepet masuk kerja lagi.
.
.
.
Untunglah setelah malam itu, sikap Wendy sudah kembali. Dia mulai jadi lelaki menyebalkan, tukang nyeplos kalau ngomong dan seenaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Arrogant
RomanceGanteng sih, tapi kelakuannya suka bikin orang naik darah.. Cerita Irene yang punya CEO arogan, labil, pemarah, nyebelin, suka ngatur tapi gantengnya bikin orang lupa diri.