***
Tidak ada perbedaan yang signifikan dengan adanya sebuah hubungan baru dalam hidup Riana. Dia tahu betul jika keputusannya untuk melepas masa lajang di usia kepala dua ini adalah waktu yang tepat untuk serius menghadapi masalah percintaan. Dirinya bukan lagi remaja belasan dengan ikatan kekanakan yang di umbar untuk sebuah perhatian. Bukan lagi belia yang terjerat cinta pertama hingga merasa hubungan ini harus selalu kuat.
Baginya, pacaran hanya sebatas nama dari sebuah ikatan untuk saling menjaga hati. Mendekatkan pribadi masing-masing untuk saling memahami. Perbedaan itu pasti, namun jika saling paham pasti akan melengkapi.
Marvin adalah yang pertama baginya. Namun bagi cowok itu, dia adalah yang ketiga. Atau mungkin yang terakhir?
Entah siapa yang lebih dulu jatuh hati. Yang jelas, Riana tidak pernah berekspentasi jika Marvin tertarik padanya untuk lebih dari teman. Karena, dia itu layaknya matahari, tidak bisa di raih namun hanya dapat di kagumi dari jauh.
Sejujurnya semasa awal sekolah, Riana sudah mengagumi cowok berambut hitam yang seragamnya selalu rapi itu. Dia pintar, mantan ketua OSIS di SMP, aktif di organisasi, jago olahraga dan terlihat paling bersih di angkatannya. Bahkan hampir seluruh siswi di sekolah terkena pesonanya. Namun itu hanya sebatas rasa kagum karena Marvin memiliki hal yang tidak bisa Riana lakukan.
Dan rasa kagum itu berkembang menjadi rasa suka semenjak mereka satu kelas di tahun kedua. Belum lagi bangku mereka yang berdekatan, membuat intensitas obrolan formal menjadi lebih pribadi. Namun Riana tidak pernah berharap banyak pada Marvin karena tidak ada yang bisa mengalahkan rasa cintanya terhadap oppa. Oleh karena itu, rasa suka terhadap Marvin masih berada di kadar normal hingga kelulusan sekolah.
Bukan karena rasa kasihan pula Riana menerima Marvin sebagai kekasihnya. Atau karena permintaan ayahnya yang lelah melihatnya melajang. Namun Riana sadar, ketika seseorang datang mengetuk hati yang kosong dan meminta izin untuk menetap, alasan halus apa untuk menolak?
Karenanya di usia yang beranjak dewasa ini, Riana mencoba belajar arti cinta yang sesungguhnya. Benarkah Marvin serius ingin berbagi tugas dengan ayahnya atau hanya main-main semata?
"Jadi, mau pesen apa?" suara cowok itu mengalihkan fokus Riana. Diliriknya Marvin yang tengah menatapnya dengan seulas senyum di wajah kucingnya.
Riana bungkam. Masih menatap Marvin tanpa berniat menjawab pertanyaan cowok itu.
"Ri, kenapa?" tanya Marvin bingung.
"Aku masih aneh sama kamu!" Akhirnya Riana bersuara.
Kening Marvin berkerut. "Apanya yang aneh?"
"Kamu ajak aku lari pagi, tapi malah ngajak Chacha. Terus ngajak makan nasi kuning, tapi masih nanya mau pesen apa." Riana cemberut, melirik Chacha—adik bungsunya—dengan pandangan sebal. Gadis kecil berusia lima tahun itu hanya menatapnya tanpa dosa di gendongan Marvin. Benar-benar cukup mengganggu untuk kencan pertama mereka.
Marvin tersenyum lebar, menunjukkan deretan gigi rapihnya. "Pertanyaan basa-basi Ri, masa kamu gak ngerti." Dia menatap gadis kecil di gendongannya dan tersenyum malu-malu. "Soal Chacha, saya cuma gak mau kalau kita pergi berdua, nanti saya khilaf cubit kamu. Habisnya, kamu gemesin banget, sih."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Gaptek Boyfriend [Pindah Ke CABACA]
FanfictionRiana pikir, sungguh beruntung perempuan yang menjadi pacar Marvin. Dari segi fisik, dia tampan dengan paras yang mirip bule, kulitnya putih dan perawakanya tinggi, kecil nan berotot. Pokoknya, enak di ajak jalan-jalan. Tidak memalukan. Hanya saja...