Lidya kini meredakan isak tangisnya dengan terpaksa. Ia berada di dalam kediaman Lathfierg bukan karena kemauannya, melainkan ia dipaksa untuk tetap tenang dan terkunci di rumah megah itu.
"Biarin gue keluar! Kalian ga berhak buat nahan gue di sini!" amuk Lidya tak tertahankan.
"Ayolah kak, kakak harus mengikhlaskan Gio! Biarkan dia tenang di alam sana!" timpal Aluna menahan tangan Lidya dan menggema di ruangan yang terasa hampa bagi Lidya.
"Lepasin tangan gue! Jangan coba nahanin gue di sini!" sergah Lidya dengan penuh amarah. Lidya menggeleng tak karuan. "Dia gak mungkin ninggalin gue kek gini!"
"Tapi itu kenyataannya. Lalu kakak mau apa?" tanya Aluna uring-uringan. Lidya menatapnya tajam.
"Lo tanya gue mau apa? Gue bakal lakuin apa yang jadi kehendak gue!" secepat kilat Lidya langsung mengambil pisau kecil di saku jaket Aluna. Ia tepat mengarahkan mata pisau itu ke nadinya.
"Hentikan Lidya! Apa yang mau kau lakukan!" larang Oxy mencoba menghentikannya. Lidya hanya menyunggingkan senyumannya.
"Hentikan? Semudah itu? Lo keliru! Hidupku berarti hidupnya dan kematiannya berarti kematianku," gumam Lidya. Tanpa melewatkan sedetikpun, Lidya menggesekkan ujung pisau itu tepat ke nadinya, seakan menebasnya. Darah bercucuran keluar, meluap tak tertahankan seakan bebas dari suatu penjara kulit yang menahan mereka.
"Selamat tinggal," lirih Lidya terkekeh. Pahitnya hidup benar-benar membuatnya kalut, namun tidak lagi saat ini. Dia kini telah berada di ujung hidupnya, ia tidak merasakan kepahitan lagi. Persoalan Farhan tidak dia pikirkan, di hadapannya berdiri dua orang yang dapat menjelaskan tentang kematiannya.
"Apa yang kau lakukan! Bodoh!" caci Oxy. Ia menarik Lidya dalam dekapannya yang kuat. Lengan kekar yang masih dibaluti Jas yang ia pakai melingkati tubuh yang mulai lunglai itu. Aliran darah mengenai sisi depan jas milik Oxy.
"Maafkan aku." sebuah benda tajam menusuk pembuluh Lidya, tubuhnya lunglai dan pandangannya mulai mengabur.
"Lo licik," gumam Lidya sebelum terjatuh dan pandangan benar-benar gelap.
***
"Bagus, ada lo lagi," lirih Lidya mengamati sekitarnya, ia berada di tempat yang sama.
"Lo ga suka ada gue? Sebelum gue bener-bener pergi lo bisa nikmatin waktu bersama gue. Kali aja lo bakal kangen," respon Zhiro dengan percaya diri.
"Gue kangen sama lo? Udah satu tahun lo jauh dari gue. Mustahil bagi gue bakalan kangen sama lo," sangkal Lidya dengan sangat yakin. Ia memalingkan wajahnya ke arah sebuah jalan yang baru saja terbuka. Sebuah bayangan hitam terlihat jelas sedang melesat di antara sisi jalan.
"Lo gak bakal tau apa yang terjadi di masa depan. Lo harus jaga diri baik-baik, entah apa, gue rasain lekuk hidup lo bakalan lebih sulit daripada apa yang udah lo rasain," tukas Zhiro. Lidya tidak meliriknya, rasa rindu yang membuatnya seperti ini. Ia berdiri masih menatap jalan itu, ada kejanggalan di matanya.
"Mau ke mana?"
"Mencari sesuatu yang pasti," jawab Lidya dengan tetap melangkah.
"Jangan melangkah ke sana atau lo bakal hilang," larang Zhiro lagi.
Lidya menoleh dan menatap lelaki itu dengan heran, wajahnya tidak ada yang berubah. Tetap mempesona dan membuatnya tenang dan nyaman. "Lo seakan mengenal tempat ini."
Lidya melangkah lagi, namun kakinya terasa berat untuk melangkah lagi. Tubuhnya tertarik gaya Gravitasi, menembus tanah dan pandangannya menjadi gelap.
***
"Tidur yang menyenangkan?" sambut Oxy ketika Lidya baru saja membuka matanya.
"Aku tidak akan tidur jika kau tidak menyuntikkan sesuatu itu ke tubuhku," sela Lidya mencoba duduk dan menyandarkan tubuhnya. Tubuhnya terasa sangat lelah.
