Kuangkat kepala dan memerhati Nina.
"Bukan untuk Pak Nasri, tapi untuk adiknya," sambung Nina lagi.
"Adiknya? Arif maksudmu?"
Gadis berkulit cerah itu mengangguk.
"Kalian pacaran?"
Ekspresi tidak suka spontan muncul di wajah itu, menggantikan wajah sedih yang sedari tadi memayungi. Sungguh aku tidak bermaksud menanyakan sesuatu yang sudah kuketahui -semua orang ketahui-- jawabannya. Pertanyaan itu terlontar begitu saja.
"Kami baru ketemu dua kali, dalam acara silaturahmi keluarga. Kami bahkan tidak berteman. Aku .... Entahlah." Nina menggeleng frustasi. "Arif temanmu juga, kan?"
Pertanyaan itu tidak kujawab. Pikiranku berkelana pada sosok tinggi besar, berkulit seputih orang Rusia dengan tampilan parlente.
Aku dan Arif pernah kuliah di kampus yang sama. Kami satu angkatan dan mengambil jurusan yang sama pula. Namun, meskipun sempat bergaul selama beberapa tahun, bisa dikatakan kami tidak dekat dan jarang bicara. Atmosfer kami berbeda. Yudha Ahmad adalah mahasiswa dengan beasiswa, yang datang ke kampus untuk belajar, dan aku benar-benar menggunakan kesempatan ini untuk meraup sebanyak-banyaknya ilmu, wawasan dan peluang untuk berkembang. Aku berteman dengan semua orang, dan berteman baik dengan mereka yang sevisi. Kesempatan baik tidak pernah datang dua kali. Kau lengah, kau ketinggalan.
Sedangkan Arif, dia jenis mahasiswa yang menganggap kampus sebagai tempat mencari gelar. Jarang masuk kelas, dan sepertinya tidak pernah peduli dengan nilai akademis. Dia pemuda dengan paket nyaris sempurna. Tampan, kaya dan bergaya. Tidak sedikit mahasiswa yang menganggap keberadaannya sebagai ancaman, karena Arif digemari dan menggemari perempuan. Baru di tingkat satu saja, Arif sudah berhasil menggaet mahasiswi tercantik di kampus, kakak senior yang berada dua tingkat di atas kami. Hubungan itu tidak berlangsung lama, karena semester berikutnya, Arif dan bunga kampus itu sudah saling menggandeng orang lain sebagai pasangan. Arif berganti perempuan sesering berganti baju. Meski sudah menjadi rahasia umum bahwa dia cepat bosan, tetapi selalu saja dengan mudah ia berhasil menggaet pasangan.
Sebagaimana keyakinanku, bahwa hasil tidak akan mengkhianati usaha, aku berhasil lulus tepat waktu. Menggenggam ijazah dengan nilai terbaik -tentu saja- dan langsung berkarier di Pemerintahan. Hanya beberapa bulan aku menjadi tenaga honorer, karena pada bulan ketiga, aku mengikuti seleksi penerimaan Pegawai Negeri Sipil. Rezekiku baik, karena aku lulus tes dan berhasil menggenggam profesi idaman sebagian orang itu.
Nasib baik dan keberuntungan juga menaungi Arif. Meskipun S1 saja sudah ngos-ngosan dan lulus dengan IP pas-pasan, dia bisa melanjutkan S2 ke Singapura. Berbekal latar belakang keluarga yang bukan sembarangan, Arif terjun ke dunia politik dan berhasil meraih cukup suara yang mengantarnya ke kursi anggota DPRD Tingkat I.
Sekarang temanku itu akan menikahi Nina, gadis yang sesungguhnya, bukan sebatas teman bagiku. Sulit membayangkan pemuda itu sebagai pendamping Nina. Ini bukan semata tentang rasa cemburu.
"Yud-" Suara Nina membuyarkan lamunan.
Sungguh, aku tidak tahu harus berkomentar apa. "Lalu kamunya bagaimana?"
Tatap Nina semakin sendu. Duduknya menjadi lebih tegak dengan tubuh maju. "Lalu? Apa maksudnya lalu? Yudha Ahmad, tidakkah kamu mengerti?"
Pertanyaan bernada tuntutan itu membungkamku. 'Aku mengerti, Nina. Kamu yang tidak akan mengerti. Andai saja kamu tahu, betapa semua ini sulit bagiku.
"Semua terserah padamu, kamu bisa menerima atau menolak." Entah apa yang membuatku sampai hati mengucapkan kalimat itu. Ringan, kejam, tak berperasaan.
"Jangan pura-pura, Yudha!" tukas Nina tajam. Matanya mulai berkaca-kaca.
Detik itu juga, aku tahu dia telah terluka. Aku tidak sanggup membalas tatapnya. Lidah ini kelu. Selera makan sudah hilang sama sekali. Selama lima menit berikutnya, tidak ada di antara kami yang bicara.
Aku memikirkan hubungan kami.
Aku dan Nina berteman, namun aku sendiri tidak tahu pasti, entah kami ini teman macam apa. Hampir tiga tahun sejak Nina menjadi Aparatur Sipil Negara dan aku sudah menjadi Kepala Seksi Mutasi di kantor Bupati, membuat kami saling mengenal. Meski kemudian aku berpindah instansi, kami tetap dekat dan semakin dekat. Nina tidak punya pacar, sebagaimana aku juga demikian.
"Usiaku sudah dua puluh lima tahun, sudah dianggap layak untuk menikah. Ayah dan Mama sudah sering tanya-tanya. Sejujurnya, mereka menyebut nama kamu."
"Aku?" tanyaku spontan. Tidak pernah sekalipun menduga, hubunganku dengan Nina membuat keluarga sang bupati salah menyangka.
"Yud, asal kamu tahu, hanya kamu laki-laki yang memanggilku dengan nama kecil, sebagaimana yang dilakukan keluargaku. Kamu memanggilku Nina di depan Ayah, di depan semua orang. Kita ... entahlah, aku tidak tau apa kamu hanya temanku. Dan memang, aku hanya dekat denganmu. Aku tidak pernah keluar dengan laki-laki lain. Yudha, jawab aku, apa bagimu kedekatan kita tidak berarti?" Suara Nina bergetar penuh harap.
Aku bersandar dengan capek, meletakkan kedua tangan di meja. "Nina, apa yang bisa kulakukan?" Betapa bodohnya aku karena mengajukan pertanyaan demikian. Namun, memang hanya itu yang bisa kukatakan.
"Setidaknya berikan aku kepastian, aku bersedia menunggu hingga kamu selesai S3."
Tatap menghiba ini benar-benar membuatku tak berdaya. Nina, gadis yang kukagumi kesantunan dan selalu menjaga malu sebagai perempuan, hari ini tanpa ragu memohon kasih seorang laki-laki. Hatiku tersentuh dalam.
Bohong kalau aku tidak tertarik pada Nina. Siapa yang tidak menyukai gadis seperti ini? Nina memiliki semua kriteria yang diharapkan seorang pria dan ibu mertua mana pun. Kami berteman dekat sekian lama, hingga tidak sedikit yang menyangka kami berpacaran, bahkan baru sekejap tadi Nina membuat pengakuan bahwa hubungan kami mendapat perhatian khusus dari kedua orang tuanya. Semestinya semua menjadi lebih mudah.
Kenyataannya tidak demikian. Rasa ini sedapatnya kusembunyikan. Kalau perlu, dikubur dalam-dalam.Karena Nirina Shafia Ismail, putri seorang Bupati. Sedangkan aku, Yudha Ahmad Abdillah, pria lajang dengan begitu banyak tanggungan.
Aku membuang pandang, menatap jauh melewati dinding-dinding kaca tebal yang gelap. Wajah tua dan letih milik ibu dan ketiga adikku kembali hadir. Ardina sudah menikah, Nadia akan menikah, Laila masih kuliah dan dalam pengobatan karena tumor kandungan yang diidapnya. Ibu sudah tua dan tak berdaya. Mereka lebih membutuhkan aku.
"Maafkan aku, Nina, aku tidak bisa menjanjikan apa-apa."
Di depanku, Nina menunduk, berupaya menyembunyikan bulir bening pada kedua pipinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENIKAHI PUTRI PEJABAT
RomanceKisah cinta antara seorang ASN muda bernama Yudha Ahmad dengan Nirina Shafia, putri seorang Bupati yang menjadi atasan Yudha