35

1.2K 110 12
                                    

Lidya berjalan dengan uring-uringan, dari satu dinding ke dinding yang lainnya.

"Sudahlah, lo ga perlu khawatir," peringat Farhan. Ia jenuh mengamati wanita yang ia anggap sebagai saudaranya. Tingkahnya sangatlah aneh, berjalan dengan memegang kepalanya seakan masalahnya terlalu berat.

"Gimana bisa gue tenang?" sanggah Lidya dengan lemas, ia duduk menyender di bahu Farhan.

Wajahnya sedikit memucat, pasalnya dari kemarin ia tidak sempat makan apapun. Kini bibirnya semakin memutih. "Ada baiknya kita makan dulu, lo belum makan apapun. Gue gak mau adek gue jadi lebih kurus."

Farhan mencoba menghibur Lidya, namun semuanya terasa sia-sia. Wanita itu semakin melemah di bahunya.

Erick datang dengan tergesa-gesa sambil membawa dokumen dari ujung lorong. "Bagaimana?"

Lidya menatapnya dengan tajam, sudut matanya meruncing. "Bagaimana? Kau tanya bagaimana apanya? Kau sedari tadi di rumah sakit! Kau ada di Indonesia, sedangkan aku ada di Belgia. Bagaimana bisa aku tau kabar mereka?!"

"Maafkan aku," lirih Erick mengetahui kondisi kini tidak memihak padanya.

"Maaf! Kau bilang maaf?! Kau harusnya tau apa yang terjadi dengan mereka! Mengapa kau menyulitkanku lagi? Aku benar-benar terlampaui dari batas sabarku! Bagaimana hasilnya? Harusnya kau yang tau!" isak Lidya tiba-tiba.

"Sabar Lid, jangan perburuk keadaanmu," bujuk Farhan mengubah gaya bahasanya.

Sebuah tangan mengusap pipi Lidya yang tidak disadari waktu ia datang, tangannya menarik Lidya ke pelukannya.

"Tenanglah," bisik orang tersebut dengan pelan. Farhan dan Erick tersentak kaget dengan perlakuan orang tersebut.

Orang itu adalah Gio, dengan pakaian lebih pantas daripada ketika Lidya menemuinya terakhir kali. Ia membelai lembut rambut Lidya guna menenangkan wanita itu. Berhasil! Caranya berhasil, perlahan Lidya menggeliat bebas keluar dari pelukan Gio.

"Kenapa lo nangis?" ia menatap Lidya dengan tatapan yang teramat dalam.

"Siapa lo? Dateng-dateng langsung peluk orang sembarangan?" heran Farhan dengan tatapan teramat tidak bersahabat, Gio mengamatinya dengan datar.

"Gue ga ada urusan sama lo," tukas Gio mantap. Ia menyadari kehadiran Erick di tengah percakapan mereka. "Lo kenapa di sini? Dan Lidya?"

"Oxy dan Aluna dirawat di rumah sakit ini, mereka keracunan," tutur Erick dengan nada yang lemah dan penuh penghormatan.

"Keracunan? Gimana bisa? Bukannya yang gue tau penjagaan di rumah Lathfierg teramat ketat?" sela Dimas yang datang dari belakang Gio.

"Aku juga tidak mengetahui hal itu, lukanya teramat parah, luka dalam hingga mereka muntah darah," sambung Erick. Gio dan Dimas saling menatap dan mengisyaratkan sesuatu dalam tatapannya.

"Ada apa?" tanya Lidya yang merasa bingung.

"Kami punya urusan mendadak," titah Gio dengan aura yang berbeda.

"Mendadak? Lo mau pergi? Lo belum sembuh total," larang Lidya setengah berusaha. Namun usahanya telah terlihat akan mengalami kegagalan.

"Kalo gue ga pergi kali ini, bakal ada luka baru yang jauh lebih parah," sanggah Erick. Keduanya berlari meninggalkan Lidya dengan seribu tanda tanya.

***

Setelah memutuskan untuk tetap tinggal di Indonesia, Farhan telah kembali ke Finlandia, Negara tempat bisnisnya mengakar. Belgia hanyalah kediaman El, Damar, Revi, dan Dhika. Cakra? Mereka tidak mengetahui keberadaannya seperti Zhiro yang seakan telah hilang dari dunia.

Sepasang mata perlahan membuka dengan beratnya, terlihat beban yang begitu memberatkan. "Dimana aku?"

"Tertidur pulas di rumah sakit," jawab Lidya dengan senang hati. Walaupun ia tau jika bosnya teramat mengjengkelkan. Oxy hanya memutar bola matanya lalu menutup matanya kembali.