Terasa aneh baginya, bagaimana bisa Zhiro hilang dari dunia bisnis dan selalu muncul ketika Lidya tengah berada di bawah alam sadarnya.
"Bukan aku yang melakukan itu, adikku sangat berbakat. Ada kabar baik, kabar baiknya kau kembali tinggal di rumahku dan Farhan tidak kembali beberapa saat karena mengatur pekerjaannya," jelas Oxy sambil memberikan segelas air putih kepada Lidya.
"Itu terdengar seperti kabar yang sangat buruk," sanggah Lidya dengan menatap Oxy datar dan menenggak air putih yang diberikan oleh Oxy.
"Ayo ikut aku!" ajak Oxy langsung berdiri dengan semangat. Lidya membulatkan matanya sambil menatap lelaki itu tidak percaya.
Itu terdengar gila!
"Aku belum pulih dan kau telah mengajakku keluar? Kau waras?" simpul Lidya yang tak habis pikir.
"Jangan berlebihan, Aluna menyuntikkan obat itu dengan dosis yang rendah dan sebentar lagi kau akan sangat pulih. Jangan menolak atau aku akan memberikan dosis yang berbahaya dan aku tidak akan mengurus kematianmu!"
Dengan wajah yang bersungut-sungut, Lidya mencoba berdiri namun kakinya masih terasa sangat lemah. Ia hampir terjatuh namun dengan cepat ditangkap Oxy.
"Pegang lenganku!" pinta Oxy dengan nada yang berwibawa, antara segan dan enggan.
Dengan pertimbangan sedikit, Lidya langsung mengenggam lengan itu dengan teramat kuat.
"Aku memintamu untuk memegang bukan mencengkeram, kukumu sangat tajam!" decak Oxy merasa kesal. Lidya hanya terkekeh dan menundukkan kepalanya, ia begitu shock.
"Baju gue kenapa udah ganti?! Lo ngapain gue?!" terka Lidya dengan bahasa yang membuatnya merasa sangat nyaman.
"Aluna yang mengganti pakaianmu, pakaianmu sangat berbau amis. Ditambah lagi mataku masih sangat suci," tampik Oxy dengan datar.
Mereka memutuskan untuk turun, Lidya menggenggam lengan Oxy dengan erat. Dulu, Zhiro yang berada di posisi Oxy, menuntunnya agar tidak terjatuh. Namun kehilangannya membuatnya terjatuh sangat dalam ke dalam kesedihan yang mencuram.
"Kalian terlihat begitu mesra," tegur Erick yang duduk di sofa sambil tetap fokus ke arah laptopnya.
"Aku tidak mengundangmu untuk mengomentariku! Kau telah antar Aluna, maka cepat selesaikan tugasmu!" murka Oxy. Mereka berjalan keluar rumah dan menuju mobil Lykan milik Aluna.
Mobil itu melesat sangat cepat ke suatu tempat.
***
Setelah menyegarkan dirinya, beban atas ajakan Oxy hari ini seakan hilang perlahan hilang dari daftar beban hidup Lidya.
Ia baru saja menyandarkan punggungnya ke sofa, seorang satpam menemui Lidya.
"Nona Lidya, ada seseorang yang ingin bertemu dengan anda di luar pagar."
"Siapa?"
"Kami tidak tau, tampilannya sangat aneh, kami tidak mau mengambil resiko atas kejadian yang tidak pernah kami inginkan."
Bahasa Formal satpam itu membuat kepala Lidya pusing. Ia melangkah keluar, seorang pria bertudung menunggunya dan menyingkapnya ketika Lidya tepat berada di hadapannya walau terbatas pagar.
"Dimas apa yang terjadi?" kaget Lidya dengan aliran darah yang keluar dari dahinya.
"Banyak hal, gue mau nyampein sesuatu. Lo harus jaga diri lo baik-baik, bahaya bakal semakin banyak," ujar Dimas dengan tergesa-gesa.
"Lalu Gio?"
"Gue ga punya banyak waktu, jaga diri lo baik-baik."
Dimas langsung berlari meninggalkan Lidya dengan motor yang melaju sangat kencang.
"Ada apa di balik semua ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
I'll Do Anything For You [Lathfierg Series]✔
Dla nastolatkówBook 2 of Lathfierg series Wajib baca 'Just Cause You, Just For You' terlebih dahulu! "Ini bukanlah akhir dari segalanya." Kalimat yang sering Lidya rapalkan ketika ia terpuruk jatuh, hingga ia mencoba untuk bangkit lagi dan berdiri tegap dengan men...