Bukankah kesabaran setiap manusia itu pasti ada batasnya?
Pun begitu dengan Gesang dan Katon.
Sejak segala macam rayuan maut mereka tak sanggup meluluhkan hati adik bungsu mereka, mereka berdua memilih menyerah untuk pulang setelah hujan sedikit mereda.
Tak ada niat sama sekali untuk membujuk Shei kembali. Biarlah bocah bertubuh kurus itu melakukan segala hal sesuka hatinya.
Bagi Gesang, Shei bukanlah seorang bocah berusia lima tahun lagi yang belum bisa berpikir tentang hal apa yang mungkin saja terbaik untuk dirinya sendiri.
Katon pun tak jauh berbeda dengannya. Ia mengakui jika merayu adik bungsunya itu lebih sulit daripada merayu gadis cantik yang sempat menjadi idamannya.
Terlebih jika menyangkut sesuatu yang berbau dengan Pambudi. Mau mereka bertahan membujuknya sampai tenggorokan mereka kering pun rasanya hanya akan membuang waktu saja.
Berbeda dengan saudara tertua mereka.
Pria kekar bertato dengan jaket kulit berwarna coklat itu masih setia di tempatnya sejak beberapa menit yang lalu. Memperhatikan adik bungsunya yang masih setia duduk di bawah hujan seolah tak peduli jika petir akan menyambar.
Adik bungsunya ini, memang tipikal anak yang penurut, tapi tak dapat dipungkiri akan menjadi pribadi yang sangat keras kepala jika menyangkut semua hal tentang Pambudi.
Ganjar sudah memakluminya. Mungkin memang benar jika tak seharusnya salah satu di antara saudaranya menjebloskan bapaknya sendiri ke penjara.
Sekarang, adik bungsu mereka sendiri yang menanggung semua akibatnya.
Jika Shei sampai jatuh sakit nanti, Ganjar tak akan segan menyalahkan Gesang atas ide konyolnya ini.
Pria bertato itu menatap khawatir adik bungsunya dari serambi.
Sudah beberapa liter kubik air hujan mengguyur, Shei tak lekas berteduh sama sekali. Tak peduli tubuhnya menggigil, tak peduli kilat petir menyambar, bocah bermata sipit khas Jepang itu masih tetap seperti itu hingga hujan deras kembali datang.
Ganjar berlari cepat, berhenti tepat di sampingnya. Ia melepas jaket kulitnya dan direntangkannya lebar di atas kepala adiknya.
Begini lebih baik. Setidaknya tak akan ada banyak air hujan yang membasahi tubuh Shei nanti.
Shei mendongak memperhatikannya. Ia mulai berpikir adegan ini lebih mirip adegan romantis dalam drama korea, atau lebih mirip seperti adegan dalam film india yang sangat digemari ketiga Mas-masnya.
Ah, Jangan-jangan Ganjar memplagiat adegan romantis ini dari film yang barusaja ditontonnya. Jelas Shei akan malu kalau ada orang lain yang melihatnya.
Shei bangkit berdiri, lantas melangkah dengan sedikit enggan menuju serambi.
Ganjar mengekorinya seraya mengulas senyum lega. Ia lantas mendudukkan diri di sebelah adiknya.
" Baju kita basah, lebih baik kita pulang kalau hujan sudah sedikit reda." Ganjar mengusulkan.
Sedikit menggigil karena udara di sekitarnya memang lumayan dingin, tapi tak lekas memakai jaketnya kembali.
Ia malah mengibaskannya ke arah samping. Ada banyak percikan air hujan di permukaannya, Ganjar harus segera menghilangkannya karena berniat ingin meminjamkannya pada adiknya.
Jika terus membiarkan Shei dalam keadaan basah kuyup begini, bisa masuk angin dia nanti.
Jaket kulit Ganjar itu anti air. Mungkin juga anti masuk angin. Ganjar yakin jaketnya nanti mampu menghangatkan tubuh adiknya sekalian sebagai tolak balak.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Youngest Brother, Sheiii !!! [END]
Teen FictionBagi Shei, jadi bungsu itu tidak seindah cerita tokoh-tokoh fiksi yang sering diceritakan teman-teman perempuannya. Mereka menceritakan kalau jadi bungsu itu selalu dimanja. Itu memang benar, tapi itu dulu, saat Bapaknya belum masuk penjara karena...