Dan untuk kesekian kalinya, doanya tidak terkabul. Ia berakhir menyedihkan di gudang sekolah. Terbaring di lantai berdebu tanpa sehelai benang menutupi tubuhnya. Pakaiannya tercecer entah kemana arahnya. Tasnya teronggok disana. Lebam-lebam biru mewarnai lengan, leher dan pipinya. Darah nampak di sudut bibir, pelipis kanan dan dibawah tubuhnya. Diperutnya terlihat beberapa bekas telapak sepatu.
Air mata sudah mengering. Matanya menatap kosong. Hanya tangan mengepal erat menggenggam debu. Ia tidak tau lagi. Pikirannya hampa. Bayangan kedua orang tua yang menatapnya penuh harapan saat pulang sekolah perlahan-lahan menjauh, binar bahagia di mata adiknya lenyap. Hanya kegelapan memeluknya.
Dari ujung mata, Juna sudah mengenakan kembali seragamnya. Laki-laki itu tanpa wajah bersalah atau melihat kondisinya sebentar saja karena ulahnya, pergi meninggalkan dirinya. Dengan tatapan terakhir yang menyiratkan dirinya layaknya kotoran.
***
Yuna mengalami krisis mental. Dan prihatinnya, ia sendirian menghadapi semua. Tidak ingin menjadi beban kedua orang tuanya, dan adiknya terlalu kecil untuk mendengar kisah kelam dirinya.
Ia menatap tanggal. Sudah tiga hari ia tidak sekolah setelah kejadian menjijikan itu.
Ia akan beralasan sakit pada orang tuanya. Tapi, saat melihat ayahnya pulang sehabis bekerja serabutan dengan peluh dan kaki hitam karena debu jalanan, rasanya perbuatannya tidak benar.
Motivasinya dulu saat masuk ke sma itu, ia akan lulus dan mendapatkan beasiswa untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Karena peluang bekerja dari lulusan sma ternama itu sangat besar. Dan diterima di pekerjaan besar. Lalu membuat orang tuanya bangga dan tetangga-tetangga mereka tidak lagi memandang rendah orang tuanya. Hayalannya dulu yang membuat dia semangat tiap pergi sekolah. Walau hari demi hari kerap mengalami bullying tapi niatnya sungguh besar.
Tapi setelah kejahatan verbal dan fisik ia terima, belum lagi kejadian kemarin. Ia jadi takut dengan dirinya sendiri. Apakah dia akan gila nanti?
Bayang-bayang wajah mereka yang kerap melakukan kekerasan padanya menghantui siang malam. Kecemasannya bahkan bertambah walau hanya mendengar suara langkah kaki mereka. Tiap malam ia sulit tidur. Takut kejadian tiga hari lalu terjadi.
Wajah Juna membekas tiap memori kelamnya. Menjelma menjadi mimpi buruk tiap malam. Dan bekas-bekas tubuhnya mungkin hilang, hanya di pelipis kanan. Dan ia akan ingat kejadian itu saat menatap cermin melihat wajahnya. Sejak itu ia memusuhi cermin.
***
"Dimana Yuna?"
"Dia sudah tiga hari tidak masuk bu." Ucap Yuda.
"Apa alasannya?"
"Tanpa keterangan."
"Lo apain Yuna sampai nggak sekolah, Jun?" Bisik Leo. Teman sebangkunya.
"Waktu itu gue lihat lo nyeret Yuna ke gudang ya? Ngapain lo disana? Lama lagi."
"Berisik lo."
"Jangan-jangan lo perkosa ya?"
"Itu tau." Sahut Juna ketus.
"Wah parah," Leo tertawa sumringah, "tau gitu gue ikut!"
"Masih perawan pasti."
"Hm."
"Kok lo nggak ngajak sih?"
"Sorry, gue lebih suka VIP."
"Bangsat lah lo."
"Kalau mau make tuh cewek silahkan aja. Sudah bekas gue juga."
"Nggak ah, nanti dia ngadu. Lo nggak takut dia ngadu ke guru lalu kasusnya masuk ke polisi?"
"Bokap gue ada."
"Orang kaya mah bebas."
***
8 November 2019
Vote dan komen 😉Oh ya di fizzo aku juga ada cerita mirip2 kayak gini judulnya Black Sugar bercerita tentang karma agak dark juga sih tapi nyangkut kehidupan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga tahun [End]
Fiksi UmumWaktu memang adalah hal menakutkan di dunia ini. Tak memandang pangkat, derajat, kekayaan, dan status. Ia akan terus berjalan. Tanpa diminta atau bisa dihentikan. Dan manusia pun bisa berubah karenanya. Sebelum tiga tahun dan setelah tiga tahun. Buk...