"Et.. Jangan ditutup lagi, ga tau apa susahnya nunggu lo bangun? Tuh kerjaan kantor lo numpuk, rapat penting, pembangunan proyek, gaji karyawan, belum lagi ngehadepin Bianca yang judesnya minta ampun. Seenggaknya kalo lo mau koma lagi, tinggalin gue kerjaan yang bagus, jangan yang kayak gini." Lidya mengerucutkan bibirnya dan duduk di hadapan Oxy setelah meninggalkan laptopnya.

"Terima kasih," singkatnya Oxy menukas.

"Yaudah gue ga butuh makasih, yang gue harepin tuh lo cepet sembuh dan rawat adek lo. Adek lo ada di sebelah, dia udah sadar lebih cepet daripada lo dan sekarang dia sedang tidur," protes Lidya tak henti.

"Kau kenapa ada di Indonesia?"

"Lo kira apa? Gue bakal ninggalin Aluna sendiri di rumah sakit ini? Ya bukannya gue kepedean, adek lo pernah bilang kalo dia cuma punya lo dan gue. Mustahil bagi gue untuk enggak jaga perasaannya," sanggah Lidya dengan tenang lalu memberikan segelas air putih ke Oxy.

Oxy menerimanya dengan perlahan, pelan namun pasti air di dalam gelas tersebut telah tandas. Ia kembali berusaha membuat dirinya kembali nyaman.

"Lalu Farhan?"

"Farhan? Lo tenang aja karena dia udah balik ke Finlandia dan akan mengunjungi gue sesekali. Lagian kalian juga punya kontrak. Udah lo istirahat yang rileks, gue mau rapat penting ngewakilin lo. Proyek ini bakal buat lo lebih maju, dan lo harus nambah gaji gue berkali-kali lipat. Gue bakal manggilin Erick buat nemenin lo." Lidya berdiri dan kembali menyiapkan sesuatu di laptopnya serta akhirnya meninggalkan Oxy di ruangan sendiri.

***

Telah 1 bulan berlalu, proyek yang dijadikan Lidya benar-benar membuahkan hasil, kemajuan pesat di kerajaan bisnis Lathfierg. Ia membuka pintu minimarket yang tidak jauh dari kediamannya.

Dering teleponnya membuatnya berdecak kesal ketika mengamati penelpon tersebut.

"Halo, kenapa? Oxy ganggu lo lagi? Ato tuh Jalang dateng ke rumah lo lagi?"

"Lalu kenapa?"

"Yaudah dateng aja rumah gue dengan rumah lo sebelahan."

"Di minimarket."

"Ogah!"

"Beli aja sendiri!"

"Gak peduli!"

"Entar gue pertimbangin, gue bakal pindah ke rumah lo lagi. Dah ah! Gue mau masuk, kesian amat di tengah-tengah gini."

"Iya, gue beliin cokelat yang lo pesen."

Lidya mencari makanan untuknya, ditinggal Farhan beberapa hari benar-benar membuatnya jenuh tinggal sendirian, ia mencari beberapa kebutuhan yang ia butuhkan dan sepaket cokelat yang sedang promo. Setelah membayar di kasir Lidya memutuskan untuk pulang.

Aluna kini tengah melambaikan tangannya tidak jauh dari posisi Lidya saat ini, Oxy berada di belakangnya dengan wajah datar.

Beberapa langkah, tiga motor berhenti di depan Lidya dan mengepungnya dengan senjata tajam. Aluna dan Oxy berusaha menghentikan mereka, namun dengan cepat mereka mengunci leher Lidya dengan keempat samurai di tiap sisi.

Aluna dan Oxy seketika membeku tanpa melawan apapun. Mereka berlima, salah seorang diantara mereka berdiri tepat di hadapan Lidya sambil membawa lembaran kertas putih yang cukup besar.

Mereka semua memakai masker hingga hanya sepasang mata yang terlihat dan kepalanya ditutupi helm, ia tidak bisa mengenal mereka.

Ia merentangkannya lebar-lebar hingga jelas terlihat oleh Lidya.

Sebuah tinta berwarna merah darah menghias kertas putih itu.

"KAU AKAN MATI! AKU AKAN MENJEMPUT KEMATIANMU!"

Ia mengganti kertas itu dengan kertas yang lain, di sarung tangan orang itu ada lambang R bersambung G.

"GIO TELAH MUSNAH DARI MUKA BUMI!"

I'll Do Anything For You [Lathfierg Series]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang