Chapter 16

1K 104 42
                                    

Larut malam, Levi terbangun. Sisi ranjangnya kosong dan dingin. Tentu saja, Eren dia suruh tidur diluar. Seenaknya saja menyerang tanpa aba-aba, di saat dia hamil pula. Mau dihancurkan penisnya supaya berhenti menusuknya? Ah tidak! Levi juga menginginkannya terkadang.

Leher diusap perlahan. Tenggorokannya kering. Lalu ia segera menyingkir dari kasur menuju dapur. Diambilnya teko berisi air dan menuangkan air tersebut pada gelas berukuran besar. Ada sepiring roti isi beserta catatan kecil di sampingnya. Kertas tersebut is ambil dan dibaca isinya.

Kalau kau bangun, makanlah walau hanya sedikit. Semisalnya aku tidur, kau bisa membangunkanku untuk memasakkanmu sesuatu.

Suamimu.

Levi menatap sendu sofa yang ditiduri oleh Eren. Kenapa bayinya ingin sekali menjauhkannya dengan ayahnya sendiri? Levi rindu Eren tidur bersamanya.

Gelas diletakkan di dekat teko. Levi berjalan mendekati Eren. Sofanya tidak terlalu panjang, tidak pas dengan Eren yang berkaki panjang. Itu pasti akan menyakiti Eren sewaktu bangun nanti.

"Eren?" Levi mulai nemanggil.

Eren membuka matanya. Levi sempat terkejut Eren bangun semudah itu. Cahaya lampu tidur yang temaram menyinari wajah tidur Eren. Levi melihat dengan jelas Eren tersenyum padanya. Tampan sekali.

"Sayang," suara serak khas bangun tidur menyadarkan Levi dari keterpanaannya, "kenapa tidak tidur? Rindu padaku?" Levi mendengus. Kepalanya dianggukkan pelan. Eren mengusap pipinya, "Mau kutemani dimana?"

"Di kamar saja."

"Tidur di sofa ternyata enak juga, Sayang. Mau coba?

Levi mengamati kaki Eren lagi. Sofanya tidak terlalu panjang jadi kaki Eren ditekuk. Tidak baik untuk kesehatan Eren. Levi menggeleng, "Tidak akan cukup."

Eren bangkit. Meja depan sofa yang ia tiduri tadi disingkirkan. Tempat duduk sofa tadi ditarik hingga sofa tersebut menyerupai kasur. Levi tercengang. Kenapa Eren tidak menariknya dari tadi?

"Ini namanya sofa bed, Sayang. Bisa jadi tempat tidur juga. Aku suka jika masih dalam bentuk sofa, hanya saja akan terasa sempit jika ditiduri untuk dua orang."

Levi mengangguk paham. Lalu, Eren menumpukkan bantal sofa menjadi satu dan menumpukan kepalanya diatas bantal sofa tersebut. Levi ditarik pelan hingga rebahan disampingnya berbantalkan lengan kekar Eren. Levi tidur membelakangi Eren dan merapatkan punggungnya pada dada Eren. Eren pun memeluk Levi dari belakang dan memajukan wajahnya hingga hidungnya mampu mencium bau rambut Levi.

"Sudah makan?" Tanya Eren sambil memainkan jari-jari mungil Levi.

"Belum. Aku tidak lapar."

"Jangan begitu, Levi! Bayi kita butuh makan."

"Aku malas makan."

"Aku ambilkan rotinya, ya? Atau kau mau makan sesuatu?"

Levi diam. Matanya dipejamkan. Dahinya mengkerut tanda berpikir. Eren setia menunggu jawabannya.

"Mau makan daging sapi panggang."

Eren lemas seketika. Malam-malam begini Levi minta daging sapi panggang? Memang ada yang buka?

"Kalau itu, besok saja ya? Sudah malam, pasti susah mencarinya."

Levi memalingkan mukanya menghadap Eren, "Kalau begitu, kau harus mencarinya!"

Eren memberi tatapan memelas. Naas, tatapan memelas tidak memberi efek apapun pada Levi edisi ngidam.

"Tapi, ini sudah sangat malam. Kau tidak kasihan padaku jika aku kedinginan diluar, atau jika ada preman yang akan menghajarku nanti?"

Am I Your Boy?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang