"ini?"
"Itu semua kenangan ibu sama ayah kamu. Saya tau kamu pasti sudah sadar jika saya bukan ibu kamu."
Alma menatap sendu kotak itu, matanya tak bisa berhenti menangis. Foto-foto ayah dan ibunya. Sejak pacaran hingga menikah, Alma yakin mereka adalah pasangan bahagia.
"Andai saya tidak datang dalam kehidupan mereka, saya yakin kamu pasti memiliki keluarga kecil yang bahagia."
Alma mengangguk, membenarkan ucapan ibunya itu. "mungkin."
"Saya mau minta maaf atas semua yang terjadi. Bisa kan?" Alma mengangguk.
"Ini seharusnya sudah berakhir. Makasih untuk kenangan ini." Alma berniat pergi, namun ibunya menahan tangannya.
"Tunggu," ujarnya. "Saya sekalian mau minta izin dari kamu, saya mau menikah."
Alma terkejut, namun itu keputusan yang tidak bisa ia ganggu, ia masih belum menjadi siapa-siapa yang penting. Ini hanya rasa bersalah.
"Itu terserah," hanya itu yang bisa Alma katakan. Alma berjalan keluar.
"Saya akan menikah dengan ayah Bima." Seketika dunianya seakan berhenti. Entahlah, rasanya aneh jika membayangkan jika ia harus menjadi kakak-beradik dengan Bima.
Klek.
Alma masihlah Alma, tak akan berubah. Logika selalu mengalahkan hatinya, walau dirinya sendiri tersiksa.
...
Alma memasuki kamarnya, ia melihat Alina sedang menonton drama Korea yang baru saja ia beli. Kini ia sudah tak mempermasalahkan lagi jika Alina berada di kamarnya. Sedikit demi sedikit ia sudah bersedia untuk terbuka dengan gadis itu.
"Mamah ngomong apa kak?" Tanya Alina.
"Mau nikah."
Alina mengernyit bingung. "Siapa? Kakak?"
Alma menggeleng, hatinya tak sedang baik untuk mengumpat pemikiran adiknya itu. "Nyokap."
"Serius?" Tanya Alina tak percaya. "Sama siapa?"
Alma diam, seperti sedang menyusun kata. Ah, seharusnya bukan untuk Alina, untuk dirinya sendiri. "Ayah Bima."
"Apa?!" Alina berteriak histeris, tak percaya, tapi ini juga lucu. Menjadi saudara Bima? Ah seru sepertinya. "Kakak nggak halu kan?" Tanya nya lagi, takut salah dengar.
"Hem."
"Tunggu, tunggu, kenapa muka nya ditekuk? Cie yang udah mulai suka sama Bima."
"Apa sih... nggak ada ya suka-suka. Kamu itu kan yang ditaksir sama dia."
"Ih kan akunya nggak suka. Eh terus itu muka kenapa?"
Alma menyerahkan Kotak yang tadi diberikan oleh ibunya pada Alina. Alina menerimanya tanpa banyak bertanya, dibuka kotak itu dan tangannya langsung berhenti bergerak.
"Kak?"
"Iya."
"Maaf,"
"Lo udah tau?"
"Mamah cerita semuanya tadi pagi." Alma hanya mengangguk, Alina langsung memeluk Alma.
"Kalo kakak suka sama Bima bilang mamah kak, mamah pasti ngerti."
"Nggak usah, gue nggak suka sama dia kok."
.....
"Saya sudah mengurus surat cerai kita. Dua Minggu lagi saya akan menikah." Hery memasukkan semua pakaian ke dalam koper. Sarah--istrinya, hanya bisa menghela nafas.
"Setidaknya kamu jenguk Gina, mungkin untuk yang terakhir kali."
Hery mengangguk. "Besok saya temui dia."
Sarah turun ke bawah, menuang air minum dan meneguknya. Sudah cukup, dirinya lelah, biarlah jika suaminya mau pergi, yang dia ingin sekarang hanyalah bahagia bersama anak-anaknya.
