bagian 34- peduli

26 2 0
                                    

Bugh!

ka Ryan? Sama ka Arga...?

'bingung' adalah kata yang cocok untuk menggambarkan keadaanku saat ini ketika mataku mendapati 2 pemuda yang tengah berkelahi. Saling menyakiti tanpa belas kasihan dan henti.

Jujur aku paling tidak bisa melihat orang berkelahi, apa lagi ketika tau orang itu adalah orang terdekatku.

Sebuah tinjuan mendarat ke wajah Ryan, sehingga menyisakan darah segar dan lebam di sudut bibirnya. Kemudian Ryan membalasnya, meninju perut Arga hingga membuatnya hampir terjatuh dengan memegang perutnya. Bahkan tatapan mereka yang memancarkan kebencian dan tidak bersahabat dengan menatap tajam satu sama lain. Hal itu membuatku hanya bisa meringis menatap nanar luka lebam yang terpancar dari tubuh mereka. Tidak ada yang mengalah dan kalah, mereka tetap dalam pendirian dan terlebih lagi keras kepala.

Aku pun menggarukkan kepalaku yang tidak gatal. Merasa ada hal ganjil dan mencurigakan yang membuatku memutar otak ku lebih tajam.

Apa yang terjadi dengan mereka? dan kenapa pertengkaran mereka tidak diketahui oleh siswa/i lain? Apakah hanya aku yang tau hal ini?

Tidak sengaja aku mendapati mata Arga yang berubah menjadi merah pekat. Kebingungan menyelimuti diriku, dan rasa penasaran membelenggu tanpa henti.

Apa yang terjadi dengannya? dan siapa sebenernya ka Arga...? atau... Ini hanya ilusi ku saja?

Ryan terus meninju Arga, mengabaikan kenyataan bahwa Arga sudah tidak kuat lagi untuk melanjutkan perkelahian tersebut. Namun, Arga tetap saja menahan setiap tinjuan dan serangan dari Ryan dengan sisa tenaganya yang payah itu. Terlebih lagi, aku yang payahnya udah gak ketolong atau bisa dibilang payah tingkat dewa pun juga tidak ada bedanya, karena saat ini pun aku hanya bisa menjadi penonton gratisan tanpa berniat memisahkan mereka.

Namun, ketika Arga hampir sekarat. Kepekaan ku mulai muncul, rasa kemanusiaan diriku sedikit meningkat setelah melihatnya menderita dan butuh pertolongan.#nasibjadioranggakpeka. Kaki ku berjalan mendekati mereka dan berdiri di antara mereka, menghentikan perkelahian tersebut.

"Berhenti..." teriak ku "Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kalian bertengkar seperti ini?"

Arga dan Ryan terdiam, seketika mengakhiri pertengkaran itu. tatapan mata mereka melunak, tidak setajam tadi, dan keheningan pun terjadi.

Aku pun menatap ke Ryan, "ka?, kaka kenapa?" tanyaku khawatir.

Ryan hanya diam, ia tak mengubris pertanyaan ku, ia hanya mengalihkan matanya ke arah lain, tatapannya lebih tajam dari biasanya, rahangnya mengeras, dengan tangan mengepal keras. Aku pun beralih menatap ke Arga yang masih menatapku, "ka Arga, kenapa?" tanyaku

Arga pun juga tidak menjawab. Mataku beralih ke Ryan dan Arga bergantian. Lalu, menghembuskan nafasku pasrah.

"jadi gak ada yang mau jelasin?" tanya ku

"..."

"Ka Ryan?" lirihku takut-takut

Ryan berdecak, "ck, berisik!" bentak Ryan, "Kenapa gak lo tanya aja ke pacar baru lo!" tambahnya, lalu pergi begitu saja tanpa mempersilahkan ku untuk menjawab.

Aku pun mengerutkan keningku, kinerja otak ku bekerja 2x lipat untuk mengelola ucapan Ryan tadi, "Pacar?, siapa? ---," mata ku melotot, tak percaya ketika tersadar masih ada seseorang di tempat aku berdiri, yaps Arga.

Aku pun membalikkan tubuhku ke belakang, menatap Arga yang kini tengah tiduran di kursi panjang dengan lengan yang menutupi matanya, dan kaki yang dibiarkan menapak tanah, ditambah luka lukanya yang ia biarkan begitu saja. Hal itu membuatku sedikit melupakan apa yang dikatakan Ryan barusan.

Antara Mimpi dan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang