New Season: The Spring [II]

117 11 9
                                    

Ketika lulus sekolah, mengurus pendaftaran universitas sendiri, hingga memutuskan untuk menyewa flat sederhana agar bisa hidup mandiri versinya, Chorong merasa bangga. Ia merasa sudah melampaui batas. Merasa telah menjejakkan langkah pada tapak kedewasaannya dengan berani. Seakan sudah di atas rata-rata.

Namun seiring berjalannya waktu, Chorong memahami kinerja mawas diri. Ketika ia dengan angkuh mengakui sendiri tingkat kedewasaan, justru itulah ciri sifat kekanakannya. Dan saat ia mulai merasa dirinya masih belum dewasa, begitulah ciri kedewasaannya.

Perlahan Chorong menyadari ia masih belum dapat melampaui keterbatasannya. Tidak ada yang bisa dibanggakan dari pencapaiannya.

Lalu, saat tadi ia mendengar pengakuan Woohyun yang cukup mengejutkan, Chorong semakin merasa malu. Semakin merasa bahwa semua masalahnya hanya setitik debu dibanding bongkahan besar milik laki-laki itu. Ia merasa payah, juga lemah.

Jujur saja, seumur hidupnya, masalah terbesar yang pernah ia hadapi hanyalah mengenai perselingkuhan profesor Yeosok. Selain itu, ia dimanja dalam lingkup pergaulan yang baik dan dengan pelukan keluarga yang hangat. Kondisi psikisnya berkembang dengan baik. Ia terbilang beruntung.

Akan tetapi, sungguh ironis. Sudah tidak terhitung berapa kali Chorong mengeluh di hadapan Woohyun. Berapa kali ia berlindung di balik punggung laki-laki itu yang tegap nan hangat hanya karena hal-hal sepele, yang jika harus dibandingkan dengan Woohyun menjadi benar-benar tidak ada apa-apanya.

Chorong menghela napas dan membenamkan wajahnya di meja. Hanya sesaat sebelum akhirnya ia angkat dan letakkan kembali pada tangkupan tangannya yang dingin.

Salahkah tanggapannya? Haruskah ia meminta maaf?

Chorong belum pernah mendengarkan cerita semacam ini. Ia hanya mempunyai sedikit teman, dan semua temannya menjalani kehidupan dengan layak tanpa masalah berarti. Apalagi menyangkut latar belakang keluarga mereka. Baru sekali ini Chorong bertemu langsung dengan seseorang yang pergi dari rumah selama bertahun-tahun untuk menghindari orang tuanya sendiri.

Ia tidak tahu bagaimana harus memberi respons. Komentar apa yang harus ia lontarkan. Apa sikap yang patut dan tidak patut ia tunjukkan. Chorong benar-benar tidak tahu.

Genggaman tangan dan ucapannya kepada Woohyun tadi hanyalah spontanitas. Hanya tanggapan alamiah berdasarkan apa yang Chorong rasakan saat mendengar Woohyun bercerita. Ia tidak berpikir dua kali.

Kini, Chorong ragu apakah sikapnya tadi salah atau benar. Apalagi jika mengingat kembali bagaimana heningnya suasana tepat setelah mereka menutup topik itu. Bahkan ekspresi Woohyun yang sarat akan bendungan emosi tak terbaca masih dapat ia ingat dengan jelas seolah terpatri pada tempurung rangka kepalanya. Ia khawatir jika empatinya tidak tersampaikan dengan baik, dan justru membuat Woohyun meragukan ketulusannya.

Saat Chorong semakin tenggelam dalam lamunannya, gema suara Profesor Lee menutup perkuliahan hari itu mengakhiri alur panjang pikirannya.

“Terima kasih atas kehadiran kalian. Kelas dibubarkan. Selamat siang.”

Chorong tersentak, lalu buru-buru menyahut bersamaan dengan mahasiswa lainnya untuk berterima kasih atas ilmu yang telah dibagikan kepada mereka hari itu. Meskipun secara pribadi, Chorong merasa tak ada satu kalimat pun yang dapat dicerna oleh otaknya.

Setelah Profesor Lee beranjak keluar kelas dan menghilang, Chorong lantas mengecek ponselnya kalau-kalau ada sesuatu. Melihat pesan masuk, ia teringat bahwa pesan yang tadi pagi ia terima dari Howon belum ia balas. Dengan tanggapan seadanya ia membalas pesan.

Untuk: Howon
Aku baik-baik saja.

Tidak berapa lama, ponselnya kembali bergetar menandakan pesan masuk.

Reach Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang