Tara menutup kupingnya dengan selimut. Saat makan malam tadi, Sera membeberkan semua rahasianya. Tentang Tara yang suka Nega. Tentang Tara yang baper sama Nega. Dan tentang Tara yang gak bisa santai kalo ketemu Nega.
Meski gak sebut nama, tapi tetap saja Tara merasa kesal dengan kakaknya itu. Ditambah lagi sekarang kakaknya sibuk teriak-teriak ngecengin Tara.
"Kalo untuk nganterin Tara doang sih bisa," ucap Sera sambil memperagakan apa yang diucapkan Nega tadi siang. "Cie, Tara. Akhirnya doi anggep lo ada," goda Sera diambang pintu kamar Tara.
"Lo bisa diem gak sih? Iri bilang," balas Tara. Sera tertawa menyebalkan membuat Tara ingin melenyapkan kakaknya itu.
"Gue? Iri? Mata lo buta atau gimana, tadi kan gue ama dia saling senyum didepan lo," celoteh Sera masih dengan tawa menyebalkannya.
Tara? Udah jelas lagi panas denger Sera ngomong. Tara langsung lempar bantalnya kearah Sera. Tawa Sera makin jadi.
"Eh, Tar. Gue serius deh," ucap Sera tanpa tawanya lagi. Sera mendekati Tara. Tara membenarkan posisinya lalu menghadap Sera yang kini duduk di ranjangnya.
"Kayanya lo perlu deket-deket Nega deh," ucap Sera. Tara memutar bola matanya jengah.
"Udah, stop, jangan kecengin gue lagi!"
"Eh, tapi gue serius!" ucap Sera dengan muka meyakinkan. Tara malah terhipnotis sama muka meyakinkan Sera.
"Emang kenapa gue harus deket Nega?" tanya Tara pake muka seriusnya.
"Hemat blush on lah, pipi lo kan bisa otomatis jadi merah kalo deket sama Nega," ucap Sera, dengan cepat ia lari dari kamar Tara.
Tara sedikit memikirkan ucapan kakaknya yang ambigu. Tara membulatkan matanya, siap membuat rumah segede ini gonjang-ganjing gara-gara teriakannya.
"Kak Sera!" Teriaknya sekencang-kencangnya. Dapat ia dengar, Sera sedang tertawa dilantai bawah.
Tara memukul mukul kepalanya. Kenapa dia bisa semudah itu percaya sama Sera? Kenapa dia lama mikir? Kalo Tara bego gini, kira-kira Nega bisa terima ngga?
Dan seterusnya tentang Nega. Otak Tara udah otomatis mikirin tentang Nega. Tara juga gak tau kenapa bisa gitu.
•••
Ini hari kedua Tara sekolah. Masih sama, masih belum ada pelajaran. Karena anak kelas satu masih menjalani masa pengenalan lingkungan sekolah. Seperti biasa Tara janjian sama teman-temannya dikantin. Hari ini ia tidak berangkat bareng Sera, hari ini Tara membawa mobilnya sendiri.
"Eits, Tara. Tumben gak terlambat," sambut Raniya. Tara tidak menghiraukan Raniya. Ia langsung saja mengambil tempat didepan Raniya lalu menyedot minuman punya Raniya.
"Eh, Tar, punya gue tuh," protes Raniya. Tara tetap menyedot itu sampai tersisa setengah.
"Kita kan temen, Ran," balas Tara lalu mengecek handphonenya. "Btw, yang lain mana nih?"
Raniya menggeleng, lalu melihat jam tangannya, "Si Lusi udah pasti terlambat. Cuma si Dina aja nih, tumben banget."
Tara mengangguk-anggukan kepalanya dengan mata yang masih tertuju pada handphonenya.
"Leon kesini tuh," celetuk Raniya membuat Tara reflek menoleh kearah belakang.
"Mana ah," ucap Tara dengan mata yang masih mencari keberadaan laki-laki itu. "Ck, jadi ketos gak sibuk apa ya?" gumamnya saat menemukan Leon yang berjalan menghampirinya.
"Hai, Tar, Ran," sapa Leon lalu duduk disebelah Tara.
"Tempatnya Dina tuh," sahut Raniya saat Leon seenaknya duduk disamping Tara.
"Dina nya juga gak ada disini," balas Leon. Demi apapun, Tara tidak suka dengan kehadiran Leon apalagi duduk disebelahnya.
"Ada apa, Yon?" tanya Tara. Leon menggeleng.
"Meja lain penuh," balas Leon. Tara menyapu pandangannya ke seluruh kantin. Padahal ada meja yang masih kosong. Ini mata Tara yang salah, atau emang Leon yang modus.
