Aku menatap sebuah catatan kusam. Peta hidup yang telah kurancang sejak bertahun-tahun yang lalu. Tanda ceklis yang tertera pada tiap point, menjadi penanda pencapaian target.
Dalam usia dua puluh lima tahun, aku sudah menyandang gelar Master. Selama tiga tahun setelahnya, aku fokus berkarier. Keinginan untuk meraih gelar Doktor tidak pernah pudar. Aku bertekad mewujudkan impian itu sebelum berusia tiga puluh tahun, di mana angka itu akan kucapai dua tahun yang akan datang, tentu jika umurku panjang dan Tuhan mengizinkan.
Ketertarikanku pada ilmu dan gelar akademis tidak main-main. Sejak lulus PNS enam tahun yang lalu, kutargetkan menjadi kepala dinas termuda di kabupaten ini. Peluang ke arah itu cukup besar. Bisa dikatakan, aku merupakan Aparatur Sipil Negara populer dan memiliki kedekatan dengan para pejabat eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Nama Yudha Ahmad Abdillah cukup dikenal karena memiliki prestasi belajar yang tidak biasa. Sejak SD hingga lulus SMA, aku merupakan siswa dengan nilai tertinggi sepanjang sejarah Kabupaten Bunga Raya, dan selalu masuk tiga besar tertinggi di negeri tercinta ini. Lulus dengan prediket cumlaude di jenjang S1 dan S2, semua dengan beasiswa, sesuatu yang belum pernah diraih siapapun sejak Kabupaten Bunga Raya terkembang.
Prestasi itu membuat namaku seolah menjadi legenda. Sesetengah orang mengatakan Yudha Ahmad Abdillah adalah Habibie-nya Bunga Raya. Memang terdengar berlebihan dan kadang membuatku malu sendiri, tetapi itulah kenyataan yang tidak bisa dielakkan, karena beberapa kali tertulis di koran daerah dengan judul demikian.
Bagi Ibu, semua ini anugerah buat seorang anak berbakti. Berbeda dengan Ibu, aku percaya faktor kecerdasan dan kesuksesan ini adalah sebuah keharusan bagi orang seperti kami. Kami adalah orang-orang tanpa pilihan. Hanya cara ini satu-satunya jalan untuk bangkit dan mengubah keadaan. Telah kuyakini satu hal, yakni ketidak mampuanku memilih dari orangtua mana aku dilahirkan. Namun pilihan untuk menjadi seperti apa kelak, berada di tanganku.
Sungguh, aku sudah muak hidup melarat. Rasa sakit mempertahankan memori. Kenangan kala tinggal di Kampung Bakti delapan belas tahun yang silam tidak lekang, mungkin selamanya tidak akan pernah hilang.
Itu merupakan bagian awal sejarah hidupku. Aku masih mengingat bagaimana rasanya tidur dengan perut kosong, tinggal di rumah yang atapnya bocor-bocor, yang jika siang terik matahari menembus lurus ke lantai, saat hujan airnya membasahi kasur lapuk kami. Ditagih, disindir-sindir, bahkan diusir pemilik rumah akibat terlambat membayar sewa. Aku sudah kenyang melihat air mata ibu dan tangis lapar adik-adikku.
Aku benci saat orang-orang menatap iba, di lain waktu, memberi tatap menghina.
Kemiskinan dan lapar yang menggigit membuatku harus terus berjuang, memastikan itu tidak terulang lagi dalam kehidupan kami. Ada trauma yang mendalam, dan trauma itu melecut semangatku. Didukung doa Ibu, dalam usia muda aku berhasil bangkit. Aku sukses secara akademis dengan karier yang terus meningkat, mendapatkan promosi demi promosi, dikirim pemerintah kabupaten untuk mengikuti berbagai seminar dan pelatihan, baik di dalam dan luar negeri. Yudha Ahmad Abdillah adalah Aparatur Sipil Negara potensial, aset berharga Kabupaten Bunga Raya.
Aku masih lajang, dan itu menambah daya pikat. Tidak sulit bagiku menemukan perempuan.
Dibandingkan semua gadis yang kukenal, Nina satu-satunya yang dekat. Meski demikian, Nina cukup tahu diri dan tidak pernah mengunggah foto kami berdua pada akun media sosialnya. Padahal, ada beberapa moment dimana kami hanya foto berdua. Seperti pada perayaan ulang tahun kabupaten tempo hari. Pada kesempatan itu, selain berfoto berdua, kami juga berfoto dengan teman-teman sejawat. Beberapa hari kemudian, Nina mengunggah foto rame-rame itu ke laman instagram miliknya.
Aku menyukai dan mengagumi Nina. Sebagai pria normal, aku pernah menaksir diam-diam seorang perempuan, dulu, yang kemudian pudar begitu saja. Sekarang, kusadari benar bahwa Nina membuatku tertarik. Tetapi jika rada tertarik itu dimaknai sebagai cinta ... entahlah.
Karena sejauh ini, satu-satunya bentuk cinta yang kupahami adalah cinta ibu pada anaknya. Dalam hal ini, cinta Ibu pada kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENIKAHI PUTRI PEJABAT
RomanceKisah cinta antara seorang ASN muda bernama Yudha Ahmad dengan Nirina Shafia, putri seorang Bupati yang menjadi atasan Yudha