"Saya sudah selesai. Saya pergi, terimakasih untuk semuanya."
"Dan jangan lupa datang ke pernikahan kami, kita berpisah baik-baik bukan?"
Sarah mengangguk. "Iya."
Sarah mengantar Hery sampai depan. Setelah Hery benar-benar pergi, tubuhnya ambruk seketika, tangisnya pecah.
"Belasan tahun mas...saya berusaha mempertahankan semua ini...hiks... saya pikir kamu akan luluh, saya salah...saya semakin hancur."
Saraha terus menangis, hingga tangisnya tak lagi mengeluarkan suara dan air mata.
"Mah?" Bima yang baru saja pulang langsung memeluk mamanya, yang dia tahu Papanya pasti melakukan sesuatu lagi pada Mama nya.
"Papa ngapain mama lagi?"
"Papa mana? Biar Bima ngomong sama papa."
Sarah menahan Bima, menggeleng pelan. Bima kembali duduk. "Kenapa ma? Jangan belain papa lagi."
Sarah memandang Bima sendu lalu menarik putranya ke dalam pelukannya. "Papa udah nggak bakal nyakitin mama lagi sayang. Mama udah cerai sama mama."
Bima tertegun. Dia sedih, namun mungkin ini yang terbaik untuk mamanya. Sekarang dia harus bisa lebih menjaga mamanya dan Gina.
"Iya ma, Bima gapapa, mama juga harus kuat ya."
....
Untuk kesekian kalinya Alma kembali membawa medali emas sebagai penghargaan atas kemenangannya. Olimpiade berjalan lancar dan seperti biasa dia selalu menang.
Andai menjalani hidup semudah memecahkan rumus matematika. Yang walaupun sulit tetap dapat di dapatkan.
"Selamat ya, akhirnya menang lagi." Nadia memeluk Alma, dia bangga memiliki teman dengan otak cerdas.
"Sama-sama. Entar gue traktir ya."
Nadia berbinar antusias. "Mall?"
Alma menggeleng. "Nggak lah, kafe senja aja."
"Itu mah sama aja, mana ada di traktir di kafe sendiri." Alma terkekeh, tentunya dia hanya bercanda.
"Ya udah, tapi budget dua ratus ribu ya?"
Nadia mendorong bahu Alma pelan. "Nggak usah Ma, nggak usah."
Alma tertawa karena berhasil menggoda Nadia. Tawanya berhenti ketika melihat Bima datang. Nadia yang menyadari itu berpamitan untuk bertemu Andre, pacarnya.
"Selamat ya," ujar Bima.
"Makasih."
"Mau ditraktir?" Alma menggeleng, dia harus menjaga jarak. Membenarkan perasaannya bahwa ia tak jatuh cinta.
"Atau mau yang lain?"
"Nggak Bim, gue ada urusan." Alma berbalik, Bima menahan tangannya.
"Lo menghindar? Kenapa? Gue punya salah?"
Alma menyadari jika Bima belum tau rencana pernikahan orang tuanya. dan Alma sadar Bima akan sangat terluka jika mengetahui semuanya.
Dia yang terluka karena kehilangan Bima. Dan Bima yang terluka karena kehilangan Alina.
***
TBC
Beberapa part lagi menuju ending, setelah itu bakal masuk tahap revisi tapi belum tau kapan.
Dan pastinya revisi bakal beda sama cerita yang ini.
Memperbaiki untuk jadi lebih baik bukan? Jadi jangan di hapus dari library dulu ya.
Siapa tau ntar makin jatuh cinta.
....
Thanks for waiting my story💕
See you next time☺️
KAMU SEDANG MEMBACA
Romansa Senja
Novela Juvenil"Gue nutupin perasaan yang ada karena gue takut gue bakal ditolak."-Alma zevanya "Gue selama ini mencintai orang yang salah karena dia nggak pernah bicara soal perasaannya." -Bima Ragatta Published 15 Juli 2019 Story by Anggita Dwi Ristanti