Bukan Bima namanya, kalau dia tidak diikuti tiga antek penjilat ke seluruh penjuru sekolah.
Nama gengnya terkenal dengan "Bima dan 3 krucil." Bahkan guru-gurupun juga kenal. Sebenarnya, Bima bukan tipe orang yang populer, entah karena ketampanan, prestasi, atau populer karena rekor mantan terbanyak alias playboy.
Menurutnya, ia itu standar (Nggak juga, sih. Bima kalau bercermin tiap hari merasa ganteng). Yang membuatnya populer adalah tiga krucil ini.
Pertama, Raditya Gandi Jumanto, si mesum keparat tukang godain pacar orang. Ia tidak sesering itu sih menonjolkan sikap mesumnya, tapi kalau ada perempuan berjongkok di dekatnya pasti langsung ia goda, "Neng, itu-nya keliatan, warna biru." Ia langsung mendapat pukulan keras dari Gita.
Kedua, Neng Gita Puspita Jumanto. Sepupu lengket Raditya. Kadang mereka dianggap pacaran, padahal Gita sendiri suka geli melihat wajah Raditya (mereka punya wajah yang lumayan mirip, apa itu artinya Gita geli pada dirinya sendiri?). Gita tak kalah gila dari sepupunya, perempuan ini sangat suka membuat cerita fiksi.
Tapi cerita fiksi homo. Bahkan ia dengan hati-hati menulis kaidah kebahasaan yang benar, memperbaiki EYD-nya satu-satu, dan menambah majas dan diksi tinggi untuk mengindahkan hasil karyanya. Bima sangat suka tulisan milik Gita, sayang karakternya homo semua.
Ketiga, Marshall "Putra" Wyn. Bule nyasar dari Australia ke SMA sisi kota Jakarta. Sobat satu bangku Bima. Iya, dia kelihatan bule, cakep, kulitnya sawo matang dan matanya hijau ke abu-abuan. Bahasa Indonesia-nya masih kacau, bahkan saat ia seminggu duduk bersama Bima, ia tidak ingat nama teman sekelasnya siapa.
Alias, bodoh.
Tiga manusia populer itu entah bagaimana bisa menempel lengket pada Bima, yang notabenenya siswa biasa. Mengikutinya kemana saja seperti anjing hilang, Bima sendiri kadang lelah menghadapi tiga temannya itu. Akhirnya, nama Bima ikut terbawa populer.
"Bim! Kelas lo udah ngerjain tugas Ekonomi belum? Kalau udah, nyontek dong!"
Tuh 'kan, baru datang ke kelas saja ia sudah didatangi salah satu krucilnya, Gita. "Udah, tapi hari ini nggak ada pelajarannya, jadi bukunya gak dibawa," ujar Bima, mencoba mengusir Gita dari hadapannya, "Minggir lo, gue belom ngerjain Matematika Wajib."
"Aduh, temen kelasan gue belum pada datang. Pasti ngerjainnya nggak keburu," gerutu Gita, belum pindah seinchi-pun dari depan pintu kelas XI IPS 3.
"Bukan urusan gue, minggir sat gue mau masuk!"
"Ish, galak. Yaudah deh gue balik ke kelas aja." Gita menyelonong pergi kembali ke kelasnya, sebelahan dengan kelas Bima. XI IPS 2. Bima hanya bisa mengelus dada melihat tingkah temannya itu.
Wah, kalau ada Gita, pasti ada Radit.
"Hello, my dear!"
Bima melihat Radit yang stay dibangku miliknya, memainkan pulpennya sambil melambai-lambai. "Bim! Bantuin gue bahasa Jepang dong! 'Kan lo jago." Sepertinya dua sepupu itu kalau minta bantu PR selalu ke Bima. Padahal mereka semua beda kelas.
Radit itu kelasnya ada di sebrang (gedung sekolahnya berbentuk letter U). Kelas XI IPA 1, padahal beda jurusan, masih saja kalau minta bantuan ke kelas sebrang.
"Gatau dit, gue lintas minat Mandarin, musnah lo dari hadapan gue," cetus Bima galak, melempar tasnya tepat ke wajah Radit.
"Dih, galak bener. 'Kan gue cuman minta bantuan doang."
Bima tidak menjawab, hanya duduk di mejanya, tampak galau dan marah bersamaan. Radit memberikan tatapan kenapa?
Bima menjawab, "Gue putus dari Meiva." Radit tampak tak terkejut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Philology
Teen FictionBima kira hidupnya sudah cukup sial karena dua bedebah yang mengaku sebagai 'sahabatnya' selalu menempel pada Bima tiap detik. Mana lagi, salah satu bedebahnya itu yang bernama Gita, sering menulis cerita fiksi homo. Kapanpun, dimanapun. Fujoshi Tot...