Bab 4: Cook for Fun | 2

7.6K 703 27
                                    

Keheningan menggantung di langit-langit dapur mewah Tante Mira. Detak jarum jam terdengar bertalu-talu di telinga, bahkan Brahma bisa mendengar dengan jelas degub jantungnya sendiri. Cowok itu seolah mati rasa melihat Shalu kini hanya menelungkupkan kepala di atas mini bar. Bahu Shalu sesekali berguncang, pertanda bahwa dia sedang melawan seluruh sesak di hatinya dengan menumpahkan airmata.

"Shal ... Shalu." Brahma duduk di samping gadis itu. Biar bagaimanapun Shalu -setidaknya untuk saat ini- adalah tanggung jawabnya.

"O-oke. Gue minta maaf kalau lo nggak berkenan dengan cara gue. Gue cuma pengin lo benar-benar belajar dari dasarnya. Gimana supaya lo bisa jadi juru masak yang handal-" Cowok itu menghela napas berat.  Tangannya ingin sekali menyentuh pundak Shalu, setidaknya untuk sedikit menenangkan.

"But it's okay, lupain cara gue yang konyol ini. Kita bisa mulai lagi dari awal. Gue janji, ke depannya kursus masak ini bakal bikin lo senang dan lo nanti-nantiin sepanjang minggu. Bukan karena apa-apa, tapi karena lo emang bakal cinta sama masak. Lo bakal jadi che-"

Shalu menegakkan kepalanya tanpa aba-aba, membuat perkataan Brahma tercekat di kerongkongan. Gadis itu menatapnya dengan tatapan tajam yang seolah langsung menohok ulu hati Brahma.

"Gue ke sini bukan buat jadi chef, Brahma!" ucapnya sengit. Wajah Shalu memerah, matanya agak sembap, dan pipinya basah.

Ya Tuhan, cewek ini benar-benar nangis. Batin Brahma mencelus.

Cowok itu kemudian menyodorkan segelas air mineral yang sudah diambilnya sejak tadi. "Lo perlu tenang dulu," tuturnya. "Semua nggak bakal separah yang lo bayangin."

Shalu meraih gelas tersebut dan menenggak isinya sampai tandas. "Gue benci masak! Gue nggak ngarepin ini, tapi gue nggak berdaya buat nolak. Hidup gue berubah drastis dalam sekejap mata. Gu-gue nggak siap! Gue benar-benar bodoh!"

Brahma memainkan buku-buku jarinya hingga terlihat memucat mendengar nada bicara Shalu yang putus asa. Sejenak dia menimbang-nimbang, perlukah cewek yang lagi kaya gini diladeni? Atau apa yang harusnya gue lakuin? Huh, gue mungkin butuh buku panduan tentang cewek supaya nggak salah arah.

"Lo nggak suka masak karena lo belum mengenal kegiatan memasak dengan baik, Shalu." Brahma membetulkan posisi duduknya, setengah menyerong menghadap Shalu.

"Maksud lo?" Gadis itu tampak sedikit tertarik. Kemarahannya mulai reda, sementara tangannya mulai sibuk menyeka sisa-sisa airmata.

"Ya, lo belum nemuin dasar yang kuat yang bisa dorong lo buat melakukan kegiatan ini dengan senang hati. Lo belum ngerasain gimana bahagianya saat masakan lo mampu membuat orang yang tadinya nggak doyan makan jadi lahap makan, belum nemuin di mana asiknya ngeracik bumbu, manggang roti, mencicip lezatnya makanan bikinan lo sendiri. Buat nemuin alasan itu, yang lo butuhin bukan cuma resep. Lo butuh berlatih." Brahma tersenyum hangat seperti biasa.

"Dan kata siapa lo nggak bakal jadi chef? You will, Shalu. Lo bakal jadi chef, seenggaknya buat keluarga lo kelak. Mungkin lo bisa bersikeras nganggap diri lo mandiri, modern, masakan toh bisa beli dan sebagainya, tapi lo nggak bakal bisa lari dari kodrat.

Ibarat kata, melahirkan anak itu tugasnya cewek, begitu pula dengan masak. Lo nggak bisa selamanya beli makanan matang atau nyuruh ART yang ngelakuin semuanya. Ada masanya lo bakal berterima kasih ke Tante Mira karena beliau udah membekali lo dengan skill ini." Brahma menerangkan kepada Shalu dengan intonasi yang mantap dan tatapan lembutnya.

Gadis itu nyaris tak berkedip mendengar pidato panjang barusan, tapi apa yang disampaikan Brahma bisa dicernanya dengan baik. Diendapkannya dalam hati kata per kata, berharap bisa mengendap pula di alam bawah sadarnya. Sebagai seorang dokter dia percaya bahwa kekuatan sugesti pikiran bisa membuat semesta berkata ya -jika kau benar-benar menginginkannya- atau sebaliknya.

Seperti orang yang baru saja bangun dari koma, Shalu pun tersadar. Dua minggu belakangan ini dia terlalu stres dengan semuanya, hingga menjejalkan seluruh pemikiran serta energi negatif ke dalam dirinya sendiri. Salah satu sifat buruknya memang, mudah pesimis. Nahas, Brahma yang kebetulan ada di sana untuk menjadi pelampiasan.

"Gu-gue minta maaf, Brahma. Nggak seharusnya gue marah-marah ke lo. Gue cuma ... yah, gue stres sendiri dengan segala sesuatu yang serba mendadak ini." Shalu akhirnya bersuara meski pandangannya masih menerawang.

Brahma mengangguk senang. "Tunggu di sini. Gue punya sesuatu yang bakal bikin mood lo balik lagi."

Cowok itu melangkah tergesa dari dapur, mencari Bi Nah yang ternyata sedang berdiri di balik dinding pembatas antara dapur dan ruang baca. Tangannya memegang bingkisan yang tadi diberikan oleh Brahma.

"Bi Nah. Ngapain berdiri di situ?" tanya Brahma spontan. "Nguping, ya?" lanjutnya menggoda.

Bi Nah tersenyum malu-malu. "Bibi mau masukin ini ke kulkas, Den. Tapi kok dengar kalian lagi bertengkar, jadi Bibi nggak jadi, deh."

"Maksud saya, ini ditaruh di kulkas yang ada di depan, Bi. Bukan di dapur. Siniin deh, kalau gitu." Brahma mengambil bingkisan tersebut dari Bi Nah sambil geleng-geleng kepala. Bibi ini emang jago kalau ngeles, batinnya.

Cowok itu kemudian kembali ke dapur, dan membuka bingkisan berukuran sedang yang dibawanya di hadapan Shalu.

"Ta-da! Anggap aja ini permintaan maaf gue karena udah bikin lo nunggu sejam dan nangis," ucap Brahma jenaka.

"Lo nggak nyuruh gue cuma buat nyium dan nebak apa yang jadi komposisi cake lezat ini, kan?" Shalu memasang wajah sebal.

"Nggak, kali ini bukan membaui, tapi merasai. Lo cuma gue suruh makan dan nebak bahan-bahan apa yang ada di-aduh! Sakit, Shalu!" Brahma meringis sambil mengusap lengannya yang tiba-tiba dicubit keras sekali oleh Shalu.

"Baik, Tuan Putri. Ini menu terbaru yang baru aja gue racik tadi siang, namanya Chocolate Lova Cake. Seharusnya ini buat Tante Mira, tapi berhubung lo nangis kaya bayi, ya udah. Lo harus merasa terhormat tuh, karena jadi orang pertama yang makan menu ciptaan gue."

"Kenapa Lova Cake? Yang biasa gue makan itu Lava Cake." Shalu melontarkan pertanyaan sambil mulai menyendoki cake yang tampak sangat lezat.

"Karena yang bakal meleleh saat dimakan bukan lava, tapi lova. Cinta." Brahma memberikan penekanan khusus di kata terakhirnya sambil mengerling jahil pada Shalu. Gadis itu kembali menghujaninya dengan cubitan super pedas.

"Oke, oke! Cukup, Shalu! Gue bakal diam. Tapi sekarang kita teman, kan?"

"Dih! Kenapa gue harus berteman sama lo?" Shalu mencebik.

"Karena, lo butuh seorang executive chef ganteng kaya gue biar betah di dapur."

===&===

Kenapa Brahma jadi doyan ngegombal, ya? Kalian mau digombalin gini? Semoga Shalu kuat deh, ya. 😂

Hari ini super padat manteman, jadi update-nya agak maleman dengan mata yang udah ndluyup begini. 😔

Tandai kalau ada typo atau ada yang aneh-aneh, ya. Kalau berkenan jangan lupa tinggalin voment-nya. ❤

Salam Spatula,

Ayu 😘

The Last Recipe (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang