Tidak banyak kota di Idonesia yang benar-benar dibangun dari nol setelah kemerdekaan. Di antara yang sedikit itu, Palangkaraya salah satunya. Empat puluh sembilan tahun lalu, ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah ini dibangun di kawasan hutan belantara. Ketika hutan dibuka... muncullah Palangkaraya.
Tahun 1959, Palangkaraya betul-betul masih berupa hutan, dipenuhi pepohonan besar," kata sesepuh masyarakat Kalimantan Tengah Sabran Achmad di Palangkaraya, Kamis (20/7). Palangkaraya tumbuh sebagai kota yang kian berkembang. Relatif cepat. Akhir Juli 2005, setahun lalu misalnya, hanya ada sekitar sepuluh kafe dan warung tenda berjejer di ruas trotoar sepanjang 30 meter di Jalan Yos Sudarso. Suasana malam di sekitar bundaran besar Palangkaraya belum begitu semarak.
Makin banyaknya warung tenda tersebut tak lepas dari makin panjangnya pemasangan cor beton di trotoar jalan yang mengarah ke kawasan Universitas Palangkaraya. Tersedianya ruang publik telah menghilangkan kesan Palangkaraya mati di malam hari.
Plaza perbelanjaan
Tak jauh dari bundaran besar, sekarang tengah dipacu pembangunan satu plaza perbelanjaan yang akan meramaikan percaturan bisnis perdagangan di kota ini. Bangunan ruko-ruko baru dalam setahun ini bermunculan di beberapa ruas, seperti di Jalan Tjilik Riwut. Denyut nadi perkembangan Kota Palangkaraya amat terasa, terutama di sekitar pusat kota.
Menginjak usianya yang ke-49 pada tanggal 17 Juli 2006, Palangkaraya sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah toh masih menghadapi beragam problem prasarana dasar. Ini tak lepas dari begitu luasnya wilayah kota, dominasi hutan, serta penduduk yang tidak merata.
Palangkaraya adalah kota trimuka: memiliki wajah hutan, perkotaan, dan pedesaan. "Prasarana dasar merupakan salah satu fokus perhatian kami untuk terus mengembangkan Palangkaraya," kata Wali Kota Palangkaraya Tuah Pahoe, Senin (17/7).
Luas Kota Palangkaraya sekitar 2.678,51 kilometer persegi. Seluas 2.487,55 kilometer persegi di antaranya berupa kawasan hutan, sisanya terbagi untuk tanah pertanian, perkampungan, perkebunan, sungai, danau, rawa, serta penggunaan lain.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk Palangkaraya hingga akhir tahun 2005 sebanyak 183.251 jiwa, dengan rata-rata kepadatan penduduk 68,42 jiwa per kilometer persegi. Jangan heran jika menjumpai halaman rumah atau kantor yang luasnya seukuran tiga kali lapangan basket.
Secara topografi, Palangkaraya relatif datar dan sebagian besar berupa dataran rendah berawa dengan ketinggian 15 hingga 35 meter di atas permukaan laut. Kondisi ini membutuhkan sistem drainase yang tertata baik agar tidak muncul genangan atau banjir saat hujan.
Selama musim hujan periode 2005-2006, beberapa kawasan di Palangkaraya memang sering terendam apabila hujan turun cukup lama. Kondisi ini, antara lain, dijumpai di ruas Jalan Sisingamangaraja dan Kompleks Amaco.
"Problemnya, hingga saat ini Palangkaraya memang belum memiliki master plan (rencana induk) drainase sehingga penanganan selama ini terlihat parsial. Itu terpaksa kami lakukan sembari menunggu selesainya pembuatan rencana induk tadi," kata Tuah.
Selain itu, 120,50 hektar kawasan kumuh juga menjadi problem. Kawasan kumuh berpenduduk 13.065 jiwa yang tinggal di 3.410 rumah itu tersebar di kawasan Mendawai, PU Bawah, Flamboyant Bawah, Rindang Banua, dan Murjani Bawah.
Persoalan lain, yaitu ada 1.021 ruas jalan yang harus ditangani Pemerintah Kota Palangkaraya dengan total panjang 755,46 kilometer, dan baru 54,47 persen di antaranya, yaitu 413,5 kilometer, yang beraspal. Panjang ruas jalan yang sudah dapat dilalui, walau belum diaspal, mencapai 252,37 kilometer atau 33,40 persen total panjang seluruh ruas jalan.
