Aleana POV
Hari ini aku membuat orang tuaku marah, lagi. Untuk kesekian kalinya mereka harus ke sekolah karena kenakalanku.
Hari ini aku membuat 3 orang kakak kelasku menangis. Aku tidak akan melakukan hal jahat kepada siapapun, kecuali mereka memulai lebih dulu. Tapi sialnya aku yang disidang. Harusnya semuanya tahu, 3 lawan 1, siapa yang salah?
Denisa, si senior gila hormat. Dia yang memulai. Aku dan temanku, Gia, berjalan di koridor membawa setumpuk buku yang harus dibawa ke kantor. Harusnya tugas membawa buku itu hanya untuk Gia yang lupa membawa tugasnya. Aku hanya membantu.
Tidak sengaja Gia menyenggol Denisa membuat buku yang bertumpuk-tumpuk itu jatuh mengenai kaki Denisa. Denisa marah, tentunya. Kedua temannya, Alifa dan Helen, ikut-ikutan marah.
Gia sudah meminta maaf, tapi mereka masih nyolot. Karena tidak suka, aku meletakkan buku-buku yang kubawa di lantai lalu mendorong Denisa keras. Dia jatuh dengan suara jatuhnya yang lumayan keras. Sakit pasti.
FYI, aku atlet karate yang masih sabuk biru, tapi sudah pernah mendapat 2 medali emas, 3 perak, dan 7 perunggu dalam beberapa turnamen karate tingkat kecamatan sampai nasional. Karena rajin latihan otomatis tenagaku lebih terjaga dan badanku adalah body goals yang diimpikan cewek-cewek lainnya.
"Sialan lo," nyolot Helen ingin mendorongku balik, sedangkan Alifa membantu Denisa yang meringis.
"APA!!?" bentakku menepis tangan Helen sebelum dia berhasil mendorongku. Dia meringis kesakitan.
"Alea." Gia menarik tanganku untuk mundur, tapi aku tidak bergerak dari tempatku.
"Mereka itu nggak bisa dibiarin. Mentang-mentang dia senior, kita junior, dia semena-mena. Lo udah minta maaf, tapi merekanya nyolot," ucapku kesal. Bagiku tidak ada istilah senioritas di sekolah. Kita sama, sama-sama peserta didik, siswa.
"Tapi lo nggak usah pake dorong." Denisa kembali berdiri siap menerkamku.
Aku menepisnya lalu menarik tangannya, mencengkram kuat. Alifa ikut bergerak ingin membantu temannya, tapi aku malah menendang tulang keringnya dengan kuat. Helen juga ingin membantu, tapi dengan tanganku yang lain aku menjambak rambutnya.
Kemudian heboh dan aku masuk ruang BK, lagi.
***
Aku diskorsing selama 3 hari.
Sekarang aku sedang mendengar ceramah Ayah dan Bunda. Mereka sekali lagi menekankan agar mengendalikan emosiku sendiri. Mereka juga mengulang-ulang ucapan Bu Rika yang mengatakan bahwa aku siswi yang pintar hanya saja aku nakal.
Mereka tidak mendengar penjelasanku. Gia juga. Mereka tidak mendengar Gia yang mengatakan sebenarnya. Tidak apa-apa. Aku senang bisa membuat ketiga senior yang sok-sok'an itu babak belur.
"Kamu dengar Ayah dan Bunda, kan, Ya?" tanya Ayah melirik ke belakang. Ayah sedang menyetir, Bunda di sampingnya, dan aku duduk di bangku belakang.
"Iya, Yah. Aya denger, kok," balasku.
"Abang kamu pasti bakal marah besar, Ya," ucap Bunda.
Astaga, aku hampir lupa dengan abangku sekaligus saudaraku satu-satunya, Bang Gibran. Marahnya Bang Gibran lebih ngeri dibandingkan marah Ayah atau Bunda. Untungnya Bang Gibran sudah menikah dan tidak tinggal dengan kami lagi. Tapi tetap saja kalau Bang Gibran tahu, mampus aku.
"Makanya, Ya, jangan bandel. Kamu dengar kata kepala sekolah tadi. Kalau satu kali lagi kamu buat masalah, kamu bakal di-DO." Ayah mengingatkan lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Koma
Short StoryHanya cerita pendek yang tiba-tiba terpikirkan. Aleana adalah gadis pintar tapi nakal, tepatnya pecicilan. Beberapa kali Aleana membuat orang tuanya harus ke sekolah karena perbuatan usilnya. Tapi Aleana tidak jera. Selama itu membuatnya bahagia, ia...