Gumpalan air embun masih hinggap di dedaunan. Matahari mulai percaya diri untuk menunjukkan wujudnya, menyinari kehangatan suasana pagi yang sejuk. Tentram, aman dan damai. Bel mengaung keras, menyapa setiap sudut Pesantren. Para santri bergegas pergi ke gedung Sekolah. 15 bulan berlalu, demikian pula rasa kegelisahan Dika seiring menghilang lenyap bersama waktu. Begitu banyak perubahan yang ia rasakan. Kerohanian kuat membentengi raganya. Ia merasakan kedamaian sedamai damainya. Ahmad semakin akrab dengannya, begitu pula beberapa teman lainnya.
Pesantren sama sekali tidak menggugurkan impian besarku. Aku akan berjuang menjadi santri yang berprestasi di bidang ilmu eksak, ujarnya dalam hati sesampainya di kelas 4 IPA 1, memantapkan niat untuk menuntut ilmu. Ia pernah berpikir, bahwa Pesantren itu hanya mengajarkan santri nya soal agama. Jadi, mereka sangat jauh dari perkembangan zaman. Tapi diagnosisnya salah besar. Sekarang banyak Pesantren Modern yang mendukung ilmu umum untuk di ajarkan kepada santrinya. Disini salah satunya. Disamping ia mengenyam pendidikan agama, ia juga masih memliki harapan besar untuk meraih cita-citanya.
Guru Fisika masuk ke ruangan kelas. "Marhaban yaa ustadz!," dengan kompak santri kelas 4 IPA 1 menyambutnya. Dika sangat antusias memperdalam materi Gerak Lurus Beraturan, dengan daya tangkap hebatnya ia mampu mencorat coret papan tulis dengan hitungan tercepat dari santri lainnya. Ia sungguh tidak ingin kalah dengan prestasi BJ. Habibie, orang yang menjadi motivasi terbesarnya. Semangat man jadda wajada, gumamnya menyemangati.
Bel istirahat berbunyi. Dika dan Ahmad menyempatkan untuk shalat Dhuha di Masjid. "Mad, cita-cita ente apa?," tanya Dika di perjalanan menuju Masjid. "Hah Ane? Ane si mau jadi suami yang punya 4 istri," seraya membentuk lingkaran di jemari tangan kanan. "Yeuhh dasar emang. Ini nih yang namanya mata keranjang," umpat Dika. "Lah siapa yang mata keranjang? Ini tuh namanya mata kardus, biar kalo liat cewe langsung di masukin ke kardus terus lakban simpen deh di tempat yang aman," balas Ahmad tak mau kalah.
"Jujur aja ya Mad, ane kadang bingung. Bisa nggak ya ane kuliah di Jerman?. Ini cita-cita terbesar ane, menyambung prestasi Pak Habibie. Ane masih ragu, takut gagal. Soalnya jarang ada santri yang bisa belajar di Eropa," Dika menjelaskan maksudnya menanyakan perihal cita-cita. Ahmad langsung menyampingkan lelucon yang sudah ia siapkan, merubah mimik mukanya menjadi serius.
"Eh Dik, pesimis itu bukan bagian dari para pemenang. Kalo dari awal ngerasa gak percaya diri ama diri sendiri, ya pasti cita-citanya juga gak mungkin tercapai. Percaya Dik! Santri bisa menapaki jejak baiknya di negara orang." Dika mengamini apa yang disampaikan oleh Ahmad, kepercayaan pada kesuksesannya semakin meningkat. Alih-alih sudah sampai di tempat wudhu, pembicaraan mereka semakin ngawur.
"Eh Mad, trus gimana noh si Kharisma?," sindir Dika setelah serius berbincang soal impian masing-masing. Mata Ahmad menatap Dika dengan tajam, sedikit tersentak dengan sindiran Dika. Namun Dika masih bisa tenang. Ahmad kembali memasang mimik serius, seolah-olah menjadi bijak. "Cinta itu membutakan cita-cita, hati-hati, kayak ente ama Angel noh." Dengan gesit Ahmad menghindari tamparan yang Dika hadiahkan, lari terbirit-birit menjauhi medan perang.