Sementara itu, Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Palangkaraya Burhanudin menuturkan, di Palangkaraya akan segera dibangun sentra industri seluas sekitar 15 hektar untuk menampung ratusan pengusaha kecil dan menengah. Palangkaraya kini tengah tumbuh, lengkap dengan berbagai harapannya, dengan beragam problemnya.
Ibu kota negara
Palangkaraya memiliki kisah menarik tersendiri. Kota ini pernah digagas oleh Bung Karno sebagai calon ibu kota negara Republik Indonesia. Sejarah yang kemudian mencatat bahwa Jakarta-lah yang kemudian ditetapkan secara resmi sebagai ibu kota negara, berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1964, setelah sebelumnya didahului Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959.
"Bung Karno punya ide untuk membangun ibu kota negara baru, yang bebas dari peninggalan kolonial Belanda," ujar Ketua Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Palangkaraya Wijanarka pada suatu siang.
"Kebetulan, ketika itu tahun 1957, masyarakat Kalteng yang menginginkan terbentuknya provinsi membutuhkan sebuah ibu kota," ujar Wijanarka.
Kesempatan itu menjadi kesempatan bagi Bung Karno untuk merencanakan suatu ibu kota negara yang bebas dari sisa-sisa pengaruh kolonial.
"Pemancangan tiang pendirian Kota Palangkaraya dilakukan tahun 1957. Jadi, ide untuk menggagas Palangkaraya sebagai ibu kota negara tercetus sekitar waktu itu," kata Wijanarka yang juga penulis buku berjudul Sukarno dan Desain Rencana Ibukota di Palangkaraya terbitan Penerbit Ombak, Yogyakarta.
Mengutip Olly GS di majalah Kartini tahun 1985, Wijanarka menuturkan, Bung Karno sangat mengagumi Piazza del Popolo di Roma, Italia; mal Washington DC; dan master plan kota Berlin. "Dan ternyata master plan struktur Kota Palangkaraya ada kemiripan dengan tiga model tadi," kata Wijanarka.
Dia menjelaskan, jika ditinjau dari posisi geografisnya, posisi Palangkaraya amat unik. Sebab, kota tersebut letaknya kira-kira berada tepat di tengah-tengah Indonesia.
Palangkaraya tepat berada di titik tengah garis imajiner yang ditarik dari kota Sabang di Nanggroe Aceh Darussalam (paling barat) ke kota Merauke, Pulau Papua (paling timur), juga tepat di tengah-tengah garis yang ditarik ke utara dan selatan melalui Palangkaraya.
Selain itu, kata Wijanarka, ada beberapa unsur lain yang dimiliki Palangkaraya sehingga kota itu dipandang ideal sebagai calon ibu kota negara.
Unsur yang menguntungkan tadi adalah: bebas dari pengaruh kolonial, aman dari kerawanan gempa karena jauh dari daerah patahan, dan tidak dilewati rangkaian jalur gunung api. Berarti, Palangkaraya adalah kota yang bebas dari bencana alam dengan risiko besar.
Secara arsitektural, Palangkaraya memiliki desain-desain dengan konsep nasionalisme.
Bundaran besar pusat Palangkaraya, misalnya, sebenarnya merupakan simpang delapan yang melambangkan jumlah rumpun kepulauan RI (Sumatera, Jawa, Bali, Sulawesi, Maluku, Kalimantan, Nusa Tenggara, dan Papua).
Dalam bukunya, Wijanarka mengungkapkan beberapa poin yang menjelaskan kemungkinan penyebab batalnya Palangkaraya menjadi ibu kota negara Indonesia. Penyebab tersebut, antara lain, kurang lancarnya penyediaan bahan bangunan untuk membangun Palangkaraya di awal pendiriannya dulu.
Selain itu, juga terkait aspek sejarah Kota Jakarta, desakan para duta besar, dan event-event internasional yang diagendakan berlangsung di Indonesia pada waktu itu, misalnya pesta olahraga Asian Games tahun 1962.
"Tidak mudah memindahkan ibu kota negara," kata Wijanarka. Sebab, lanjutnya, untuk melakukan itu perlu berbagai pertimbangan mendalam, termasuk keputusan politik.
Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang setiap kali ditanya soal kemungkinan atau kesiapan Palangkaraya menjadi ibu kota negara selalu menjawab, "Kalau memang pusat dan semua pihak menginginkan, maka Kalteng hanya akan menjawab dengan empat huruf: S-I-A-P." (berita dari kompas.com)
Diposting oleh zop20@yahoo.co.id
www.zop19.blogspot.com