Slurp! Slurp! Slurp!
.
Seorang lelaki pirang menyeruput ramen dengan lahap. Matanya terpejam, mencoba menikmati kenyalnya mie, gurihnya kaldu, serta nikmatnya aneka pelengkap yang disajikan di atas hidangan khas negeri Jepang itu. Mana peduli ia dengan kuah yang bercipratan ke mana-mana—termasuk yang tertinggal di sekitar bibirnya, mana acuh ia dengan tatapan aneh pengunjung lainnya. Urusan perut baginya adalah nomor satu.
.
Ia meletakkan sepasang sumpit di atas mangkuk seusai benda bundar itu bersih dari sisa makanan. "Gochisousama deshita[1]," lirihnya sambil mengatupkan tangan di depan dada.
.
"Seperti biasa," tukas seorang pria paruh baya di belakang kounter meja, "kau menghabiskan semangkuk ramen double extra jumbo hanya dalam waktu lima menit, Naruto."
.
Pemuda pirang itu menyengir bangga. Adapun pengunjung lainnya menatap si Pirang horor. Menghabiskan semangkuk ramen double extra jumbo dalam waktu lima menit? Dia ini manusia ... atau sunder bolong?
.
"Hehehe ... aku harus makan banyak, Paman Teuchi," balas Naruto sambil menunjukkan muka tengilnya. "Sebagai mahasiswa semester menengah yang jomlo, aku harus kuat menghadapi beban kehidupan."
.
"Iya, iya." Ayame, anak dari Teuchi, ikut menimbrung, "makanya cari pacar sana, Naruto. Biar beban kehidupannya bisa ditanggung berdua."
.
Jleb! Perintah 'cari pacar' itu menancap dalam di ulu hati Naruto. Salahnya sendiri menyebut statusnya yang masih lajang di depan Ayame yang notabene sudah punya pacar. Ya, pacarnya adalah Genma Shiranui—tukang siomay dan batagor di kantin kampus yang hobi mengunyah sebatang rumput.
.
"Bagaimana dengan keputusanmu, Naruto?" tanya Teuchi. "Sudah memutuskan ingin bekerja apa?"
.
Naruto benar-benar senang sekaligus bimbang; senang karena pemikiran tidak jelasnya mengenai korelasi antara Genma dengan hewan pemamah biak dapat terhenti; bimbang gara-gara belum menemukan jawaban atas pertanyaan si paman ramen. Tadinya, ia ingin bekerja di kedai Ichiraku ini. Namun, jika ia melakoninya, mau tidak mau para mahasiswa di kampus akan mengetahui kalau ia bekerja. Dan pihak kampus punya peraturan ketat mengenai itu.
.
Pemuda bermata safir itu ingin bekerja di bidang yang ia sukai, masak-memasak. Bukan, ia tidak berencana membuka restoran secepat ini. Ia memang mengambil jurusan tata boga, tetapi untuk memulai usahanya sendiri rasanya terlalu dini. Meskipun teman satu kosnya bilang masakannya enak—di mana ia dijadikan koki penyelamat ketika akhir bulan—ia ragu jika masakannya menggugah selera. Bahkan bisa jadi makanannya malah mencabut nyawa. Tidak lucu 'kan kalau masakannya malah mengantarkan orang ke alam baka? Ia tidak mau dituduh sebagai koki malapraktik.
.
"Rasanya aku masih bingung, Paman," Naruto berdanguk.
.
"Gimana kalau kamu jadi tukang nasi goreng keliling saja?" usul Ayame. "Tidak memakan waktu banyak dan kau masih bisa belajar juga."
.
Tukang nasi goreng, ya? Baiklah, Naruto rasa itu bukan ide yang buruk.
.
.
.
Sepiring Nasi CintaDisclaimer: NARUTO belongs to MASASHI KISHIMOTO
Warning: typo, PUEBI masih kacau balau, diksi semrawut, kata baku bercampur kata tak baku, romansa yang gagal menyentuh hati, dll.
Setting: AU(Alternate Universe)
..
.
Naruto berjuang keras untuk bisa menjual nasi goreng. Semua penghuni kos sudah menjadi tumbalnya. Berbagai macam eksperimen sudah ia coba; mulai dari keasinan, kepedasan, kemanisan, sampai nasi yang mengering layaknya kerak menjadi makanan percobaan mereka. Akhirnya setelah dua puluh kali mencoba—dan menguras isi dompet kesayangannya—Naruto berhasil mendapatkan sebuah formula tetap. Ia sudah menerapkannya pada mie, kwetiau, bihun, soba, dan bahan makanan lain. Hasilnya, tetap sama; lezat sampai mampu menggoyang lidah orang..
