Sang surya mulai tergelincir di ufuk barat, mengukir sebuah pahatan indah oranye di atas naungan gumpalan awan. Sayup suara masjid perlahan tertangkap oleh gendang telinga, melantunkan pujian atas Baginda Nabi Muhammad SAW. Sedari tadi Dika hanya melamun kosong. Menatap jalanan dengan penuh hampa. Bersandar resah pada kepalan tangan kanan, sambil menuntun pikiran yang melanglang buana ke masa lalu.
Godam kuat telah menghantam separuh hati miliknya, sisanya semoga masih bertahan. Dika tak kuasa lagi menahan seluruh emosi yang berkecamuk di akal dan perasaan. Hancur. Sungguh penampakan yang tak biasa masuk kedalam indera, susah dicerna. Ia tak mengerti. "Tunggu tunggu, aku bisa jelasin semuanya ko say. Ini bukan seperti yang kamu kira," Angel menjelaskan dengan seluruh rasa paniknya.
"Heh anak bocah, emang gua yang cuman bisa dapetin hatinya Angel. Lu tuh cupu, ga bisa gunain kesempatan. Gerak lu lebih lambat daripada keong buat ngeyakinin dia. Dan sekarang lu coba mau merasa kehilangan? Tau diri jadi orang!," ketus Anton memaki Dika yang masih mematung di antara bingkai pintu UKS. Dika menunduk, apa yang Anton katakan memang benar apa adanya. Lidah Dika mengkerut. Ia terlalu bodoh, bahkan melebihi bodohnya orang yang tak waras.
Kejadian itu seketika hadir dalam pikirannya, kembali memukul sadar. Dika yang tak sengaja membuka pintu UKS untuk mengambil dompetnya yang tertinggal, mendapati Angel sedang bermesraan dengan orang yang sungguh tak diduga. Angel (dulu) adalah pacarnya, setelah berbagai kemungkinan ia pikirkan untuk menjadi tempatnya bersandar resah. Dan orang yang sedang bersamanya, adalah sahabatnya sendiri. Anton, yang tak pernah absen mendukung kedekatannya dengan Angel.
Andai saja Dika lebih memilih untuk menolak dukungan penuh dari Anton, ia tidak akan pernah memiliki kenangan semenyakitkan itu.
Butiran air mata tak sabar ingin segera tejun bebas dari pelupuk matanya, mewakili seberapa besar rasa kecewa yang menyerang Dika. Ia membalikkan badan mengabaikan penjelasan Angel, dan lari sekencang mungkin menjauhi UKS. Guntai menyusuri lorong. Bergegas menaiki angkutan umum yang entah kemana akan membawanya pergi. Asalkan ia bisa pergi. Pergi dengan segudang sesal dipikul.
Perjalanan menjadi singkat dengan lamunannya yang sama sekali tak digubris oleh supir pribadinya. Mobil yang Dika naikki membelokkan kemudinya ke pertigaan menghindari kemacetan di depan. Jalanan mulai lengang dari hiruk pikuk kendaraan bermotor. Hanya ada angkutan umum antar desa yang mendominasi jalanan. Ia merogoh tas kecil di sampingnya, mengeluarkan buku tulis kecilnya dan pena. Ia mendaratkan tulisan di atas lembarannya.
Aku terperangkap ketika menjatuhkan hati
Pada seseorang yang tak pasti menjadi penanti
Ternyata cinta tidak sebecanda itu
Beberapa saat impianku hening menjadi batu
Hanya karena sepasang manusia bersatu
Ternyata cita-cita akan selalu memiliki arti
Cinta berkemungkinan besar menjerat cita-cita di awal kata
Tapi cita-cita akan mewujudkan cinta di akhir cerita
Lukisan di tembok bertulisan 'selamat datang' menyambut mereka berdua. PM. Ummul Quro Al-Islami, pesantren yang berlokasi di Kabupaten Bogor, jauh dari keramaian kota. Ini dia pesantren. Tempat dimana para santri belajar ilmu agama. Bukan hanya sekedar belajar materi, santri juga diajarkan untuk menjadi mandiri sejak dini. Terkadang membentang jarak dengan orang tua merupakan perkara yang sulit, tapi disinilah santri dididik. Dika menhendus napas dengan berat. Jika bukan karena kejadian kala itu, aku tak akan pernah sekalipun datang ke tempat ini. Semoga Mamah tenang di alam sana. Aku berjanji tidak akan membuat Mamah kecewa, gumamnya dalam hati.