Kekosongan pemimpin membuat Bluehouse lumayan kacau. Walaupun memang sudah kacau sejak berdiri, keadaan tahun ini benar-benar kacau.
Sebagai sekolah swasta ber-asrama yang mengandalkan uang donasi dari para donatur donatur kaya yang kadang sifatnya semena-mena membuat tahun ini menjadi saat yang buruk. Para donatur berhenti mendonasikan harta seujung jari merreka karena kekosongan pemimpin.
Mrs. Wales telah ditemukan tewas di halaman depan gedung asrama. Dua puluh anak di tahan aparat kepolisian karena di duga menjadi dalang atas pembunuhan keji Mrs. Wales yang malang.
Aku, sih, tidak begitu peduli. Kekacauan ini tak berimbas begitu besar dalam kehidupanku. Walau di hapuskannya tata tertib membuat anak-anak berbadan besar dengan tubuh bau keringat senang sekali menjahiliku setiap hari. Juga muntahan anak basket yang mabuk di sofa ruang kumpul. Tambahkan juga, bau kaki sepanjang koridor. Dan juga, di satukannya asrama perempuan dan laki-laki. Oke-oke, memang berimbas banyak.
Kau tak perlu berpikir untuk tahu apa saja yang sudah terjadi saat asrama perempuan dan laki-laki di satukan. Ada dua aksi bunuh diri yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir setelah kekosongan pemimpin.
Tak adanya peraturan membuat perutku terasa melilit setiap kali keluar dari kamar asrama. Kejadian tidak terduga bisa terjadi kapan saja, lagipula pembunuh Mrs. Wales belum benar-benar di temukan sampai sekarang.
"Jason," aku menutup pintu loker kemudian menoleh pada laki-laki kelewat jangkung yang berdiri di sampingku dengan coklatnya."Kau ingin ikut pertandingan basketku, tidak?"
Aku berjalan dengan pandangan ke bawah sambil mempertimbangkan tawarannya."Aku tidak tahu," kataku lirih.
Ia mendesah keras sambil menunjukan wajah memelasnya padaku."Ayolah, apa sih yang membuatmu ragu?" tanyanya sebal.
"Hal yang membuatku harus kembali ke asrama dengan babak belur. Terimakasih, Tim, atas tawarannya. Aku bersyukur masih ada yang ingin mengajak," jelasku sambil tersenyum kepadanya lalu buru-buru menjauhi Tim karena merasa tidak enak.
"Jason! Aku berjanji akan membimbingmu olahraga selama dua bulan berturut-turut dan, oh! Bagaimana dengan 40 dolar?"
aku langsung berbalik dan berlari ke arahnya."Deal!"
Ia tersenyum sinis,"Uang--"
"Bukan uang. Aku tidak butuh. Tapi tepati janjimu dengan membimbingku olahraga selama 2 bulan."
"Huh?"
***
Menyesal. Menyesal. Menyesal.
Aku sekarang benar-benar tak tahu bagaimana menggambarkan rasa sesal yang tengah kualami. Menemani Tim ke pertandingan basketnya adalah keputusan terburuk yang aku terima hari ini. Bukan, bukan karena gadis-gadis yang menitip tanda tangan atau apa (secara Tim bukan idola karena badannya yang cenderung sangat kurus) tapi karena kumpulan cecunguk futsal yang sempat mati-matian ku antisipasi. Jason bodoh.
Perutku nyeri bukan main karena harus menyantap empat buah apel busuk hasil dari kalah taruhan. Aku tak pernah taruhan, baru kali ini. Para cecunguk futsal itu mengancamku habis-habisan dan memaksaku agar mau bertaruh. Dan yah, seperti yang kau tahu, aku kalah. Empat buah apel busuk berhasil masuk ke dalam perut dan aku mual bukan main.
Tim tak akan pernah tahu rasanya.
Sudah hampir dua puluh menit berada di dalam toilet berusaha menghilangkan rasa nyeri serta mual, tak membuahkan hasil sama sekali. Kepalaku kelewat pusing, aku lebih terdengar seperti orang mabuk daripada keracunan makanan.
Tim dan kawannya sudah kembali ke asrama sejak sepuluh menit yang lalu. Aku benar-benar sendiri disini.
Jujur, aku curiga cecunguk futsal itu memberi bahan-bahan aneh lain pada apelnya. Rasanya benar-benar tidak normal dan efek sampingnya membuat aku lemas setengah mati. Aku tak tahu bagaimana caranya kembali ke asrama selain merangkak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Once Upon A Time In A Fucking Bluehouse
Mystery / ThrillerSemakin gelap, semakin sunyi, semakin kelam, tak ada yang bisa keluar. Kau pergi, kau mati. Kau diam, kau mati. Tak ada pilihan lain. Cari cahaya dan keluar, kata mereka. Tak ada cahaya, tak ada jalan keluar. Tidak ada cahaya yang benar-benar menunt...