Di sebuah bilik minim cahaya, helaian baju terhempas di lantai, dilupakan sang empunya. Dua tubuh setengah telanjang menggeliat diatas kasur, saling bergesekan. Sesekali bisikan dan erangan lemah terdengar dari balik selimut tipis
"Nn..."
Juto menatap anak muda terbaring dibawahnya, mukanya bersemu merah muda, tangannya membekap mulutnya sendiri. Kecupan singkat dilandaskan di tulang belikat, ia meraih pergelangan tangan dan menyingkirkannya.
"Suaramu, tidak perlu ditahan."
Tubuhnya kembali dijamah, Jiro menggigit bibir, menahan lenguhan yang ingin keluar. Alih alih putus asa, Juto makin birahi, tangannya tambah berani, menyentuh dan meremas tubuh menggoda. Jiro seperti instrumen, dan Juto musisinya, bagaimana ia bisa membuat suara yang merdu dan merangsang dari remaja ini--
"Nngh, hhn...! nnhahahahaHAHAHAHAHA!! Stop stop! Geli geli geliiii!"
Ternyata daritadi nahan ketawa, toh.
---
Yamada Jiro. Tujuh belas tahun. Kelas dua SMA. Sebagai atlit olahraga di sekolahnya, secara objektif kualitas badannya diatas rata rata. Wajahnya manis, menarik. Matanya heterokromatik. Baik, berhati emas, temannya segudang. Dengan segala kelebihan yang ia miliki, ada kekurangan berat yang dipanggul, selain sulit membaca rumus dan kanji, Jiro juga kesulitan membaca situasi.
"Juto-saaaan..."
Asap tembakau dalam paru paru dikeluarkan lewat mulut. Juto mengabaikan kepala remaja yang mendorong dorong punggungnya manja. Persis anjing.
"Jutoooo, kan gue udah bilang maaaaaf."
"..."
"Tadi udah berusaha nahan lho. Kali ini janji nggak ketawa deh"
"Kali ini? Kamu pikir sudah berapa kali ini kejadian?"
"Tiga kali."
"Jangan beneran dihitung..."
"Hehe, bercanda. Kayaknya nggak sampai segitu."
Rokok yang tinggal seperempat dihancurkan di asbak, tangan Juto naik memijat dahinya yang tiba tiba nyut nyutan. "Siapa ya, yang kemarin menendangku karena kakinya kesemutan?"
"Uwaah, parah banget, siapa tuh?"
"..."
"Bercanda, bercanda." Jiro tersenyum jenaka, lengannya melingkari bahu Juto yang terduduk di tepi kasur. "Ayolah, coba lagi...? Malam masih panjang lho."
"Kesabaranku yang sudah pendek."
"Tapi masih mood kan?" Jiro melirik kebawah, pada isi celana pak polisi yang sepertinya masih semangat. Tangannya merayap mendekat, mengusap provokatif, menembus bahan pakaian dalam yang tipis. Merasakan ukuran penuhnya di telapak tangan. Juto bergidik.
"Mau kan Juto-san?"
".......ck, ya sudah, tapi kalau geli ngomong dan jangan ditahan tahan."
Jiro kembali didorong ke matras, oleh kelinci yang jelas jelas sangat antusias. Hatinya berbinar.
"Kalau kau tertawa tiba-tiba, atau menendangku, atau menyikutku dengan 'tidak sengaja', aku akan memborgol tanganmu dan mengurungmu dikamar sepanjang hari."
"Hah?! Ngaco! Nanti gimana gue mau pula-nng!"
Juto membungkam anak kedua Yamada dengan bibirnya, menelan protes yang merusak suasana. Jiro seperti meleleh dalam ciuman yang makin sensual, membuka mulut dan memiringkan kepala, mengundang lidah Juto masuk untuk berdansa, bertukar saliva dalam rongga.
"Mmmn...nn-ah... Juto..."
Bibirnya diganti dengan jemari, Juto tersenyum tipis penuh arti. Remaja dibawahnya memandang sendu dengan matanya yang sembab. Bibirnya basah dengan saliva mereka berdua. Juto menyisipkan rambut Jiro kebelakang daun telinga, membisikan pelan.
"Rileks dan diamlah..."
Kecupan diberikan di rahang. Kulit leher diisap, meninggalkan jejak merah. Jemari Juto turun menelusuri lekuk tubuh Jiro, sebelum disusuli oleh bibir dan lidahnya. Erangan pelan didapatkan saat ia sampai ke dada, memilin putingnya lembut dengan satu tangan dan melumat yang lain dengan mulutnya, seperti bayi besar. Menyambut tiap desah yang terdengar.
Entah berapa durasi yang ia lewatkan untuk foreplay. Juto terus menjamah tubuh dibawahnya seperti petualang menjamah negeri asing. Merekam tiap tiap tanda lahir dan bekas luka masa kecil yang hampir pudar. Dalam hati girang karena hanya dia yang tau seluk beluk pemuda manis yang terbaring pasrah. Kiss mark merah ia tinggalkan pada bisep, pada tulang pinggul, pada tempat lain yang dapat dilihat Jiro tapi tidak dapat dilihat orang. Pengingat siapa sebenarnya pemilik anjing penjaga Ikebukuro.
Dengan hati hati abdomen Jiro yang rata diraba dengan tangan yang besar, berusaha tidak memicu gelagak tawa dari si partner yang rupanya sensitif. Jarinya terkait pinggang celana pendek yang Jiro kenakan dan menariknya turun sedikit.
"Mm..."
"Kubuka, tak apa kan?" Suaranya terdengar kencang di ruangan yang terasa sepi. Ia menoleh keatas, mendapati Jiro yang membuang muka. Dadanya turun naik dengan nafas yang dalam dan teratur. Juto menarik tubuhnya naik dan mengecup pelipis remaja dengan mata terpejam.
"...Jiro" Bisiknya ke telinga.
Tidak ada reaksi.
"Jiro?" Ulang Juto, kali ini lebih kencang.
.
.....Tidak ada reaksi?
.
.
.
Dengkuran pelan terdengar.
"......bocah ini..."
Juto menahan rasa ingin mengumpat keras keras. Sebagai gantinya ia berkabung dalam diam, untuk burungnya yang tidak dapat jatah malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
A series of first(s)
FanfictionR-18(?) | MTCxBB. Waktu pertama mereka, tidak selalu terasa manis.