Tara mengangguk saja. Membiarkan Leon duduk disampingnya. Tak lama, Dina datang. Dia agak sedikit terkejut melihat Leon duduk disamping Tara. Baik Raniya, Dina, maupun Lusi sudah tau Tara tidak suka Leon. Bahkan Tara selalu merasa terganggu bila ada Leon.
"Kok ada Leon?" tanya Dina lalu duduk disamping Raniya. Leon menoleh kearah Dina lalu tersenyum. "Ati-ati ntar si Lusi datang, nih kantin malah jadi arena berantem," lanjut Dina yang membuat senyum Leon memudar.
"Bentar lagi si Lusi dateng nih," ucap Tara lalu melirik kearah jam tangannya. "Lo yakin masih mau disini, Yon?" tanya Tara pada Leon.
"Sebentar lagi, sampe bel masuk," balas Leon. Dina melirik Tara. Leon memang benar-benar tak pernah gentar.
Tak lama, Lusi datang. Mata coklatnya langsung menangkap kearah Leon duduk. Dengan langkah cepat, Lusi menghampiri Leon.
"Minggir, tempat gue tuh!" ucap Lusi dengan nada yang masih terdengar santai, namun, terdengar sedikit sinis.
"Kan bisa duduk disebelah Dina," balas Leon. Kesabaran Lusi hilang untuk laki-laki bernama Leon itu. Lusi menggebrak meja, membuat semua mata tertuju padanya.
"Minggir sekarang, gue masih hormatin lo sebagai ketua OSIS disini," ucap Lusi dengan nada yang masih santai.
Raniya dan Tara saling tatap-menatap. Sementara Dina, gadis itu tengah melempar tatapan jijiknya pada Leon.
"Kenapa sih? Gue cuma mau duduk aja lo sampe marah-marah gini," balas Leon. Lusi baru saja ingin berbicara namun tangannya ditahan Dina.
"Kasih Lusi buat duduk," ucap Dina pada Leon. Leon menggeleng.
"Gak mau, gue mau disini bareng Tara," ucap Leon. Lagi-lagi Lusi ditahan berbicara. Dina kini bangkit dari duduknya.
"Sadar, bego! Tara gak nyaman sama lo," ucap Dina dengan telunjuk yang tertuju pada Leon. "Dia gak suka dan gak akan pernah suka sama lo," lanjut Dina dengan penekanan disetiap katanya.
Keadaan kantin menjadi sepi. Banyak orang, namun semuanya hanya diam. Kebanyakan tahu, bagaimana saat Dina marah. Cukup mengerikan, bahkan sangat mengerikan. Tara menghela nafasnya.
"Udah, Yon. Lo mending balik deh, gak malu apa semua orang liatin lo?" ucap Tara. Leon menatap kearah Tara, lalu mengangguk lemas.
"Nih, gue pergi. Puas lo?" Leon bangkit lalu pergi dari kantin. Lusi akhirnya duduk begitupun juga Dina.
"Udah, tenang-tenang," ucap Raniya dilemparin tatapan sinis dari Dina.
"Tenangin tuh daritadi, bukannya udah tenang malah lo suruh tenang!" Raniya menyengir lalu menyedot minumannya.
"Lagipula kalian percuma marah-marah gitu, si Leon malah takluk sama si Tara," ucap Raniya membuat Tara tersenyum bangga.
"Jelas lah, Tara gitu loh," ucap Tara sembari mengibaskan rambutnya, sok cantik.
"Makanya, Tar, jangan terlalu baik. Lo sih, apa-apa gak enakan!" sewot Lusi. Tara mendelik tajam.
"Orang baik masuk surga. Gak kaya lo, masuk neraka, gibah mulu," balas Tara. Kini gantian Lusi yang mendelik.
"Terserah gue lah," ucapnya lalu fokus pada handphonenya. "Eh, btw, lo tau gak?"
Raniya, Dina, dan Tara langsung menutup telinganya. Kalo udah gini, pasti Lusi mau ngajak ngomongin orang. Tolong, Raniya, Dina, dan Tara tidak ingin dosa.
"Dosa, Lus, inget!" - Tara
"Neraka jalur undangan." - Dina
"Kalo mau dosa jangan ngajak-ngajak dong!" - Raniya.
"YAUDAH, GUE GAK JADI NGOMONG." - Lusi, si Ratu Gosip.
•••
Jangan lupa vote dan coment:*
KAMU SEDANG MEMBACA
Cigarette
Teen Fiction"Aku bisa saja berhenti, tapi aku masih tak mau." Tara paham posisinya sekarang. Masih dalam posisi menunggu padahal sudah jelas ia akan merasa sakit. Seperti perokok, yang tetap merokok meskipun mereka tahu, mereka akan sakit.