Pemuda bermata safir itu sudah mempersiapkan bermacam hal. Mulai dari garam, gula, penyedap rasa—jika dibutuhkan orang—kecap ikan, saus tiram, kecap, minyak wijen, dan minyak penyedap—diperoleh dari menyiramkan minyak panas ke dalam rempah-rempah yang sudah diramu khusus. Untuk mengatur tingkat kepedasan, ia menggunakan rajangan cabai rawit dan minyak cabai yang diperoleh dari menyiramkan minyak panas ke dalam wadah berisi cabai kering dan wijen.
.
Gerobak sudah siap, bahan sudah tertata rapi, dan keadaan dagangannya bersih. Malam ini adalah malam pertama, malam perdana pertunjukkannya.
.
Tuk! Tuk! Tuk! Kentungan dipukul sepenuh hati, tak terlalu keras dan tak terlalu pelan. Saat ini, si Pirang tengah berjalan di komplek perumahan orang elit. Ia hampir tidak diperbolehkan masuk oleh seorang hansip, tetapi setelah menceritakan kisah hidupnya—ditambah dengan meletakkan aneka irisan bawang di tengah mereka—hansip itu mengizinkannya berjualan dengan syarat: ia tidak boleh membuat keributan.
.
"Nasi goreng! Nasi goreng! Enak mengenyangkan! Tak enak uang kembali!"
.
Sebenarnya, Naruto jengah berteriak tak jelas seperti ini. Maklum, ini pengalaman perdana dan ia harus segera menarik pelanggan secepat dan sebanyak yang ia bisa.
.
"Nasi goreng! Nasi goreng!"
.
Sebuah seruan menginterupsi. "Bang, beli dua!"
.
Naruto menghentikan gerobaknya. Seorang ibu rumah tangga yang memakai daster menghampiri beserta seorang anak perempuan.
.
"Nasi goreng apa, Bu? Mau tidak pedas, pedas sedang, atau ekstra pedas?"
.
"Nasi goreng petai dua, pedas sedang. Dibungkus, ya!"
.
"Pakai micin, Bu?"
.
Ibu bermata merah darah itu menggeleng.
.
Segera Naruto mengeluarkan wajan besar dan meletakkannya di atas kompor yang sudah dimodifikasi. Ia menuang sedikit minyak ke dalam wajan; memasukkan bumbu halus yang terdiri dari bawang putih, bawang merah, dan jahe; menggoreng irisan petai; mencemplungkan sedikit irisan cabai; dan terakhir memasukkan nasi. Bumbu lain tak lupa dicampurkan ke dalam wajan seperti garam, gula, saus tiram, kecap, dan minyak penyedap. Api dinyalakan besar-besar. Pemuda bermanik safir itu terus mengaduk sampai semua bahan mengeluarkan aroma dan tak ada lagi nasi yang menggumpal.
.
Tak sampai lima menit, dua nasi goreng petai itu matang. Setelah membungkus keduanya dengan rapi, pemuda yang memiliki tanda lahir berupa tiga garis di pipi itu memasukkannya ke dalam plastik; tak lupa ia menyertakan dua bungkus kerupuk dan dua bungkus acar yang dibuat dari wortel dan lobak yang diiris tipis.
.
"Ini pesanan Anda, Nyonya."
.
Setelah menyerahkan beberapa lembar uang, ibu beserta adik kecil itu pamit. "Terima kasih ya, Bang!"
.
Naruto menatap lembaran uang di tangannya. "Penghasilan pertama," gumam si Pirang. "Yosh! Kita harus lebih bersemangat."
.
Dalam semalam, dagangan Naruto laris manis. Tidak ada lagi nasi, mie, bihun, kwetiau, maupun sayuran sebagai bahan utama cap cay. Semuanya tak bersisa, habis diburu oleh para pelanggan. Naruto bersyukur, ini adalah anugerah dari Tuhan. Tak pernah terlintas di pikirannya bahwa pada hari pertama ia menuai untung besar.
.
Ah, rasanya ia tak sabar menunggu malam-malam esok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepiring Nasi Cinta
FanfictionKau berhak merasakan cinta, tetapi kau tak berhak memaksakan cinta (DISCONTINUE)