[9] Perasaan

118 27 19
                                    

"Fik, lo nggak pulang, ya, semalam?!"

Suara Nada terdengar sedikit melengking dari seberang telepon. Mata Fika yang awalnya masih tertutup dibuat terbuka lebar karena suaranya.

"Iya," sahut Fika pelan.

Gadis itu masih setia berbaring di atas kasurnya. Menatap meja rias yang berada tepat di sampingnya. Sebuah cermin memantulkan bayangannya, Fika dapat dengan jelas melihat matanya yang sembab dan hidungnya memerah.

Fika rasanya tidak akan bisa balik ke apartemen Nada tadi malam. Sahabatnya pasti khawatir dan Fika belum siap untuk bercerita. Perasaannya sendiri masih kacau, apalagi setelah menyadari Stevano banyak meninggalkan pesan dan miscall di ponselnya. Fika hanya belum siap menerima kenyataannya. Gadis itu belum mau untuk mendengar penjelasan Stevano. Ah, tunggu dulu. Memangnya Stevano akan menjelaskan apa padanya? Tentang jaket yang ternyata milik Casandra? Ciuman kening yang terlihat begitu romantis? Fika tertawa lirih. Untuk apa juga Stevano menjelaskan itu semua? Fika bukan siapa-siapanya.

Fakta itu membuat Fika semakin meledek dirinya sendiri. Ia tidak tahu mengapa harus sesedih ini sampai menguras air matanya sendiri. Gadis itu hanya merasa sesak yang luar biasa dan ia ingin menumpahkannya.

Kata-kata Stevano di atap malam itu kembali berputar-putar. Fika marah, tetapi ia lebih marah kepada dirinya sendiri. Perasaan suka itu tidak seharusnya ia tumbuhkan, Fika harusnya bisa menahan diri untuk tidak lagi terjatuh pada Stevano. Menyadari kata 'seharusnya' tidak lagi berarti, air matanya kembali mengalir. Fika baru pernah merasakan patah hati yang sesakit ini, kendati pun saat menyukai Galang juga bertepuk sebelah tangan, tapi entah mengapa kali ini terasa jauh lebih menyakitkan.

"Fik? Lo nggak apa-apa? Stevano ngapain lo? Ayo, bilang sama gue! Gue bakalan dobrak kamarnya sekarang juga!"

Fika terkekeh, lalu menjawab, "Nggak apa-apa, Nad. Gue cuman pengin balik ke rumah. Kangen ibu. Nanti sore gue ke apartemen kok, ngambil laptop. Ketinggalan."

"Terus, lo nggak nginap lagi?"

Fika menggigit bibirnya, ragu-ragu. "Ehm... nggak, Nad. Novel gue 'kan sudah hampir jadi. Gue juga nggak enak nginap di apartemen lo lama-lama."

"Ih, Fika! Sakit lo, ya? Tumben banget merasa nggak enak hati. Lagian, gue malah senang kalau ada lo, Fik. Gue 'kan jadi ada yang nemenin."

"Masa, iya? Kalau ada gue, lo nggak enak pacaran di apartemen, 'kan?" sahut Fika dengan nada mengejek.

Nada di seberang sana tertawa dan membantah, "Gue memang nggak mau pacaran di apartemen. Jangan bikin gosip lo, Fik!"

"Bikin gosip itu enak, Nad."

"Dasar! Ya sudah, gue tunggu di apartemen. Lo. Harus. Cerita!" kata Nada dengan penekanan penuh di setiap katanya.

Fika menghela napas dan mengiyakan permintaan Nada. Setelah menutup teleponnya, Fika tidak memiliki niat sedikit pun untuk beranjak dari kasur. Ia ingat tadi malam ketika Farhan membukakan pintu rumah, adiknya begitu terkejut melihat wajah Fika yang dibanjiri air mata. Untungnya, ibu Fika sudah tidur sehingga gadis itu selamat dari pertanyaan-pertanyaan khawatir yang mungkin dilontarkan ibunya. Farhan bukan tipe yang akan memborbardirnya dengan tanya, pemuda itu membiarkan sang kakak masuk ke kamar tanpa mengeluarkan sepatah kata. Bukan tidak peduli, Farhan itu adik yang sangat pengertian. Ia tahu Fika sedang tidak ingin ditanyai apa pun, maka pemuda itu akan setia membungkam mulut.

Ini hari Sabtu, adiknya pasti sudah berangkat ke sekolah untuk latihan band. Tadi pagi sekali sempat pamit padanya, katanya dua minggu lagi, Farhan akan mengikuti lomba band tingkat nasional. Ibunya juga sempat ke kamar untuk membangunkannya dan mengajak sarapan, tapi Fika merasa tidak lapar sama sekali.

MUSE [10/10 END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang