Part 5 (Daveeka's POV)

33.9K 291 0
                                    

Akhirnya aku pun tiba di apartementku, kuhela nafasku dan membuka pintunya. Dan rupanya tidak dikunci, sehingga membuat dahiku jadi mengerut. Segera aku masuk ke dalam apartementku, dan tak lupa menutup pintunya kembali. Lalu aku berjalan menuju kamar, dan aku sedikit terkejut, saat melihat tempat tidurku yang sudah kosong. Kuhela nafasku dengan berat, dan mendudukkan tubuhku di tepi tempat tidur.

"Sayang sekali, dia sudah pergi" batinku, sambil mengulum senyumanku.

Ya, sungguh sangat disayangkan, karena aku belum sempat berkenalan dengannya. Dan bagaimana caranya, untuk bertemu dengannya lagi? Mengingat aku yang tak mengetahui namanya, dan tak mempunyai nomor ponselnya. Atau kudatangi saja club malam itu? Mungkin saja, nanti ia akan datang kesana lagi. Kalau pun tidak, maka tidak apa-apa, itu berarti kami memang hanya dipertemukan dalam satu kali saja.

Tapi sebentar, kenapa aku jadi ingin bertemu dengannya lagi? Padahal aku selalu bersikap tak peduli, pada setiap pria yang tidur bersama denganku. Tidak, tidak Veeka! Jangan sampai kau menyukainya! Tapi sepertinya tidak apa-apa, jika nanti malam aku ke club malam itu lagi, ya untuk sekedar menghilangkan rasa penat saja, dan. . . Mencari pasangan seks yang baru. Hahhhaha.
Sepertinya temanku benar, aku memang sudah gila akan seks. Eits, tapi tidak segila, bos sialan itu. Err, kalau dia sih, jangan ditanya lagi.





**************************





Kini aku sudah rapih, dan sedang memoleskan sebuah lipstik pada bibirku, di depan sebuah cermin.

Drrttttt ddrrrttttt. . .

Tiba-tiba kudengar ponselku yang bergetar, sehingga membuatku langsung menghentikan aktifitasku. Lalu kutaruh lipstik tersebut di atas meja rias, dan meraih ponselku yang juga kuletakkan di atas meja rias. Namun aku sangat terkejut, ketika aku melihat layar ponselku, yang terdapat sebuah panggilan dari Kwang Ho. Ya, bos gila itu! Mau apa dia menghubungiku? Apa untuk memberitahu jadwal pemotretan?

Kuhela nafasku dengan berat, dan menjawab teleponnya.

"Hallo Veeka" sapanya di sebrang sana.

"Iya pak, ada apa?" tanyaku.

"Ke sini sekarang!" suruhnya.

"Ke sini? Ke sini mana pak?" tanyaku, sambil menatap bayangku di depan cermin.

"Ke rumahku Veeka, sekarang juga" jawabnya.

"Tapi untuk apa pak? Lagipula saya kan mau pergi" ujarku.

"Mau pergi kemana? Dan batalkan saja acara pergimu itu!" ucapnya.

Apa dia bilang? Batalkan? Ck, seenaknya saja, memangnya dia pikir, dia siapa? Dan lagipula, untuk apa menyuruhku ke rumahnya?

"Veekaaaaaa! Kau mendengarku tidak?!" pekiknya di sebrang sana, sehingga membuatku langsung menjauhkan ponsel dari telingaku.

"I-Iya pak, iya saya dengar. Aduh, bapak jangan teriak-teriak dong, nanti kalau telinga saya rusak, bagaimana?" protesku, sambil mengusap-usap telingaku, dan mengerucutkan bibirku. Dan kemudian, aku mendekatkan ponsel pada telingaku lagi.

"Aku tak peduli! Ke rumahku sekarang, atau kau akan kupecat?!" ucapnya, yang terdengar seperti sebuah ancaman, dan kemudian ia langsung memutuskan sambungan teleponnya.

Sialan! Seenaknya saja menyuruh-nyuruhku. Ingin rasanya, aku mengumpat di depannya.

Dengan berat, kuhela nafasku dan segera bangkit dari kursi. Lalu aku mengambil tasku di atas kasur, dan segera beranjak pergi.


30 menit kemudian. . .



Taksi yang kutumpangi pun, tiba di depan sebuah rumah yang begitu besar, bak istana.

Partner in Bed [Pindah ke Dreame]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang